Membumikan cinta, melangitkan karya...

Mengalah tak selalu kalah. Mengalah terkadang adalah sebuah jalan kemenangan. Ia memenangkan hati, mengalahkan rasa egois diri. Menyemai cinta dari kesadaran jiwa. Tak sibuk mendengus dan mengeluh, namun mengukir ide dalam goresan tiap karyanya............................................................

0 komentar :

What will I say, heh?

Bersua pasti ada berpisah. Namun, hati yang telah tertaut ikatan suci takkan berpisah meski berbatas jarak dan waktu. Hati yang telah saling faham dan mengerti akan orang yang berada dalam dan saling memberi ikatan takkan lelah menabur benih kebaikannya dan menyebar semerbak cintanya. Meski beribu derita, namun peluh keikhlasan tetap mengalir menghiasi relung jiwa-jiwa yang bersemai. Semua tindakan berdasar kesadaran, dan pengertian akan suatu hakikat kebenaran. Sehingga berat dalam laku terhindar karena kesadaran akan tanggung jawab dan kebesaran jiwanya. Semua laku adalah kebaikan yang terpancar dari hatinya. Tulus ikhlas. Tanpa pamrih. Berlinang dalam kebaikan.

0 komentar :

Slender man



Ada yang tau slender man? Ituuuu, sebuah game ber-genre horror. Game ini menggambarkan tentang seorang anak manusia yang tersesat (iya gak ya?) di hutan ketika hari menginjak malam. Nah, critanya, kita bakal main jadi orang ini, trus kita disuruh muter-muter nyari 8 pages yang tersebar dan tertempel di seluruh penjuru hutan. Tapi jangan khawatir, gak gede-gede amat kok hutannya, dibatasi pagar juga... Nah, selain itu, kita juga dibekali senter. Cuma senter sih, gak ada yang lainnya. Jadi gak bisa ngelawan si slender man ini. Ini yang gak kusukai, gak bisa ngapa-ngapain selain lari, menghindar! Padahal game horror lainnya bisa ngelawan musuhnya, huh!

Tips.
0. Jangan melihat si slender kelamaan, nanti game kamu berakhir.
1. Baterai bisa habis. Jadi nyalakan senter seperlunya.
2. Lari (sprint) seperlunya, karena stamina bisa terkuras. Semakin sering lari, semakin rendah stamina.

Untuk yang merasa berani dan gak kagetan, silakan bisa didownload disini, cuma 55 MB doank...


Waktu menjelajahi hutan. Bisa-bisanya ketemu sama truk disitu... -_-


Waktu ketemu si slender man...


Ini orangnya... si slender man tak berwajah, ganteng yaa...

Ternyata slender man juga punya cerita/mitosnya... Silakan cek google kalo mau...

0 komentar :

Ujian hubungan

Tentunya, kita sebagai manusia adalah makhluk sosial, seperti yang dikatakan dalam ilmu ekonomi waktu SMP. Dan ini adalah suatu pernyataan yang benar, bahwa kita adalah makhluk sosial, apapun kondisinya. Kita kaya, karena ada interaksi sosial. Kita miskin, karena adanya interaksi sosial. Kita senang, karena adanya interaksi sosial. Kita sedih, karena adanya interaksi sosial. Semua kehidupan kita adalah hubungan kita dengan orang lain. Yang itu berarti, kita tak bisa sendiri selamanya. Kita tak bisa mengedepankan egois kita dalam berhubungan dengan orang lain, jika ingin hubungan kita dengan orang lain baik. Namun terkadang, ada racun-racun dalam hubungan ini yang dapat merusak dan membuat pahit madu yang telah tercampur dalam sebuah hubungan atau interaksi sebelumnya. Racun-racun ini bisa datang dari mana saja, bahkan secara tak sadar bisa jadi kita yang mendatangkannya. Sama seperti sebuah kain yang terkena noda, entah noda minyak, tinta, debu, lumpur, atau lainnya, noda-noda dalam hubungan juga bemacam-macam dan bervariasi dalam menghilangkannya. Aku sendiri pernah mengalaminya, yang bahkan beberapa hari tak bisa dihilangkan. Bahkan terkadang, ribuan bahkan jutaan maaf tak bisa digunakan untuk menghapuskannya. Memang, pada beberapa orang, ada yang pemaaf, ada pula yang susah memaafkan. Beruntung kalau kita bermaalahnya sama seorang pemaaf, sekali minta maaf mungkin akan dimaafkan, bahkan sebelum kita minta maaf, bisa jadi sudah dimaafkan. Nah, kalau bermasalahnya sama orang yang susah memaafkan? Susah juga ini...

Memang yang terbaik adalah jangan membuat kesalahan pada orang lain. Tapi mana bisa? manusia adalah tempatnya salah dan lupa. Mungkin sekali dua kali akan dimaafkan, tapi jika berkali-kali, kurasa akan sedikit beda juga dalam penyikapan terkait memaafkannya. Nah, jika kita sebagai pihak tersalah (pihak yang dikenai masalah/korban), saran terbaikku adalah segera maafkan dia yang bersalah kepadamu, apapun itu. Memang awalnya berat, tapi berat bukan berarti mustahil. Ini hanya masalah pembiasaan.. Sesuatu yang berat, jika rutin dikerjakan, akan menjadi lebih ringan. Contoh, awalnya sulit tahajud, tapi karena dipaksa terus bangun malam, lama-kelamaan jadi terasa ringan untuk bangun. Nah, tapi kalau kamu menjadi pihak bersalahnya, segera datangi dia, minta maaf dengan tulus setulus-tulusnya, kalau perlu buat agar dia melupakan kesalahanmu dan menjadi senang terhadapmu. Mungkin bisa dengan pemberian hadiah, kado, mobil, rumah, atau semacamnya, atau buat dia tertawa, atau apalah cari sendiri... . Saat itu pulalah, dari dalam hatimu, dari kesadaranmu, kamu juga berjanji, untuk tidak mengulanginya lagi.

