Kedahsyatan Sedekah

seorang pemuda 20 tahun, sebut saja Fatih (samaran), suatu ketika ingin sekali punya laptop. Alasannya sederhana, agar dia bisa mengerjakan tugas-tugasnya tanpa kesulitan. Lalu dia berdo'a kepada Allah memohon agar dia segera diberikan laptop. Disamping itu, dia juga mulai menabung agar suatu saat uangnya mencukupi.

Suatu ketika dia mengutarakan niatnya kepada ayahnya. Namun ternyata jawaban yang didapat dari ayahnya tidak memuaskan keinginannya. Malahan dia disarankan untuk banyak-banyak infaq. Meski dia enggan, tapi dia infaq juga walaupun sedikit-sedikit, yah sekitar seribu-dua ribu.

Suatu hari dia mendapati sebuah peristiwa yang membuatnya sangat galau. Ketika itu dia, sepulang sekolah mendapati berita kecelakaan tetangganya. Dan ketika itu pula, tetangganya segera ke rumahnya dan berniat meminjam uang untuk biaya pengobatan awal keluarganya yang kecelakaan. Namun sayang, di rumah dia hanya menemukan Fatih ini sendirian. Maka, memilih antara membantu tetangganya yang punya urusan mendesak ini atau memilih mempertahankan keinginannya dengan menabung sedikit lagi untuk bisa membeli laptop. Setelah pertarungan antara idealisnya dengan nuraninya, maka akhirnya dia ikhlaskan uang sebesar satu juta empat ratusan ribu rupiah itu untuk tetangganya yang sedang membutuhkan bantuannya. Maka, hilanglah kesempatan (menurutnya) untuk membeli laptop itu setelah semakin dekat.

Sesampai orang tuanya di rumah, dia ceritakan kejadian tersebut. Bukan solusi (menurutnya) yang didapat, malah pujian serta saran agar meningkatkan apa yang telah dia lakukan tadi siang. Akhirnya dia semakin bingung karena dia juga merasa semakin hari semakin butuh saja dia dengan keberadaan laptop di rumahnya.

Di tengah kebingungannya itu, dia teringat pesan gurunya di suatu siang. Jangan pernah minta sesuatu pun kepada orang lain. Jika engkau harus meminta, maka mintalah kepada Allah. Adapun manusia, dia hanyalah sebagai perantara Allah menyampaikan kabar terkabulnya doa kita. Namun yang perlu diingat, buatlah Allah senang agar Dia mau mengabulkan doamu. Maka malam itu, dia sengaja bangun. Dia sengaja luangkan waktu untuk bermunajat dan memohon kepada Allah ketika banyak dari manusia-manusia di bumi terlelap dalam malam. bahkan, azzamnya, dia akan lakukan itu terus-menerus hingga dia dapatkan apa yang dia minta. Seminggu, dua minggu, dia tak dapatkan pencerahan. Lalu pada minggu ketiga, Allah berikan jalan kepadanya dengan perantaraan tetangganya yang telah dia tolong sebelumnya dengan meminjamkan kepadanya laptop anaknya. Kebetulan saja anaknya sedang tidak begitu membutuhkan laptop, sehingga dia bisa dengan leluasa membawanya kapanpun. Satu keinginan terjawab. Namun, bukan seperti yang dia inginkan. Dia ingin laptop murni miliknya, bukan laptop pinjaman. Namun untuk sementara, dia bisa bernafas lega karena dia sudah memegang laptop. Sementara itu, tetangganya juga meminta maaf karena belum bisa mengembalikan uang yang dulu dipinjamnya.

Fatih yang sudah mendapatkan laptop itu pun bersyukur dan tetap menjalankan sholat malamnya sampai dia mendapatkan apa yang dia minta kepada Allah. Semakin lama, seminggu, dua minggu, tiga minggu, empat minggu, lebih dari sebulan dia begitu rajin dalam bangun malam dan tahajjud sampai-sampai dia lupa tentang niatnya yang sholat malam demi mendapatkan laptop. Lalu di minggu kelima dihari keenam (Jum'at), selepas sholat Maghrib, tetangganya datang ke rumahnya. Setelah dipersilakan masuk dan disambut orang tuanya, tetangganya itu segera mengutarakan kedatangannya. Dikatakan bahwa dia belum bisa mengembalikan uang yang dulu dipinjamnya karena memang dia tak punya uang. Namun katanya, tiga hari yang lalu anaknya yang berada di Jogja (yang punya laptop) mengatakan bahwa dia sudah membeli laptop baru dan berniat memberikan laptopnya itu kepada si Fatih karena dia sudah menolong keluarganya sebelumnya. Maka seketika Fatih kaku tak percaya. Meskipun laptop second, namun usianya belum genap enam bulan. Usut punya usut, ternyata ayahnya sebelumnya bercerita kepada istri dari tetangganya yang mengalami kecelakaan itu niat dari anaknya yang menginginkan laptop. Lalu istrinya tersebut bercerita kepada anaknya keinginan anak tetangganya itu. Maka dari situlah keinginannya terkabul, dimulai dengan meminjamkan laptop kamudian memberikannya cuma-cuma. Maka selesailah Allah menjawab do'anya.

