Menghafal dengan cepat

Menghafal dengan cepat adalah suatu bakat. Namun begitu, ia bisa dilatih agar pikiran kita bisa menghafal dengan cepat.

Sebuah riwayat mengatakan, suatu ketika Imam Malik bin Anas berpesan kepada Imam Syafi'i kala masih menjadi muridnya, "Wahai Muhammad, bertaqwalah kepada Allah sebab Dia telah meniupkan cahaya ke hatimu dan jangan padamkan ia dengan maksiat, karena kamu akan memiliki suatu kedudukan!"

Riwayat lain mengatakan, sebuah nasehat dari gurunya (Syafi'i) yaitu Waki' bin Jarrah,
"Aku mengadu kepada Waki' tentang sulitnya menghafal
Lalu ia memintaku meninggalkan dosa
Dia juga mengatakan bahwa ilmu itu cahaya
Dan cahaya Allah tak diberikan kepada pelaku dosa"

Demikianlah cara Imam Syafi'i agar hafalannya kuat. Sehingga, dalam satu riwayat, beliau bisa menghafal dalam hanya sekali membaca. Masya Allah!

0 komentar :

Menghafal Al Qur'an

Untuk menghafal Al Qur'an, ada beberapa tips yang bisa diterapkan :
1. Gunakan mushaff yang sama dalam menghafal. Memakai mushaff yang berbeda dapat memusingkan ingatan, terutama bagi yang terbiasa mengingat dengan cara visual.
2. Gunakan murattal, terutama dengan qari' yang sama. Maksudnya, agar proses menghafal lebih optimal karena mengingat nada yang sama berulang-ulang lebih mudah daripada mengingat nada yang berbeda-beda.
3. Gunakan tanda-tanda khusus, misal seperti awal ayat, akhir ayat atau kata tertentu, istilah jawanya niteni.
4. Lakukan murajaah atau pengulangan berkali-kali. Dimanapun, selama dibolehkan (kecuali misal, WC). Bisa sambil tiduran, duduk, istirahat, jalan-jalan, naik motor, atau lainnya.
5. Cari kondisi atau suasana yang paling tepat untuk menghafal.
6. Selalu jaga semangat dan kemauan.

0 komentar :

Asy Syaikhah Ummu Abdullah dan Nurul Huda

Siang itu terlihat sangat lengang. Tak ada lalu lalang ramai apapun. Mentari dengan bangganya menyinar dengan tanpa ampun. Udara juga tak begitu ramah, sedikit panas. Namun, kalau dipakai buat minum es, pasti segar, begitu pikirku. Namun, pada kenyataannya, kami cuma duduk-duduk di serambi masjid sambil berkelakar. Ya, itu hal yang biasa kami lakukan selepas sekolah. Kadang kami sampai lupa waktu. Kalau pulangnya siang, kami bisa disana sampai Ashar, dan kalau pulang sore selepas ‘Ashar, kami bisa disana sampai Maghrib, bahkan Isya’. Ya,bercerita kesana-kemari. Biasanya kami berlima, dan kadang-kadang ada ustadz juga yang ikut nimbrung. Kadang cerita konyol teman, kadang menertawakan teman yang sedang cerita, kadang bicara makanan, bahkan sampai topik yang serius seperti qadhaya ummat pun dibahas, ya, di serambi itu. Itu pula yang membuat kami lebih santai menjalani hari-hari sekolah, dan bisa lebih dekat dengan guru, bahkan sampai tugas pun bisa dilobi… :D


Serambi itu, yang selalu meneduhkan kami saat panas. Serambi itu, yang selalu mendengar cerita-cerita yang tertutur dari kami. Serambi itu, tempat dimana lelah kamiterbuang. Dan serambi itu, yang mengakrabkan kami.