Inilah yang disebut ujian hubungan. Ujian yang enderamu kala berinteraksi dengan orang lain. Terkadang seseorang akan menyikapi biasa saja, bahkan dianggap bercanda atas apa yang kamu lakukan, tapi bisa juga ketika kamu hanya bercanda, orang lain menganggapnya serius sehingga ia marah padamu. maka pintar-pintarlah dalam melihat kondisi seseorang. Kapan dia bisa diajak bercanda, kapan dia sedang serius, kapan dia sentimental. Lebih-lebih pada perempuan. Aku sendiri kadang bingung menyikapinya, bicara ini malah marah, bicara itu gak terima, trus maunya apaaa........... Bahkan anehnya lagi, dia duluyang ngajak bicara, tapi pada akhirnya kita malah yang dimarah-marahi, salah apa sih....... Memang, perempuan itu sulit dimengerti, lebih sulit daripada probabilitas... -_- Tapi sekali lagi, sulit bukan berarti mustahil. Ganbatte...!!

Yang lebih sulit lagi adalah, ketika hubungan kita dalam organisasi buruk. Ketika satu anggota dengan anggota lain tak bisa sinkron, justru malah saling bertengkar, itu akan menyulitkan organisasi untuk bisa berkembang dan maju. Hla gimana mau maju kalo antaranggotanya gak liat ke depan, tapi malah sikut kanan-kiri gak karuan... Maka dalam berinteraksi dengan orang lain pun, pasti akan ada seni-seninya. Seni bagaimana kita bisa bergaul dengannya tanpa harus bertikai dan bertumpahan darah. Bagaimana kita bergaul sama-sama senang dan tak ada dendam. Kenalilah lawan bicaramu, kenalilah dirinya, pribadinya. Fahamilah dia, bukan sekadar ketahui dia. Semoga dengan adanya kefahaman akan menumbuhkan pula rasa kekompakan, kebersamaan, hingga pada akhirnya ujian dalam hubungan seperti itu tak terjadi. Let's make a friends...

0 komentar :

Mahasiswa, haruskah netral dalam berpolitik?

Pertama, saya tegaskan disini. Saya bukanlah orang yang ahli dalam hal politik, jadi jangan heran kalau yang saya tuliskan bahasanya mungkin agak sedikit aneh. Kedua, ini hanya opini saya, silakan kalau ada yang membantahnya, silakan saja. Dan ketiga, kenapa saya tulis ini, adalah karena adanya sikap apatis dari beberapa kelompok remaja intelektual bernama mahasiswa akan perhelatan politik di Indonesia sekarang ini. Okey, here we go...

Politik, kalau kita tinjau dari asal katanya, berasal dari bahasa yunani yaitu 'polis' yang artinya adalah negara kota. Sementara pengertian istilahnya adalah perjuangan untuk memperoleh kekuasaan/teknik menjalankan kekuasaan-kekuasaan/masalah-masalah pelaksanaan dan kontrol kekuasaan/pembentukan dan penggunaan kekuasaan (Isjware). Jadi, kita bisa ambil satu konklusi praktis, bahwa politik adalah siasat/cara/taktik untuk mencapai suatu tujuan tertentu, yaitu kekuasaan. Maka tak heran, jika kita lihat para petinggi negara kita yang bergulat dengan kawan maupun lawan politiknya, pada akhirnya beberapa diantara mereka tersingkir dan beberapa dari mereka akhirnya mendapatkan posisi di kenegaraan. Untuk apa? Tentu untuk mendapatkan kontrol kekuasaan, sehingga mereka bisa menjalankan apa yang menjadi ide-ide mereka untuk  negara seperti yang mereka janji-janjikan di awal sebelum terpilih. Contoh saja seperti yang baru kita lewati, pemilihan gubernur Jawa Tengah. Tentu sebelum salahsatu dari mereka terpilih, mereka akan mengkampanyekan ide-ide mereka untuk perbaikan jawa Tengah menuju kondisi yang lebih baik. Maka setelah satu dari mereka terpilih, mereka mendapatkan kekuasaan dan wewenang untuk menjalankan ide-ide mereka yang bernama visi dan misi. Sekarang yang menjadi pertanyaan, bagaimana kita sebagai mahasiswa dalam menyikapi perpolitikan di Indonesia? Haruskah kita apatis dan menyerahkan masalah politik ini kepada 'orang-orang dewasa' ? Dan bagaimana sikap kita sebagai mahasiswa Islam dalam menyikapi perpolitikan di Indonesia saat ini? Untuk menjawabnya, sebenarnya kita tinggal melihat sejarah kita saja.