Terkadang kita meminta kepada Allah dengan tergesa-gesa, bahkan mendiktenya. Namun kita lupa bahwa Allah bukanlah Dzat yang bisa didikte seenaknya. Allah punya kehendak sendiri dalam bertindak, apakah akan mengabulkan atau tidak. Akan diberikan segera atau ditangguhkan. Semua terserah Allah. Bagi kita, hanya berusaha dan berdo'alah yang harus terus kita lakukan. Bahkan, untuk menguatkan hati dan iman kita, terkadang Allah uji dengan cobaan yang mengharuskan kita memilih dari dua hal yang berat. Terkadang nurani dan keinginan sengaja Allah benturkan agar menyadarkan kita dari keegoisan kita. Maka dari situlah Allah akan menilai apakah kita layak untuk diberikan kabar gembira (terkabulnya do'a) atau tidak. Dan, meski Allah kabulkan, Dia tak melulu kabulkan dengan cara yang kita inginkan. Terkadang, Dia rangkai dahulu cerita kita agar indah pada akhirnya, sehingga kita bisa mengambil nilai dan inspirasi dari cerita yang Allah skenario-kan.

"Maka jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu takkan sanggup untuk menghitungnya." An Nahl : 18.

''Dan (ingatlah) tatkala Tuhanmu memaklumkan, 'Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.'" Ibrahim : 7.

Maka benarlah kata Allah, "Berdo'alah kepadaKu, niscaya akan Kuperkenankan kepadamu.". Juga dalam ayat lain, "…Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya...".

Maka, inilah yang dinamakan ujian keimanan. Seberapa besar tingkat iman kita salah satunya diukur dengan cara ini. Dan hanya Allah-lah sebaik-baik pemberi nilai.

0 komentar :

Antara masuk Parlemen dan Ekstra Perlemen

Mungkin agak telat saya nulis ini? Biarlah, daripada terus terpendam...

Di masa-masa menjelang pemilu ini, pasti atmosfer yag ada benar-benar panas oleh persaingan dan debat. Tapi bukan antarcaleg yang akan saya bahas, melainkan -sesuai judul- antara masuk parlemen dan diluar parlemen.

Jujur, ini sebenarnya uneg-uneg juga sih. Beberapa minggu terakhir ini banyak sekali perdebatan-perdebatan antara 'pendukung demokrasi' dengan 'anti demokrasi'. Tapi sebenarnya saya nggak suka dengan istilah pendukung demokrasi. Oke, dikerucutkan, ini adalah fenomena 5 tahunan sekali antarkelompok Islam. Jadi, kembali lagi, memang dalam Islam tak mengenal istilah demokrasi seperti kata Plato (walaupun katanya pada akhirnya dia anti demokrasi) ataupun Aristoteles. Tapi, melabelkan satu atau beberapa kelompok dengan pendukung demokrasi itu merupakan sebuah sebutan yang tak mengenakkan bagi saya. Baik, saya memang bukan orang yang anti-demokrasi. Tapi saya melihat -saat ini- demokrasi adalah sebuah alat yang lebih efektif untuk melakukan perubahan bertahap demi menyongsong kebangkitan ummat Islam saat ini. Jadi istilahnya seperti semacam trigger saja. Makanya kami mengatakan bahwa demokrasi ini bukanlah tujuan, tapi sarana/alat/instrumen. Dan makanya pula, kami lebih suka dengan sebutan penunggang demokrasi.

Kembali lagi ke permasalahan. Seringkali di banyak forum, banyak diskusi, banyak komen, banyak status, mereka mendebatkan tentang demokrasi. yang satu bilang demokrasi adalah sebuah sarana untuk meraih kekuasaan yang dengannya kita bisa merubah keadaan setelah mendapatkan kekuasaan itu. Yang lainnya mengatakan bahwa demokrasi itu hukunmya haram dan merupakan sistem yang kufur. Lalu sebenarnya siapa yang salah dan siapa yang benar? Yang benar adalah yang tetap memperjuangkan agama Allah, dan yang salah adalah mereka yang bahkan apatis dengan keadaan ummat Muslim saat ini. :v

Sebenarnya, yang jadi pokok permasalahan yang bisa memicu debat saat ini adalah status demokrasi itu. Kita bisa lihat dalam banyak debat, mereka selalu saja mengeluarkan argumen yang sama. Argumen bahwa demokrasi adalah sebuah alat saja serta argumen bahwa demokrasi adalah sistem kufur.