Masjid itu berwarna hijau. Berbentuk segi empat yang jika dilihat sekilas tak simetris dengan bentuk tanahnya. Masjid itu tak begitu besar, dengan penampilannya yang sederhana. Terdapat 12 jendela dengan masing-masing 4 di setiap sisinya. Juga terdapat satu pintu menyertainya dengan kedua daun pintunya. Dulu, kadang kusen pintu itu kugunakan untuk pull up sama temenku…


Bagian dalam masjid itu juga berwarna hijau. Di bagian depan diatas mihrab, indah tertulis kaligrafi surah Al Mujadalah : 11. Di atas pintu bagian utara dan selatan terdapat kipas angin yang cukup besar. Dulu kami pernah memakainya untuk mengeringkan cetakan sablon. Di tengah-tengah masjid, ada suthrah yang membagi masjid menjadi dua bagian, untuk ikhwan dan akhwat. Biasanya, hijab ini akan diturunkan sampai setinggi kira-kira 70 cm jika ada kajian atau daurah. Lalu beranjak keluar, di bagian utara masjid ada tempat wudhu ikhwan, dan di bagian barat masjid ada tempat wudhu akhwat.


Beberapa hari lalu aku kembali kesana, ke sekolahku yang telah lama kutinggalkan karena lulus; Nur Hidayah. Aku merasa ada sesuatu yang hilang; kebersamaan. Aku lihat disana sangat sepi. Tak berpenghuni seperti dulu. Ada semburat kenangan yang tiba-tiba menyeruak melintasi fikiranku. Ada penggalan-penggalan episode yang menjejelali ingatanku. Ada sebaris rindu yang menyelubungi jiwaku. Aku sedikit memicingkan mataku, ini… masjidku dulu…


Rona merah di ufuk timur pagi hari itu mengingatkanku banyak hal. Tentang aku, kamu, kita, dulu… Sebuah memori yang bersatu bersama embun pagi dan udara yang masih dingin. Aku terbangun saat adzan masjid itu, masjid Asy Syaikhah Ummu Abdullah berkumandang. Selepas sholat, aku berjalan-jalan diantara kelas-kelas yang bersejarah itu. Di situlah, di lantai tiga, kulihat jelas rona merah itu.Sebuah ingatan saat aku menginap di sekolah. Sebuah cerita di pagi hari saataku masih mengenakan pakaian putih abu-abu, atau batik taplak meja. Semuanya bercerita di pagi itu, dalam lukisan bisu sang alam.


Tak lama kutersentak. Kukumpulkan kembali kepingan-kepingan kesadaranku yang membuyar oleh lamunan. Saat kutersadar, kulihat sebuah masjid megah yang sangat berbeda dengan masjidku dulu, eh, aku di Nurul Huda yaa…


Masjid ini, sejak setengah tahun-an lalu mencuri sepotong hatiku. Aku sering mengunjunginya, meski sekadar untuk istirahat atau tidur disana selepas kuliah. Masjid inilah yang pertama kukenal sebelum tempat lain di kampus, bahkan semenjak aku SMA. Tak kusangka, renovasi masjid yang menghabiskan dana milyaran ini berakhir dengan merontokkan semua bangunan masjid dan menggantinya dengan wajah baru. Kini ia punya banyak ruangan dan fasilitas, seperti ruang diskusi, ruang seminar, asrama, kantor, perpustakaan, dan Islamic centre. Semua desain dan detil masjid yang dikerjakan oleh dosenku itu benar-benar mengagumkan. Semuanya untuk kami, para pecinta rumahNya.


Nurul Huda atau NH, begitu kami menyebutnya. Masjid ini adalah salahsatu masjid kampus termegah yang saat ini ada, bersanding dengan masjid kampus UGM, ITB,UI, atau kampus-kampus lain. Namun bukan masalah dengan siapa ia bersanding saat ini atau besok, karena makna masjid ini tetaplah sama. Di masjid inilah semua Muslim UNS dapat bertemu. Di masjid inilah semua aktivitas keagamaan dapat dilaksanakan. Di masjid inilah semua harakah atau LDK berkumpul membahas urusan mereka. Di masjid inilah para aktivis dakwah saling bertatap, berjabat tangan,dan bergurau, atau membicarakan permasalahan ummat. Di masjid ini pulalah segala lelah terobati, segala kefuturan tergantikan semangat, dan salam bertebaran antarpenghuninya. Dan dari masjid ini pulalah semua cerita akanbermula…


Aku,dan banyak teman-teman kampus lainnya, hanyalah secuil dari begitu banyak jamaah dan sejarah berdirinya masjid ini hingga sekarang. Kami hanyalah kumpulan warna-warna yang terurai dari cahaya Nurul Huda ini.