Kita mulai dengan sejarah zaman kemerdekaan. Kita semua tahu, bahwa dulu sebelum proklamasi, Soekarno 'diculik' ke Rengasdengklok untuk diamankan setelah terjadinya kekosongan kekuasaan setelah Jepang menyerah kepada Belanda. Siapa yang melakukan? Para pemuda. Alasan kenapa mereka melakukan pengamanan ini adalah agar mereka ( Soekarno dan Hatta- yang dibawa ke Rengasdengklok) segera mengumumkan kemerdekaan Indonesia dan tidak terpengaruh pengaruh negatif Jepang dalam memutuskan permasalahannya. Karena sama-sama kita tahu, bahwa antara golongan muda dan tua berbeda pendapat saat memutuskan kapan kemerdekaan diproklamasikan. Golongan muda menginginkan secepatnya, tanpa perlu keputusan PPKI yang dianggap buatan Jepang itu. Sementara golongan tua memilih menunggu janji dari Jepang untuk memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Maka terjadilah peristiwa penculikan itu. Maka pada akhirnya, terjadilah kesepakatan antara golongan pemuda dan golongan tua bahwa proklamasi kemerdekaan dilakukan secepatnya, yaitu besoknya pada tanggal 17 Agustus 1945 di rumah Soekarno pada pukul 10.00. Ini semua berkat inisiatif para pemuda. Sekali lagi pemuda, dan kita tahu bahwa mahasiswa pun adalah seorang pemuda, maka apa bedanya kita dengan mereka? Mereka juga terdidik seperti kita...
Yang kedua adalah masa reformasi. Sebelum terjadinya masa renaissance ini, setiap pendapat yang berusaha mengkritisi pemerintah (Soeharto dkk) akan ditindak, entah kapan waktunya tak ada yang bisa menduga. Bisa saja pagi ini mengkritisi, sorenya hilang tak ada kabar, tahu-tahu sudah tak bernyawa setelah lewat beberapa bulan atau tahun. Sehingga bisa dikatakan, pendapat maupun opini yang mengarah kepada pemerintahan adalah terlarang dikatakan. Memprotes pemerintah adalah suatu kriminal yang harus dibasmi. Hingga suatu saat dikeluarkanlah Surat Keputusan Menteri P dan K No. 01/V/1978 tentang Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) untuk meredam gejolak perlawanan di kampus. Maka tak heran, semua bungkam. Tak ada suara. Akibatnya, kondisi pemerintah cenderung terlihat sebagai diktator dan rakyat menjadi tertekan. Hukum fisika mengatakan bahwa tekanan diteruskan ke segala arah pada zat cair. Tapi sebenarnya, pada udara pun juga bisa berlaku, seperti ketika kita meniup balon. Maka, ketika tekanan telah mencapai batas maksimal yang bisa ditahan, sedangkan tekanan terus diberikan, maka yang terjadi adalah tekanan itu akan menerobos dinding penahannya dan akan menghasilkan efek seperti ledakan, mirip ketika balon meletus, atau ketika dinding bendungan jebol. Inilah yang terjadi saat itu, ketika pemerintah terus saja menekan rakyat, sedangkan rakyat tak bisa aterus-menerus menerima tekanan, akhirnya meledaklah kemarahan rakyat. Maka terjadilah apa yang disebut reformasi itu. Mereka semua-termasuk mahasiswa turun ke jalan dan berteriak meminta Soeharto turun dari jabatannya segera. Selain itu, massa yang turun ke jalan juga membakar bangunan-bangunan, gedung-gedung, dan fasilitas lainnya sebagai bentuk protes. Di beberapa daerah, yaitu Solo, Bandung, dan Jakarta (sumber lain ada yang menyebut Yogya, Bandung, dan Jakarta) menjadi poros awal mula meledaknya aksi tersebut. Setelah memasuki tahun 90-an, barulah surat keputusan tadi dicabut dan diganti Surat Keputusan No. 403/U/1990 tentang Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT) yang disambut baik sebagian mahasiswa. Namun tetap saja, karena saat itu juga ditetapkannya Sistem Kredit Semester (SKS) yang memacu mahasiswa hanya untuk cepat selesai kuliah dan mendapat IP tinggi sehingga cepat mendapat pekerjaan. Sehingga mahasiswa pun seolah tetap mengalamai depolitisasi dan teasing dari lingkungannya sebagai intelek. Namun begitu, ini tetaplah menjadi angin segar bagi mahasiswa. Siapa yang melakukannya? Sekali lagi, mahasiswa, pemuda...
Setidaknya dua peristiwa bersejarah itu sudah menjelaskan bagaimana peran para pemuda, para mahasiswa dalam dunia perpolitikan di Indonesia. Pertanyaannya kembali, haruskah kita, mahasiswa abad 21 ini menjadi apatis dalam berpolitik, karena melihat carut-marutnya politik saat ini? Terlebih, banyak partai politik yang ternyata terlibat kasus macam korupsi? Bro, sebuah nasehat indah pernah disampaikan kepada penulis (aku). Negeri ini rusak karena diamnya orang-orang baik dalam setiap momentum. Maka, jka kamu ngaku sebagai orang baik, melihat kondisi negeri yang kocar-kacir ini, masihkah bertanya 'apa yang harus kita lakukan?' Aku jamin, pasti kalian sebenarnya ingin memperbaikinya. Ingin menjadikan negeri ini gemah ripah loh jinawi, atau baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Aku jamin. Kalian semua mempunyai harapan besar terhadap negeri ini, sedangkan diluar sana banyak orang yang merusak sendi-sendi negara hingga negara rapuh. Maka, kita pasti tahu apa yang harus kita lakukan. Kasarannya, kita singkirkan para perusak itu, dan kita tempatkan orang-orang cerdas, baik, dan bijaksana sebagai penggantinya. Bagaimana caranya? Masuklah ke dalam perpolitikan yang' kejam' itu. Jika itu masih terasa berat, atau mungkin awang-awangen, terasa hanya seperti imajinasi saja, maka begini... kamu punya hak pilih kan, nah, gunakanlah hak pilih itu dengan bijak. Ketika digelar pemilihan umum, entah pemilihan kepala daerah, pemilihan presiden, atau pemilihan legislatif, maka pilihlah calon-calon itu menurut ukuran yang paling baik, bukan karena telah berjasa memperbaiki kampung kita, atau karena dia telah memberikan sejumlah bantuan kepada kita. Tapi lihatlah visi-misinya, track record-nya selama dia memegang jabatan, amanahkah? sering mangkir? bertanggung jawab? atau tak kelihatan sama sekali prestasinya? Semua harus dipertimbangkan dengan bijaksana, bukan karena alasan egois semata. Bukan hanya karena alasan dia keluarga kita, lantas kita memilihnya. Karena kita memilih untuk kesejahteraan rakyat, gitu gampangannya. Jadi, kalau kita belum bisa terjun ke dalam dunia politik, kita pilihlah perpanjangan tangan kita dari orang-orang yang amanah, yang memperjuangkan kepentingan rakyat, tidak korupsi, kolusi, nepotisme, berkepribadian baik. InsyaAllah, yang seperti