Sampai disini saya hanya akan mengerucutkan menjadi dua kelompok (bukan bermaksud menjustifikasi atau menyerang kelompok tertentu, tapi dilihat dari kekonsistenannya dalam pembahasan seputar demokrasi, maka kita bisa ambil dua kelompok, yang satu menolak demokrasi dan satunya mau mengambil demokrasi).

Dalam keberjalanannya, sebenarnya dua kelompok ini sama-sama memperjuangkan untuk tegaknya Islam di muka bumi. Namun, metode yang mereka lakukan adalah berbeda. Yang satu dengan cara masuk ke dalam parlemen, dan yang satu dengan cara berjuang di luar parlemen. Namun, permasalahan timbul ketika dua pemikiran yang berbeda arah ini bergesekan. Saya katakan berbeda arah untuk memudahkan saja, yang satu lewat kanan dan yang satu lewat kiri. Yang satu memvonis bahwa cara yang dilakukan mereka adalah bathil. Sementara yang satu lagi mengatakan bahwa cara yang dilakukan kelompok lain itu terlalu tergesa dan tidak melihat situasi kondisi. Maka saya dan beberapa teman berfikir dan bertanya, hey, ayolah, kalo memang tak bisa berdampingan, janganlah timbul perdebatan yang mengarah kepada permusuhan... Apakah kalian merasa kelompok kalian yang melakukan metode paling benar?

Ah, sudahlah. Saya terkadang jengkel sendiri dengan pendapat-pendapat yang monoton dengan argumen-argumen yang selalu sama tanpa ada penjelasan baru. Sementara kita saling beradu argumen, tak tahukah bahwa ada usuh sebenarnya yang bergerak dalam senyap, mengorganisir secara rapi dan terus bergerak tak terhentikan?

Beberapa waktu yang lalu saya dapat pesan dari seorang teman. Salah satu partai di Indonesia saat ini, sebut saja PDIP, telah menjadi kendaraan gereja untuk menyebarkan misi-misinya. Dikatakan bahwa gereja telah menginstruksikan jemaahnya untuk ikut memilih dalam pemilu tahun ini dengan pilihan partai bergambar banteng itu. Permasalahan yang timbul kemudian adalah bahwa di dalam tubuh partai itu sendiri sudah banyak disusupi orang-orang yang ingin merusak Islam. Jika kita lihat kampanye mereka saja, tentu sudah menimbulkan keresahan, apalagi atasan-atasan mereka, pasti lebih meresahkan. Lihat saja pemimpin partai mereka, Mega*wati, yang dulu sewaktu menjabat jadi presiden malah melakukan penjualan aset-aset negara ke pihak asing. Ini apaah...???

Yang lebih mencengangkan lagi adalah, gereja tersebut (bukan satu gereja, tapi perkumpulan gereja) menginstruksikan masyarakat untuk tidak memilih partai Islam atau tokoh yang berafiliasi dengan Islam. Ini kan, bukan bualan yang sepele. Ini serius. Jika sampai hal itu terjadi, maka yang menguasai negeri adalah kelompok non Islam. Itulah kenapa, pembahasan ini pasti akan meluas juga ke ranah golput-tidak golput. Dan, hemmm... kalian mau dipimpin sama pemimpin non Islam, apalagi macam Ahok itu?

Baik. Masalah selanjutnya yang timbul dari wacana ini adalah tentang dikuasainya negeri oleh orang-orang non Islam. Kembali berceloteh. Kelompok A, sebut saja begitu, kelompok yang memanfaatkan demokrasi, mengatakan jika kita tak ambil bagian di pemilu ini, maka suara-suara kita akan sia-sia dan digantikan oleh suara-suara yang tak menyukai bila Islam tegak. Kemudian kelompok B, begitu, yang anti demokrasi mengatakan, ah itu kan cuma prasangka saja. Belum tentu terjadi. Kita masih bisa berjuang di luar parlemen. Kita bentuk opini publik, lalu kita gerakkan massa untuk melakukan revolusi. Hemm, gitu ya... Hellooo... Lupa ya agenda gereja tadi. Dan lupa ya, membentuk opini publik itu tak semudah bikin tembikar. Butuh waktu lama dan usaha terus menerus yang serius dalam melakukannya. Kalau saya pribadi, saya lebih cenderung ke pendapat si A. bukan apa-apa, tapi saya rasa itulah langkah terdekat yang bisa kita lakukan.