Ini ceritaku, apa ceritamu?

0 komentar :

Cerita_2

#Bagian 06

Setengah tahun telah lewat. Suatu sore aku mendapat kabar dari temanku yang juga kenal dekat dengan dia. Katanya, sekarang dia sudah bekerja di Semarang, menjadi wakil direktur suatu perusahaan. Wow, itu cepat sekali! Aku sempat kaget, karena itu sangat cepat. Sekitar 9 bulan setelah kelulusannya. Meski memang, dia sudah dapat pekerjaan sebelum dia lulus, tepatnya pada semester 6. Wow... Itu sebuah prestasi hebat. Dan kurasa, dibalik itu, ada prestasi-prestasi lain yang juga hebat. Kuyakin.

0 komentar :

Cerita_2

#Bagian 05

Setelah itu, kulihat ia semakin membaik. Huft, syukurlah...

Hari itu, hari Senin, adalah hari yang dia tunggu-tunggu sejak hampir 5 tahun lalu. Dia akhirnya diwisuda. Dan, mengejutkan bagiku, bahwa katanya dia termasuk yang cumlaude. IPK-nya 3,7. Tapi, itu tak berarti apa-apa, katanya. Dia bilang bahwa inilah jalan baru yang sesungguhnya untuk memulai misi dakwah lagi. Dia bilang dia ingin menghibahkan dirinya untuk agama ini, Islam. Aku tertegun. Ia, dari kondisi hampir menyentuh nol, tiba-tiba bertransformasi menuju titik yang tinggi. Dia kini menjadi lebih keren menurutku. Bukan saja dari akhlaqnya, tapi juga dari hal-hal lain dari dirinya, kurasa dia mulai benar-benar bertransformasi, bermetamorfosa. Kuharap kupu-kupu indah lah bentuk akhirnya kelak.

0 komentar :

Cerita_2

#Bagian 04

Tanpa kusangka, dia bertutur, bahwa dia merasa menjadi seorang munafik. Eh? Munafik?

Dia katakan tentang keadaan dirinya saat ini. Dia katakan ketidakmampuannya menanggung amanah, ketidakmampuannya memegang janji, kelemahan-kelemahannya... Hingga dia merasa bahwa dunia ini menyempit untuknya. Urusannya terasa berat, tak terselesaikan. Kemudian dia tersenyum. Aku melihat senyumnya, seperti seorang yang baru mendapat kado indah, misalnya pernikahan.

Hmmm... Begitu rupanya. Dia bertutur, bahwa akhirnya ia menyadari, bahwa kesalahan fatalnya, kesalahan terbesarnya, adalah menyepelekan shalat berjamaah. Maka dia juga berkata kepadaku, dengan nada seperti berjanji atau berazam pada diri sendiri, bahwa dia mulai saat ini akan memperbaiki shalatnya. Dia akan membenahi sifat malasnya dan mulai bersungguh-sungguh melakukan aktivitasnya, apapun itu.

0 komentar :

Cerita_2

#Bagian 03

Dia... ah, menitikkan air mata. Tak kusangka, orang yang luarnya terkesan cuek -menurut penilaianku- bisa menangis. Meski tak sesengukan, apalagi terisak, ini menimbulkan tanda tanya di otakku. Kenapa?

Suatu saat, kami ngobrol. Panjaaaang sekali. Dari yang nggak penting seperti alasan 1 ditambah 1 hasilnya kenapa harus 2, bukan 3 atau 4, bahkan 1000, dengan lagak penjelasan sok ilmiah kita, sampai masalah yang samat krusial terkait problematika ummat Islam kekinian. Semua dibahas. Dan, suatu saat saat bicara tentang dakwah, aku bertanya iseng, kenapa dirinya terlihat berbeda akhir-akhir ini.