itu akan menjadi pemimpin yang amanah. Selain itu, kita juga harus menjadi seorang yang cerdas dan tercerahkan dalam melihat dunia perpolitikan saat ini. Meminjam istilah Sejarahwan Anhar Gonggong, bahwa cerdas saja bagi seorang sarjana yang terpelajar tidaklah cukup, sebab mereka juga harus tercerahkan. Cerah ini dikorelasikan dengan ideologi dan sikap teguhnya memegang nilai kebenaran dan keadilan sehingga dalam aktualisasinya sebagai insan politik menunjukan karakter yang mulia yang bukan durjana. Jangan sampai kita termakan begitu saja oleh pemberitaan media, apalagi pemberitaan miring terhadap tokoh atau kelompok politik (maksudku partai dan semacamnya) yang terkenal baik. Kita harus pandai-pandai melihat situasi dan kondisi, dengan begitu, kita bisa merumuskan jalan keluar atau solusi terbaik dalam menyikapinya. Jadi, kita bisa tarik suatu kesimpulan untuk menjawab pertanyaan 'haruskah kita apatis terhadap politik?' Maka kita bisa jawab dengan lantang TIDAK. Apatis menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah acuh tak acuh, tidak peduli. Maka jelas bahwa bersikap apatis terhadap politik berarti menjadikan diri seorang golput, karena dia tak peduli lagi masalah politik itu. Sebenarnya bisa dikatakan bahwa menjadi golput adalah menghancurkan diri sendiri, kenapa? Pertama, dengan menjadi golput, berarti dia tak peduli lagi masalah politik, dengan masalah negaranya. Sehingga ketika ada suatu kebijakan yang bagi dia itu baik, dia akan senang dan terima. Namun ketika suatu kebijakan jelek menurut dia, dia akan marah-marah dan memprotes pemerintahan, bahkan menyumpahinya. Namun bisa apa dia? Dia sudah tak peduli lagi dengan negaranya, lalu kenapa ketika dia mendapat kondisi yang tak enak, dia menyalahkan pemerintah? Apa haknya memprotes atas sikap ketidakpeduliaannya itu? Kedua, jika menjadi golput, maka ada dua keadaan. Keadaan pertama, jika pemimpinnya baik, maka kita bisa bernafas lega. Kita bisa mendukungnya. Namun ketika pemimpinnya buruk, salah siapa? Salah sendiri golput. Seperti yang sudah dikatakan sebelumnya, negeri ini hancur karena diamnya orang-orang baik. Jika banyak orang baik yang memilih golput, maka yang terpilih adalah pemimpin yang buruk. Pemimpin yang buruk akan berakibat kepada kebijakan yang buruk pula. Jika kebijakan itu disahkan, maka mereka-orang-orang baik yang akan dirugikan. kalau sudah begini, mau apa? Memprotes? Beeeh... itu nggak elegan bro, nggak keren... Maka dari itu, kita harus memperjuangkan agar kita tak bersikap apatis alias golput. Memang, politik tak boleh masuk kampus, tapi siapa bilang politik tak boleh masuk pikiran kita? Sebagai mahasiswa, sikap idealis adalah penting. Tak masalah kampus melarang politik masuk, itu bagus, agar tak mengotori dunia keilmiahan dan keilmuan dengan keberpihakan pada satu partai tertentu. Namun disisi lain, kita juga harus bisa berafiliasi, setidaknya mendukung suatu partai (karena mau kemana lagi kita akan berafiliasi jika bukan kepada partai, terkait dalam memperjuangkan kesejahteraan rakyat) yang dinilai baik dan mau memperjuangkan kepentingan rakyat daripada kepentingan golongan mereka. Kita harus berafiliasi dengan sebuah partai/gerakan/harakah yang visi-misinya mulia, dan berusaha mewujudkan visi-misi mereka itu. Terutama sebagai seorang Muslim, bergabung dengan jama'ah adalah kewajiban, sebagaimana serigala takkan menyerang sekumpulan domba, tapi ia menyerang domba yang terpisah dari kawanannya. Bagitu pula kita, dengan berafiliasi pada suatu harakah, kita akan terselamatkan. Namun untuk memilih bergabung dengan suatu harakah, harus dipilih sesuai kriteria tertentu. Karena kita sebagai seorang mahasiswa Muslim, tentu dalam bergabung dengan harakah kita harus mempertimbangkan dari sisi keislaman juga. Syarat/kriteria dalam memilih harakah, antara lain :
  • Tujuannya jelas. Tujuan ini harus didasarkan kepada Allah Subhanahu wa ta'ala saja. Jika ada tujuan duniawi pula, maka berhati-hatilah. Maksudnya, apapun yang dilakukan, entah pemilihan umum, kampanye, atau aktivitas apapun, semua didasarkan untuk Allah, bukan karena mengejar keduniaan.
  • Pemikirannya jelas dan sesuai realitas dan idealisme Islam. Pun, anggotanya juga harus seperti itu. Sehingga di dalamnya bisa kita jumpai pembinaan untuk tetap menjaga anggotanya dalam koridor Islam. Kan aneh, ngakunya harakah Islam, tapi pemikirannya liberal? Ya nggak...
  • Manhaj/sistem dasarnya adalah sistem seperti yang Rasulullah tetapkan. Namun demikian, tak tertutup untuk melakukan suatu ijtihad terkait suatu permasalahan. Kita sering mendengar ada orang meneriaki demokrasi (sistem negara kita) kafir. Lalu mereka berusaha menegakkan kepemimpinan/kekhilafahan Islam. Yang menjadi pertanyaan, bagaimana mereka akan mendirikannya sementara masyarakat belum tercerahkan dengan pemikiran Islam? Bagaimana nantinya masyarakat akan menerima kehadiran mereka bahkan mendukungnya ketika mereka terlihat asing di mata masyarakat? Sebuah pendapat dari syaikh bin Baz dan syaikh Yusuf al Qordhowi intinya menyatakan bahwa demokrasi itu boleh, ia dijadikan sebagai sarana dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat dan sarana berda'wah.
  • Berakhlaq dan beradab mulia. Jika sebuah harakah punya tabiat buruk dan tak beretika, pasti akan muncul pertanyaan, benarkah itu harakah Islam?
  • Syumul/menyeluruh. tentunya ini agar memberikan pengertian kepada masyarakat bahwa Islam adalah agama yang syumul, bukan parsial.
  • Berkomitmen dalam penegakan syari'at Islam.
  • Mampu melihat kondisi realitas lapangan. Sehingga mampu membuat fase-fase langkah dan kebijakan yang tepat sesuai dengan waktu dan kondisi realitas lapangan. Tentu saja dengan membuat skala prioritas berdasarkan kajian yang ilmiyah serta pandangan yang mendalam dari para pengamat dan ahli di bidangnya.
  • Mempunyai struktur internal yang solid. Sehingga dengan begitu akan menjadi struktur yang efektif dan tersusun rapi.
Jadi, masihkah menjadi mahasiswa netral politik? Sudah bukan waktunya begitu. Cepat atau lambat, kita pasti akan dituntut juga masuk ke dalam politik, entah secara langsung ataupun tidak. Jadi, prepare yourself... 





