20 tahun lalu

21 Februari 2014 M/22 Rabi'ul Akhir 1435 H

Hari ini adalah tepat 20 tahun aku menghuni dunia bernama Bumi. Hari ini pula 20 tahun Allah titipkan amanah Islam kepada diriku dengan berbagai fasilitasNya, udaranya, airnya, kicau burungnya, cahayanya, keramahan manusianya, senyuman hangat orang-orang yang mencintaiku, juga tak lupa emosi-emosi negatif yang berserakan di sekitar saya sebagai pelengkap.

Ternyata, 20 tahun ini pun belum banyak yang bisa kulakukan. Jika dulu, ada seorang lelaki yang meski usianya baru 12 tahun, ia telah menjadi seorang gubernur. Ada lelaki yang di usia 16 tahun bisa berbicara dalam 8 bahasa. Ada lelaki yang di usia 17 tahun telah menjadi panglima perang. Adapula lelaki yang kala usianya empat tahun diatasku, tapi sudah bisa menaklukkan sebuah kota untuk diajak beriman. Dan adapula lelaki yang setahun diatasku pada waktu itu, namun dia mampu menaklukkan sebuah benteng yang 1000 tahun tak pernah jebol ditembus. Namun saya, bahkan menaklukkan segenggam hati milik orang lain pun belum bisa (tau maksudnya kan?? sudah jangan diteruskan...). Kalau dipakai hitungan, hanya ada sisa waktu 1 tahun agar saya bisa menyamai prestasi salah satu lelaki itu, walau tidak sempurna. Kalau tembok itu dinamakan Konstantinopel, maka yang satunya adalah Roma, tempat penaklukan kedua, kata Rasul. Tapi, ah, siapa tau... Siapapun yang bisa mewujudkannya, dia pasti orang yang beruntung, sangat beruntung. kalaupun saya tak bisa menjadi 'panglima'nya, setidaknya menjadi 'jundi'nya juga boleh... Hha...

Setiap tahun, pasti akans elalu ada do'a terlantun. Tahun ini pula, semoga do'a-do'a kebaikan itu terus terlantun entah ditujukan kepada siapapun, aku, kau, dia, mereka, kita, atau siapapun itu.

Sedikit cerita, dulu kata ibuku, sebenarnya tanggal lahirku bukan 21 Februari. 2 hari sebelumnya, itulah hari kelahiranku yang seharusnya. Namun, katanya, saya ini bandel. Saya lebih betah didalam daripada keluar melihat dunia baru. Akhirnyalah saya melakukan perpanjangan kontrak untuk bisa tinggal di perut ibuku 2 hari lagi. Hasilnya, prediksi kelahiranku tanggal 19 Februari pun meleset menjadi 21 Februari. Tapi toh, aku lebih suka angka 21 daripada 19 :)

Aku lahir tanggal 21 Februari 1994 atau kalo dihijriahkan menjadi 10 Ramadhan 1414, pukul 14:15 siang di rumah bidan. Haha, maklumlah dulu aku tinggal di daerah yang rumah sakitnya lumayan gak deket dari rumah, jadi wajar kalo aku lahir di rumah persalinan, bukan rumah sakit. Dan lagi, aku lahir siang hari, kata ibuku jirih (penakut), soalnya nggak berani keluar malam-malam, hemm... Bukan salah saya ibukkk... Kelahiran saya pun, dikatakan membuat ibuku terpaksa nggak puasa Ramadhan. Yaa mau gimana lagi ibuk, saya nggak bisa protes atau minta diatur ulang jadwalnya. Akhirnya memang ibuku nggak puasa Ramadhan tahun itu dan tahun berikutnya karena msih menyusui Mahmud kecil yang imut dan lucu ini.

Saya waktu kecil

0 komentar :

Kue Pertamaku

Rabu (5/01) aku berusaha sebaik mungkin. Ya, sesuai judul, berusaha membuat kue.

Lepas jam 10 pagi, setelah aku mengantar ibuku pengajian, aku pulang ke rumah. Di rumah, aku mulai menyusun rencana seperti semula. Memasak roti. Pada awalnya, roti ini ingin kuberikan untuk temanku yang sedang sakit. tapi, takdir berkata lain...

adonan roti
Sebenarnya proses pembuatannya biasa saja dan kelihatannya sama dengan cara kebanyakan orang membuat roti. Memang, awal pembuatan roti ini aku meniru cara ibuku memasak. Tapi mungkin ada bagian yang kurang atau terlewat sehingga hasilnya.... emmm... tidak usah disebut lah...

Yang paling membuatku bingung adalah mana tepung terigu mana tepung tapioka mana tepung lainnya... Aku bingung sampe nyari di internet. Tapi yaa... sama saja...

Takaran yang kupakai pun nggak persis sama kayak takaran ibuku. Aku improvisasi sendiri. Kelihatannya memang kayak pro, setelah semua bahan dicampur, dimixer, dan ditaburi ceres, kelihatannya -optimis- jadinya bagus. Lalu akhirnya setelah puluhan menit memixer adonan, akhirnya kumasukkan ke loyang dan dioven.
adonan yang dikasih ceres
Setelah gak yakin, beberapa belas menit pun akhirnya kumatikan kompornya. Setelah diangkat dari oven, kulihat kuenya lumayan bagus (dari luar). Setelah dilihat lebih jelas dan ingin kutaruh di piring, sesuatu yang mengejutkan terjadi. Kue itu susah dan bahkan tak bisa dilepas dari loyang. Ternyata lengket dengan loyangnya karena tadi lupa loyangnya diberi tepung. Akhirnya kupaksa dengan sendok dan pisau untuk melepasnya. Setelah lepas, hal yang lebih mengejutkan terjadi. Ternyata bagian bawahnya gosong. Dan parahnya, gosongnya itu sampe jadi hitam kayak arang. Akhirnya kumakan sendiri bagian yang gak gosong dan sisanya kubuang. Dan, batallah kue untuk temanku itu...

Sekian. Curhatan kayak anak kecil...

0 komentar :