0 komentar :

Cerita_2

#Bagian 02

Sekarang ia hampir berubah seratus delapan puluh derajat, kalau saja ia tak mengikuti pembinaan. Liqo', ya bisa dibilang begitu. Tapi tetap saja, dia begitu berbeda dengan dirinya pertama kukenal.

Seiring waktu, ia bertambah akut. Ia jadi jarang ke masjid, ngaji kalau ada kesempatan saja, bahkan ia mulai menyalahi amanah. Ia terkadang beralasan, ah, aku sedang sibuk. Ah, aku banyak kerjaan. Ah, tugasku numpuk. Dan sejuta alasan lain yang sebenarnya dia buat-buat saja. Bukan bohong, memang faktanya dia banyak tugas. Tapi sikapnya itu yang tak kusukai, karena sebenarnya dia begitu karena tak me-manage waktunya. Dia sia-siakan, dia malas-malasan. Jadilah tugas menggunung dia salahkan.

Namun suatu ketika dia tersentuh secercah harapan. Hatinya mulai terbuka kembali. Ia berfikir, mengapa dirinya jadi terlihat pecundang begitu. Ia awalnya salahkan tugas, namun kemudian ia berfikir dan merenung. Kulihat saat itu di pojok masjid, di ujung pandanganku, dia terpekur. Menunduk. Dan sayu tatapannya.

0 komentar :

Cerita_2

#Bagian 01

Ini adalah kisah seorang ikhwah. Tapi, ah, sebelumnya ia tak pantas dipanggil begitu. Kau lihat sendiri judulnya... seperti itulah dia. Tapi bukan, bukan munafik seperti Abdullah bin Ubay. Tak sampai. Hanya, ha mewarisi beberapa sifat-sifatnya. Saat itu dia masih kuliah semester awal-awal (tebakan, pasti mikirnya antara semester 1-4, memang...). Saat itu pula, dengan kepercayaan dirinya ia ikut salahsatu 'UKM dakwah'. Ia akan bangga menyandang gelar aktivis dakwah kampus. Namun, seiring waktu, ia merasa berat. Mungkin karena niatnya yang keliru. Kemudian pada suatu titik, ia terhenti. Geloranya yang menggebu dan berapi-api padam. Seakan ia kehilangan apa yang ia kejar. Pengakuan? Penghargaan? Atau pujian, mungkinkah? Ah, aku tak mau ber-su'udzan dulu. Barangkali ia sedang futur, lelah, atau buntu dan akan segera kembali lagi esoknya. Namun, kuperhatikan, dia ini lama-lama tak serius. Cuma denger-denger sih, katanya ibadahnya juga tak segiat dulu... Ngajinya, sholatnya, puasanya...

0 komentar :

Ceritaku malam ini

Malam ini, malam Jum'at, seperti biasanya, agenda kami itu liqo'. Tapi kali ini tak seperti malam-malam sebelumnya pada kebanyakan, karena tempat yang biasanya buat liqo' adalah di rumah murabbiku. Namun, kali ini tempatnya beda, yaitu di ar royan, di pesantren mahasiswa.

Ada delapan orang yang datang. Tapi tak begitu lama murabbiku datang. Ya, liqo' pun dimulai. Bukan apa, tapi memang temanku aneh. Mau liqo' dipake backsound ESQ... -..-

Satu lagi, liqo' kali ini dalam kondisi black out alias oglangan. Mati listrik. Jadi, seruuuu.........

Sekian laporannya.