Setelah kita mengetahui kriteria dalam memilih harakah yang baik, maka kita tinggal melihat lapangan, adakah yang sesuai dengan kriteria tersebut? Jika ada, bismillah semoga itulah pilihan terbaik untuk berafiliasi. Jika belum ada, maka itulah kenapa mahasiswa disebut Agent of Change. Ia, bersama mahasiswa Islam lainnya, menyusun langkah untuk mewujudkan harakah yang dimasud itu. Organisasi eksternal kampus juga bisa dijadikan wadah dalam upaya pembinaan menjadi Muslim Negarawan sejati. Bisa juga lewat BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) ataupun Dema (Dewan Mahasiswa). Jadi lakukanlah, dengan jalur manapun sebagai wujud ekspresi menjadi Agent of Change.

0 komentar :

Korupsi, potret kegagalan pendidikan negeri

Mendengar kata 'korupsi', apa yang terngiang di otak kita? Uang? Pencurian? Pejabat? Atau mungkin, bahkan tradisi-budaya? Yah, apapun itu, korupsi pasti mendapat tempat dengan definisi negatif. Setidaknya begitu. Lalu, perasaan apa yang terbayang ketika mendengar istilah itu disebut? Sebel? Benci? Berang? Jengah? Bangga? Atau acuh? Kupikir, orang normal dan yang masih sehat akalnya akan menjustifikasi dengan perasaan negatif pula. Well, kurasa memang definisi negatif yang kita dapat disini.