0 komentar :

Sulit

Entah, sekali lagi kutertekan dan merasa sulit. Seakan beban yang begitu berat menindihku hingga aku tak berdaya. Seolah aku terhimpit. Semua menjadi sempit, dan aku tak bisa mencari jalan keluar.
Aku laki-laki, mana mungkin kukatakan aku menangis, meski kenyataan begitu. Tapi aku hanya tak habis pikir, dengan menjadikan diriku sebagai objek peng-iba-an orang lain.
Walau aku ingin memberontak, ingin melawan, bahkan melampaui rasa sakit, kelemahan, dan kebingungan serta ketidaktahuanku, tapi itu terasa seperti gurauan saja. Aku merasa sangat sangat sulit bangkit dan bertahan dalam badai yang kurasakan ini. Ingin rasanya pergi, namun aku juga tak mengerti, aku tak tahu jalan lain itu baik atau buruk. Aku ingin mengadu, tapi rasanya seperti anak kecil saja.
Tak kusadari... Mungkin aku telah kehilangan sesuatu dalam jiwaku. Mungkin, sesuatu yang sangat berharga yang sulit didapat. Mungkin, dulu kumendapatkannya, tapi sekarang hilang lagi.
Sulit. Kuputuskan ini. Kedewasaanku... Hilang di titik ini. Andai bisa.....

1 komentar :

Cerita_1

#Bagian 11

Aku, bahkan sempat terbayang tentang kematian dalam game seperti anime SAO. Tapi itu anime, kartun, cerita buatan. Sangat berbeda jika dibandingkan dengan realitas. Saat aku melihat pemwguburan kakekku, aku sempat takut akan kematian, itu saat beliau dibaringkan di liang lahat yang berair karena musim hujan. Namun sesaat kemudian aku merasa rindu pada kematian, meski ada sedikit rasa takut. Takut karena jika membawa amal yang kurang, dan rindu karena dengan begitu akan istirahat dari kelelahan dunia dan bersiap berjumpa dengan Allah. Dalam pada itu, aku teringat kata-kata kakak tingkatkt yang juga orang KAMMI, carilah seni kematian terindah...

Pasti, suatu saat akan kutemukan seni indahku dalam kematianku.

Sekarang pukul 23:34 di jam HP ku. Ternyata kesadaranku masih melekat pada badanku. Mungkin sebentar lagi kesadaranku hilang, digantikan lelapnya dalam mimpi.

Oyasumi, pembaca blog ku, terutama silent-reader yang tak pernah comment postinganku... :)

8 komentar :

Cerita_1

#Bagian 10

Aku ngebut naik motornya. Serasa tak sabar di jalanan. Serasa ingin terbang saja.

Jenazah kakekku tiba di rumah sekitar pukul 8-an. Sebenarnya, beliau meninggal pukul 5 kurang, tapi harus menunggu 2 jam dulu sebelum dibawa ke rumah. Itu untuk memastikan benar bahwa beliau telah meninggal. Sampai rumah beliau dimandikan, kemudian disholatkan bergantian.

Penguburan dilakukan jam 11 esoknya. Setelah 'acara permohonan maaf dan doa', jenazah beliau dibawa ke kuburam belakang masjid dan kemudian dikebumikan. Aku menyaksikan sendiri prosesinya. Bahkan ketika sakaratul maut, ketika beliau meninggal, aku juga menyaksikannya. Sebelum dikubur, sekali lagi beliau dishalatkan di masjid. Banyak yang men-sholatkan. Kulihat pak Heri dan temanku, yang tak lain adalah Rizal, juga turut ke kuburan. Bahkan mantan murabbi SMP ku juga ada disana.

Selesai. Aku pun kembali ke rumah. Entah, kurasa ini akan membekas di ingatanku.

0 komentar :

Cerita_1

#Bagian 09

Tak lama om ku yang satunya kembali dari masjid. Kulihat wajahnya hampir menangis juga. Kemudian selang beberapa belas menit, aku disuruh pulang ke Boyolali untuk membuka gembok pintu dan beres-beres. Akupun kesana setelah menjemput adikku di SDIT sekitar jam 5. Sampai rumah di Boyolali, aku lihat om ku sudah disana dan akhirnya aku kena marah. Mana aku tau kalau dia juga langsung balik. Sebenarnya pun, aku sudah berusaha sebisaku untuk lebih cepat. Tapi entah kenapa, jalanan saat itu jadi sangat padat merayap, sampai-sampai aku harus mencari jalan lain dengan menempuh jarak agak jauh yang pada akhirnya sia-sia.

Aku beres-beres disana bersama teman-temannya om ku.

Ini ceritaku saat di jalan. Setelah aku keluar dari ruangan, aku menuju parkiran dengan menahan air mata. Aku berlari ke parkiran, mengambil motor, dan langsung menuju SDIT kemudian ke Boyolali. Di jalan, emosiku tak stabil. Aku merasa ingin marah, menangis, dan entah rasa apa lagi yang terselip.

0 komentar :

Cerita_1

#Bagian 08

Tak lama, dokter perempuan datang setelah sebelumnya 2 perawat, laki-laki dan perempuan mencoba memberikan pertolongan pertama dengan memompa jantungnya -menekan-nekan dada kiri dengan harapan dapat membantu jantung lebih kuat dalam memompa. Tapi itu sia-sia. Denyutnya tak menentu dan kian melemah. Bahkan menunjukkan status garis horizontal di indikator yang menandakan tak ada detak lagi. Kemudian dokter memberitahu bahwa kakekku telah berpulang. Seketika tawa menjadi lebih hebat, namun tak mengeras dalam suara.

Semua dihubungi. Bahkan yang ada di luar kota. Pada akhirnya, om ku yang baru saja meninggal juga dihubungi. Kemudian aku keluar dan menunggu di ruang tunggu dengan sebulir air mata di ujung mataku. Bulikku yang kemudian ikut duduk disitu sudah nangis sedari tadi. Aku coba menenangkan, tapi yang keluar hanya kata-kata 'sabar bulik...'. Aku tak bisa berucap lebih banyak. Akupun dalam kondisi yang tak menentu saat itu.

0 komentar :

Cerita_1

#Bagian 07

Aku lama berada disitu. Sesekali kulihat wajah kakekku. Teringat kenangan-kenangan dulu waktu di rumah kakek. Aku sedikit tak percaya sebenarnya. Tapi ini sudah terjadi. Nenekku terus mentalqinnya di dekat telinganya. Sementara aku sesekali memegang jari kakinya. Dingin. Masya Allah! Ini salahsatu ayatul maut. Saat itu kupikir ajal beliau sudah dekat.

Lalu jam 4 kurang aku baru sholat Ashar. Aku sempat tersesat dan muter-muter di RS. Sekembalinya dari masjid, aku dikabari kerabat pasien samping kakekku, katanya kondisinya parah. Aku segera masuk ruangan, dan kulihat beliau sudah tersengal-sengal dengan nafas pendek dan kesadaran yang jauh. Detak jantung yang kulihat di indikator juga tak menentu. Aku membeku saat itu. Tak bisa melakukan apa-apa. Sementara om ku menalqin, bulikku (adiknya ibukku) menangis dan nenekku panik. Aku pun sebenarnya begitu. Aku, sempat mataku sembam -bahkan aku tak yakin apa arti sembam itu. Sedikit ada air mata di ujung penglihatanku.

0 komentar :

Cerita_1

#Bagian 06

Kemudian sehari setelahnya, aku dikabari ayahku kalau beliau masuk ruang HCU di Cendana lantai 2. Itu semacam ruang ICU tapi lebih intensif. Kurasa.

Saat itu aku masih di kampus. Lalu aku segera menyusul ke RS yang memang tak terlalu jauh dari kampusku UNS di Kentingan, lalu segera menuju lokasi. Disana, aku kemudian masuk ruang HCU setelah bersalaman dengan keluarga yang jaga disana. Aku, ketika pertama masuk, aku terkejut dengan kondisi kakekku yang tak bisa apa-apa. Beliau terbaring di atas kasur dengan ditemani nenekku. Di samping kirinya ada layar yang menunjukkan status tubuhnya. Ada indikator detak jantung, suhu, paru-paru, hati, dan aku tak begitu yakin saat kusebutkan ini. Karena aku membaca hanya dari lambang dan gambar yang ada di layar. Entah, aku membaca dengan benar atau tidak. Tapi selama beberapa saat lamanya, aku terus memandangi layar itu. Aku tetap tak tahu jelas soal urusan membacanya, meski kuberusaha keras membacanya. Hanya kira-kira saja.