Oke, sekarang kita bicara pendidikan. Bicara pendidikan, bicara FKIP, betul? Nggak juga... Bicara pendidikan, berarti bicara hal dengan banyak dimensi. Pendidikan adalah suatu objek kajian yang akan terus hangat dikaji karena dinamikanya yang tak pernah berhenti. Mulai dari sistemnya, biayanya, muatannya, input-outputnya, pengajarnya, muridnya, bahkan mungkin menterinya. Namun, disini ada hal yang perlu dicatat. Bahwa, pendidikan adalah jalan seseorang untuk mendapatkan banyak hal. Pendidikan merupakan jalan keluar dari lubang yang gelap. Merupakan nafas segar di tengah pengap polusi. Namun, di satu sisi, pendidikan bisa juga menjadi bumerang bagi siapa saja. Hal ini tergantung kebijakan dari si penerima pendidikan.


Mari kita sejenak menilik pendidikan di Indonesia. Indonesia, dengan beragam keadaan sosialnya, tentunya memiliki beragam corak pula dalam pendidikannya. Seperti halnya, beberapa hari lalu, aku dan temanku sempat tinggal semalam di salahsatu kampung di Solo. Disana kami mencoba bertanya kepada warga tentang kondisi pendidikan disana. Dan jawaban yang sangat disayangkan, bahwa disana rata-rata lulusan SD dan SMP, paling tinggi hanya STM. Kalaupun ada lulusan sarjana, itu bisa dihitung dengan satu tangan. Ini hanya satu contoh potret pendidikan negeri kita. Belum lagi jika kita melihat di bagian timur Indonesia, mungkin akan lebih dramatis lagi kondisinya. Lha wong di kota-kota besar atau metropolitan macam Jakarta saja masih ada yang tak mendapat pendidikan yang layak, apalagi di daerah yang bukan kota besar. Meski hal ini tak bisa kita jadikan acuan, tapi berpikir secara logika adalah sesuai untuk merepresentasikan kondisi umumnya.


Di negara ini, pendidikan adalah tanggungan negara. Di dalam pembukaan undang undang dasar 1945 alinea 4 tertulis "kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan................". Di sini tertulis jelas tujuan dibentuknya pemerintahan Indonesia ini, salahsatunya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Mencerdaskan berarti mendidik, dan mendidik berarti melakukan proses pemberian suatu pendidikan. Apa artinya? Negara bertanggung jawab pada proses pendidikan negara ini. Selain itu, dalam Pasal 31 UUD ‘45 ayat :

(1) disebutkan bahwa tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran.
(2) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional yang diatur dengan undang – undang.
Dalam Amandemen UUD’45 Pasal 31 disebutkan :
(1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.
(2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
(3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang.
(4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
(5)Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.

Disini jelas dikatakan bahwa setiap warga negara adalah berhak berpendidikan, dan pemerintah yang akan membiayai pendidikan tersebut. Namun pada kenyataannya, kita lihat banyak anak-anak yang malah putus sekolah, termasuk di tempat yang kukunjungi itu. Ini merupakan sebuah paradoks terhadap kenyataan yang terjadi, dan merupakan sebuah pukulan telak bagi pemerintah sendiri, meski kita tak bisa secara mutlak mengatakan semua ini salah pemerintah, karena pemerintah pun sebenarnya juga terus mengupayakan suatu pendidikan yang terbaik bagi Indonesia ini.

Sebuah masalah terjadi. Mari kita lihat, jumlah masyarakat yang terdidik dengan baik dibandingkan jumlah yang tak terdidik dengan baik kita rasa pasti jauh lebih banyak yang terdidik. Namun sebuah pertanyaan besar bagi kita, mengapa negara ini tak merasakan kemakmuran sejati? Apa kesalahan yang sebenarnya terjadi? Apakah ini salah pemerintah? Salah sistem? Salah peserta didik? Atau invasi negara lain yang ikut campur tangan internal negara kita? Bisa jadi semua jawaban adalah benar. Bisa jadi. Tapi mari kita lihat. Proses pembelajaran di tempat belajar (sekolah, tempat les, tempat kursus, dsb) adalah suatu hal yang harus kita lihat pertama kali sebelum lainnya. Kita harus tanyakan, bagaimana aktivitas pembelajarannya? Bagaimana kondisinya? Apa yang diajarkan? Dan apa orientasinya? Kugarisbawahi yang terakhir; orientasi. Pembelajaran di negara ini, kalau kita melihat dasar hukumnya, adalah untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa (pasal 31 ayat 3 UUD 1945), namun kenapa seolah tujuan itu sampai sekarang belum tercapai? Sebuah kata yang patut dipersalahkan adalah disorientasi. Pendidikan di negara kita mengalami disorientasi hingga akhirnya bergeser dari tujuan awal rumusan yang telah ditetapkan. Maka tak heran, jika disorientasi ini berlanjut, pada akhirnya akan mencetak manusia-manusia yang disorientasi pula. Ini pulalah yang pada akhirnya akan mengevolusi mereka menjadi manusia-manusia serakah, egois, dan tak berhati. Jika mereka memasuki kancah kenegaraan, maka tak jadi persoalan, tinggal tunggu waktu, mereka pasti akan berulah, dan biasanya, ulah mereka akan berada di sekitaran jabatan, uang, dan pangkat. Maka inilah jalan utama cikal bakal menjadi koruptor. Jika sudah begini, kiri-kanan akan disikut demi kepentingan mereka sendiri. Maka kita akan bertanya, siapa yang akan disalahkan?

0 komentar :

Analogi Balon

Dalam menghadapi masalah, tak jarang, dan sering mungkin, kita  membalutnya dengan keluh-kesah tak berkesudahan. Kita sering mendramatisirnya, hingga masalah yang sebenarnya remeh pun terhias menjadi sulit. Kita sering membuat alasan-alasan untuk pembenaran fikiran kita, asumsi kita, bahwa kita tak mampu, kita tak bisa, padahal kadang kita belum mencoba, hanya mengedepankan visualitas kita yang belum tentu benar. Tak terkecuali aku, aku akui terkadang aku juga begitu. Bahwa masalah itu terasa berat dipikul pundak, terasa besar dilihat mata, terasa rumit dalam fikiran, terasa mustahil dalam imajinasi, terasa kosong dalam harapan. Semua berada dalam lingkup ruang negatif saat menghadapinya. Seolah masalah ada hanya untuk mengerutkan dahi saja, sementara tubuh tetap tertunduk tanpa mampu tegak menantangnya.

Sahabatku, bahkan debu sekalipun, jika kita mau berfikir, ia bisa memberikan kita pelajaran berharga. maka bacalah, dan renungkan ini baik-baik.

Sahabatku, bayangkan sebuah balon, merah warnanya, melayang tinggi di langit, tertiup kesana kemari. Bayangkan juga, sebuah balon yang belum ditiup, tergeletak di meja tak bergerak. Mana yang lebih menarik?

Sahabatku, balon yang terbuat dari karet itu, pada awalnya adalah kempis. Ia tak bisa apa-apa, bahkan sekedar memantul ala kadarnya saat jatuh ke bawah pun, ia tak bisa. Namun, ketika balon itu diisi udara, ia akan semakin mengembang dan membesar. Ketika tekanan udara yang diberikan semakin besar, maka ia semakin membesar dan terus membesar hingga titik tertentu ia akhirnya meletus. Sebuah analogi menarik terkait sikap kita dalam menghadapi masalah. Jika kita ibaratkan balon adalah diri kita, dan tekanan udara adalah sebuah masalah, maka ketika kita tak mendapat tekanan sama sekali, kita akan cenderung pasif, diam tergeletak, dan 'mati'. Sementara ketika kita diberi tekanan, diberi masalah, kita akan semakin berkembang perlahan, tahap demi tahap, hingga akhirnya kita berkembang sangat besar dari diri kita sebelumnya. Kita menjadi 'hidup' dalam hidup kita. Menjadi (berhati) besar dalam menikapi masalah.

Adapun meletusnya balon, itu hanya efek samping ketika diri tak mampu mengontrol jiwa dalam bertahan menghadapinya. Inilah perbedaannya kita dengan balon, bahwa kesabaran kita sebenarnya jauh lebih kuat daripada elastisitas karet balon. Jauh lebih kuat. Hanya saja kadang kita men-generalisasi permasalahan menjadi sesuatu yang umum dirasakan orang lain; berat, susah, tak bisa diselesaikan, dan semacamnya.

Salahsatu yang paling berpengaruh dalam memberikan kekuatan bersabar adalah motivasi dibaliknya. Jika motivasi kita benar, maka kekuatan besar itu akan tercipta, dan memberikan efek bertahan yang luar biasa. Maka, sedari awal, benahilah motivasi kita, dalam setiap langkah, dalam setiap masalah, motivasikan kebaikan dan kebaikan. Kembalikan kepada Allah segala urusan, dan kemudian tetaplah berjuang hingga kelelahan lelah menyertaimu.

Sahabatku, hidup ini adalah perjuangan. Maka, kalau tidak berjuang, berarti tidak hidup... iya kan? :)

Kawan, sahabatku, sungguh, sebenarnya pun aku masih merasa tak pantas menuliskan untaian nasehat ini, karena jauhnya diriku dari cerminan hikmah di balik penuturan ini. Namun, adakah kebaikan dari nasehat yang sengaja tertahan? Tidak. meski aku tak pantas, namun selalu ada harapan untuk memantaskan diri. Itulah motivasiku menulis rangkaian kata ini. Semoga tercatat kebaikan, dan mampu menyelimuti hatiku dan hatimu hingga tergerak untuk berubah menuju kebaikan dalam bersikap, terutama dalam menantang masalah. Amin. Barakallah fikum.

3 komentar :

Belajar dari seorang penjual kelapa

Sabtu (01/06/2013) kemarin, aku dan 2 orang temanku pergi ke Pasar Gede. Sebenarnya kita kesana karena ada acara daurah. Setelah sampai di pasar, kita bertemu sama mas-mas panitia dan diberi instruksi untuk melakukan observasi, wawancara, dan kontribusi di pasar. Kita pun mulai muter-muter pasar untuk melihat kondisi sosial disana. Setelah belasan menit muter-muter, kita putuskan untuk menanyai seseorang. Akhirnya kita menuju ke pos keamanan dan ketemu satpam disana. Kita pun melakukan wawancara seadanya. Setelah selesai, kita muter lagi dan akhirnya ketemu sama mas-mas penjual kelapa tua. Katanya, dalam sehari dia bisa menjual 150 buah kelapa. Setelah basa-basi, kita pun mulai mewawancarai. Lusinan menit sudah kita disana ngobrol kesana kemari dan tak disangka ternyata sangat asik. Hebatnya lagi, mas nya itu -dilihat dari ceritanya dan visi misinya, sangat visioner menurutku. Jadi gini, ceritanya, awalnya, dulu dia kecil sekolah di madrasah -sebagai asumsi madrasah dan sekolah dasar itu beda dikit, madrasah itu yang ada muatan agamanya lebih banyak daripada sekolah dasar. Nah, terus lanjut ke SMP, trus ke STM. Yang menarik, dulu awalnya dia ini orangnya biasa aja, baik-baik, enggak neko-neko. Tapi, kemudian saat masuk STM, menginjak tahun kedua, mulailah kisah hitam itu terlukis di kanvas kehidupannya. Awalnya dia ditawari rokok sama temennya -eh, dia ngerokok udah sejak SMP sih..., terus dia mikir, wah kok enak ya rokoknya... Waktu itu rokok yang ditawakan ke dia adalah marlboro, harganya Rp 6000,00, mahal itu. Terus lama-lama kok dia ngliyeng, berkunang-kunang. Ternyata eh ternyata, di dalam rokoknya itu disisipi ganja. Pantes!