0 komentar :

Cerita_1

#Bagian 05

Sampai Cakung acara lalu dimulai, dst sampai jam 2 siang kami sekeluarga izin pulang karena kondisi kakekku kurang baik. Padahal saat itu adalah acara walimahan om ku. Kemudian dari lokasi kami bertolak pulang kembali ke rumah di Boyolali. Perjalanan cukup lama, dan sopirnya kurasa kurang profesional. Kami sempat istirahat 2 atau 3 kali di rest area pinggir jalan tol. Bahkan sempat menunggu setengah jam-an karena sopir tidur karena kelelahan.

Sampai rumah Ahad pagi, kondisi kakekku ngedrop. Beliau langsung ditidurkan di ranjang dan diselimuti selimut tebal. Kurasa kedinginan, karena selama di bis AC menyala kencang. Bahkan aku juga sedikit kedinginan saat bangun tidur di bis karena AC-nya.

Lalu siangnya, tanpa terduga beliau masuk rumah sakit karena kondisi tak baik. Beliau dibawa ke RS. Dr. Moewardi Jebres, Solo dan langsung masuk ICU. Aku segera menyusul kesana dan membawakan berkas-berkasnya. Selang beberapa puluh menit aku lihat beliau dipindah ke ruang Cendana 2 No.12 A.

0 komentar :

Cerita_1

#Bagian 04

Tugas. Kata yang berhari-hari ini tak mau kudengar atau kuingat. Aku merasa 'illfeel' mendengarnya. Selain karena sulit, juga butuh banyak referensi, sedang koneksiku untuk mengaksesnya terbatas. Aku malah sempat juga berpikir untuk menyerah, dan berpikir 'apakah ini benar-benar jurusanku?'. Aku seperti orang tak tahu arah. Yah, setidaknya malam ini. Oke, cukup cerita tentang tugasnya.

Aku kini terkapar di ruang tamu yang kursi-mejanya telah disingkirkan. Tapi itu tak lama, aku harus memasukkan dulu motorku. Kemudian beres-beres sebentar, baru bisa terkapar lagi. Aku, pada akhirnya tetap tersadar sampai pukul 22:30.

Cerita mengenai kepergianku ke Jakarta, itu terjadi hari Jumat-Ahad. Jumat siang. Jam 2 kami sekeluarga berangkat naik bis yang sudah kami sewa. Perjalanan terasa sangat lama, walau menurut hitungan jam mungkin wajar. Sampai Bekasi sekira jam 7 pagi. Lalu kami semua siap-siap dan dandan untuk menuju lokasi resepsi di Cakung, Jaktim......

0 komentar :

Cerita_1

#Bagian 03

Pukul 22:00 rombongan terakhir pulang. Aku lega, karena akhirnya, setidaknya aku akan bisa mengistirahatkan badanku. Tapi tentu tidak dengan pikiranku, karena masih tertanggung oleh tugas yang belum tersentuh.

Sebenarnya cerita tentang tugas ini sudah agak lama, tapi saat itupun aku belum bisa bergerak sama sekali. Hingga kemarin sebelum aku berangkat ke Jakarta -nanti kuceritakan, sekira hari Kamis, aku baru tahu cara mengerjakannya setelah aku meminta untuk diajari temanku. Namun tetap saja, aku tak bisa mengerjakannya karena tak bisa mencuri-curi waktu. Aku hanya bisa pasrah saja saat ini, semoga Allah memudahkanku besok saat kubuka mataku kembali.

Aku masih merasa ngantuk sebenarnya, tapi mau gimana lagi, aku seperti orang ling-lung yang tak tahu mau berbuat apa. Aku mau makan, tapi rasanya perutku masih kenyang. Jadi aku terus lanjutkan menulis ceritaku ini dari HP.

Kembali ke tugas, sebenarnya aku malas mengingatnya. Itu seperti kabar buruk buatku.

0 komentar :

Cerita_1

#Bagian 02

Tamu masih berdatangan, dan terakhir kupikir datang malam ini jam 9, dari Semarang. Ya, memang semenjak kemarin berita wafatnya kakekku, banyak orang berdatangan, bahkan ada 2 yang mengirim karangan bunga atas nama Hidayat Nur Wahid dan DPD PKS Boyolali. Siang tadi, beberapa wajah yang kukenal juga datang. Setidaknya, kutahu ada guru-guru dari SMPIT, yang sekarang sudah banyak yang tak kukenal, tapi tentu adikku dan sepupuku yang paling tua -seumuran adikku- kenal, karena mereka memang muridnya. Ada juga dari SMAIT, ada kepala sekolahku dulu, Ust. Heri, ada Ust. Farhan, bahkan Ustdzh. Khoi juga datang, bersamamanak-anak pramuka dari SMAIT yang dulu pernah dilatih om ku. Adik kelasku, 4 orang yang kelas 3 juga datang. Sedangkan yang kelas 2 dan 1 datang lebih dulu. Juga, teman satu angkatan, walau cuma seorang, juga datang. Aku senang bisa melihat wajah-wajah mereka, yang mau datang sampai ke tempatku ini. Sangat ramai, bisa dibilang begitu.

0 komentar :

Cerita_1

#Bagian 01

Beberapa jam setelah acara pemakaman kakekku, beberapa jam setelah aku benar-benar berstatus membolos kuliah, aku benar-benar merasa lelah. Lelah badanku lelah pikiranku. Mungkin juga karena aku kebingungan, karena aku masih punya tanggungan 2 tugas setidaknya, sementara agak sulit buatku mencari waktu yang benar-benar bisa kugunakan mengerjakannya, seperti halnya tak mudah juga untukku mengerjakannya.
Aku mulai menulis ini saat kulihat jam di HP ku menunjukkan pukul 21:15. Huh?? Terasa ini sudah begitu malam. Aku bahkan berdiri di depan rumah kakekku -bayangkan saja rumah model joglo yang sudah lebih dimodernisasi. Walau akhirnya aku terduduk juga karena capek.

Aku merasa tak fokus, dan ngantuk. Rasanya ingin tidur di kasur empuk, di tempat dimana sekarang dipakai tidur sepupuku -mengingat aku tadi cuma ketiduran di kursi panjang di ruang tamu. Bahkan aku belum makan lagi semenjak tadi makan siangku di sore hari, karena rasanya aku tak begitu lapar.

0 komentar :

Cerita tak mutu

Cahaya pagi menyinar lebih hangat. Dari balik jendela itu, menelisik sejumlah cahaya ke dalam kamar yang tak begitu besar, membuat dindingnya berwarna agak kekuningan.

Kubuka jendela kamarku, dan kulihat langit berwarna kastanye terlukis indah. Kicau burung menambah semarak pagi ini.

Kuhirup udara pagi yang masih terasa segar ini, masuk menuju tenggorokanku kemudian paru-paruku, menambah kesegaran tubuhku. Mataku menerawang menembus langit, seolah mencari sesuatu yang tersimpan di baliknya.

Waktu belum sampai pukul 7 saat semua itu terjadi. Saat semua ketenangan, kedamaian, dan keindahan itu memudar dengan cepat dan berganti menjadi kekacauan, kecemasan, kepanikan... Semua berubah, saat negara api menyerang... Bercanda!

Semua berubah, saat ledakan itu muncul. Lalu sekilas kulihat ada sebuah objek melesat sangat cepat disertai desingan keras. Semua porak-poranda dalam radius yang tak bisa dipandang remeh. Tak terkecuali aku, yang merasakan langsung efeknya. Aku terkulai dibalik reruntuhan.
#crita apa ini..

0 komentar :

Mati

Yang bisa merasakan sakitnya sakaratul maut dan kematian hanya yang bersangkutan
Yang bisa merasakan kesedihan dan pilu hanya keluarga yang ditinggal
Yang bisa merasakan duka hanya kerabat dan orang yang dekat
Yang bisa melihat kesedihan adalah orang yang mendengar beritanya
Yang bisa merasakan kesenangan adalah orang yang tak menyukai dia dan musuhnya
Yang tak merasakan apa-apa adalah yang tak mengetahui kabarnya

0 komentar :