Setelah itu berlanjutlah kisah hitamnya. Dia jadi seirng bolos sekolah. Bahkan, katanya dalam seminggu dia cuma masuk 1-2 hari. Wow banget kan... Dia juga seringnya ngehabisin uang orang tuanya -walaupun untungnya orang tuanya mampu. Bahkan pernah suatu ketika, sekolahnya mengadakan PKL (Praktek Kerja Lapangan), dia bilang sama orang tuanya kalo PKL dia butuh biaya sejuta. Gila nggak?? Dikasihlah dia uang sejuta. Tapi bukannya ikut PKL, eh dia ternyata bolos. Duitnya dilarikan buat foya-foya. Ortunya gak tau sama sekali. Terus, yang lebih gila lagi, kalo kenaikan kelas, yang ambil raport bukan ortunya, tapi dia nyewa tukang becak, dibayar buat pura-pura jadi ortunya. Kereeeeen gak??. Kalo ada acara atau pertemuan apa gitu, dia juga nyuruh pak becaknya itu yang datang. Jadi, ortunya nggak perrnah ke sekolahnya.

Dunianya semakin hitam. Rekor terhebatya, dia pernah kecanduan narkoba. Iya, narkoba beneran, gak usah kaget gitu lah... Dia bilang, semua berawal, bukan salahnya negara api, tapi karena salah pergaulannya. Akhirnya jatuhlah ia ke dalam lubang hitam. Sampai suatu ketika, yang membuatnya sadar adalah, suatu saat, dia muntah darah gara-gara narkoba dan minuman kerasnya itu. Dan hebatnya, kata dia muntah darahnya sampe segelas penuh -gelas yang biasanya buat minum es teh di warung-warung itu. Wow kan... sesuatu banget. Track record lainnya, dia juga mabuk-mabukan. Suatu ketika, dia habis dibeliin motor, tapi sayangnya motornya cuma hidup setengah tahun, karena saat itu dia bawa motornya ke Tawangmangu, mabuk disana. Nah, pas dijalan -kan TW jalannya kayak gitu ya, kiri kanan kulihat saja banyak tebing dan jurang, dia terjatuh ke jurang kali -kalo gak salah inget. Nah, motornya hancur. Itulah akhir dari kisah motornya.

Pertaubatannya dimulai saat ia menginjak di kelas 3. ya iyalah, secara mau ujian, kagak tobat bisa gawat. Dia yang tadinya pacandu miras, rokok, dan narkoba, secara njeglek berhenti total. Dia jadi rajin lagi, nggak bolos, dan belajar lagi. Gurunya sampe geleng-geleng kepala ngeliatnya.

Akhirnya UN pun lewat, dan terrrrnyata, nilai akhir ujiannya kalo ditotal mencapai angka 39. Kaget?? Dia nggak ikut les atau bmbingan apapun. Kaget??

Setelah lulus, sebenanya dia disaranin gurunya masuk ke Astra, tapi dia akhirnya memutuskan lebih milih bantu ibunya di rumah, eh pasar ding, jualan kelapa. Sampai detik ini juga, dia masih jualan disana, di Pasar Gede. Sekarang dia sudah tobat, sudah punya istri satu, juga anaknya satu ditambah satu, satu SD kelas satu, satu lagi satu setengah tahun. Di rumah juga ada satu usaha pembuatan knalpot. Punya satu pegawai dan satu pegawai juga, jadi ada satu ditambah satu pegawai. Yang bagus, dia masukkan anaknya ke sekolah Islam. Dia sudah, istilahnya semacam trauma sama pergaulannya kalo di sekolah umum. Dia takut kalo anaknya nanti nasibnya sama kayak dia dulu, makanya sekarang, dia sampe mengontrol dan mengawasi anaknya itu bener-bener. Dia jaga tuh titipan Allah. Dia juga bilang, katanya, dia akan tetap jaga anaknya buaut dimasukin ke sekolah Islam. Dan syukur-syukur kalo bisa dia mau masukin anaknya kelak ke pondok. Subhanallah... Visioner ini namanya.

Setelah kami dibuat terkagum oleh cerita dan impiannya beberapa lusin enit, kami pun akhirnya izin pamit mengundurkan diri dari hadapannya untuk melanjutkan kembali perjalanan yang masih jauuuuh. Sekian.

Syukran. Semoga bisa diambil hikmahnya.

2 komentar :