Oke, mungkin beberapa dari kita masih mempertanyakan hukumnya masuk ke dalam parlemen. Oke, tak apa, karena memang itu penuh tanda tanya. Tapi dari beberapa ulama sudah memperbolehkan ikut andil dalam pemilihan umum dan parlemen. Mereka adalah ulama-ulama besar ahlussunnah yang sudah masyhur dalam ilmu dan taqwanya dan banyak dijadikan rujukan dalam berfatwa. Diantaranya adalah syaikh Binbaz rahimahullah.

Wajib bagi Kaum Muslimin di Negara yang tidak berhukum dengan Syari’at Islam, untuk mengerahkan usahanya dan apapun yang mereka mampui dalam berhukum dengan Syariat Islam. Dan (wajib pula bagi mereka) untuk bersatu padu dalam membantu partai yang dikenal akan berhukum dengan Syari’at Islam.

Adapun membantu orang yang mengajak untuk tidak menerapkan Syari’at Islam, maka ini tidak boleh, bahkan bisa menyeret pelakunya kepada kekufuran, sebagaimana Firman Allah ta’ala (yang artinya):
“Hendaklah Engkau memutuskan perkara di antara mereka menurut hukum yang diturunkan Allah, janganlah Engkau mengikuti keinginan mereka, dan waspadalah terhadap mereka, jangan sampai mereka memperdaya Engkau dalam sebagian hukum yang telah diturunkan Allah kepadamu. Lalu jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allh berkehendak menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Dan sungguh kebanyakan manusia adalah orang-orang fasik. Apakah hukum jahiliyah yang mereka inginkan?! Tidak ada hukum yang lebih baik dari hukum Allah bagi orang-orang yang meyakini” (al-Ma’idah 49-50)
Oleh karena itu, ketika Allah menjelaskan kufurnya orang yang tidak berhukum dengan Syari’at Islam, Dia memperingatkan agar tidak membantu mereka atau menjadikan mereka pemimpin, dan memerintahkan Kaum Mukminin agar bertakwa bila mereka benar-benar beriman, Allah ta’ala berfirman (yang artinya):
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian jadikan sebagai pemimpin; orang-orang yang diberi kitab sebelum kalian dan orang-orang kafir yang menjadikan agama kalian sebagai bahan ejekan dan permainan, dan bertakwalah kepada Allah bila kalian orang-orang yang beriman. (Al-Ma’idah: 57).  [Fatwa Lajnah Da'imah, seri kedua, 1/373]
Ada lagi dari ulama lain, syaikh Albani rahimahullah.
Penanya: Wahai Syeikh kami, saya paham dari ucapan (Anda) ini, bahwa untuk parlemen atau pemilihan pemimpin negeri, bila ada seorang muslim yang mencalonkan diri, maka boleh memberikan suara untuknya?
Syeikh: Ya (benar), tapi itu karena alasan menolak keburukan terbesar dengan keburukan terkecil, bukan karena hal itu baik. [Silsilah Huda wan Nur, kaset no: 660]
Ada lagi dari syaikh Utsaimin rahimahullah.
Pertanyaan: Wahai syeikh, apa hukum pemilu yang ada di Negara Kuwait, padahal diketahui; mayoritas orang pergerakan islam dan para da’i yang masuk ke dalamnya, agamanya menjadi rusak? Lalu apa hukum pemilihan ketua kabilah yang ada di sana?
Jawaban: Saya melihat, (mengikuti) pemilu itu wajib, kita wajib menunjuk orang yang kita lihat ada kebaikan padanya, karena bila orang-orang yang baik pada mundur, siapa yang akan menempati tempat mereka? (tentu saja) orang-orang yang buruk, atau orang-orang ‘pasif’ yang tidak memiliki kebaikan atau keburukan, pembeo setiap orang yang berteriak (mengajaknya), maka kita wajib memilih orang yang kita nilai saleh.
Jika ada yang mengatakan: Kita memilih satu (orang saleh), padahal mayoritas anggota majlis bertentangan dengan keadaannya.
Kita katakan: Tidak masalah, satu orang ini, jika Allah memberikan keberkahan padanya, dan menyampaikan ‘pesan kebenaran’ dalam majlis ini, itu akan mempunyai pengaruh, dan itu keniscayaan. Tapi (masalahnya) kita kurang tulus terhadap Allah, kita menyandarkan diri pada hal-hal yang bersifat materi dan kasat mata, tapi tidak melihat kepada kalimat Allah azza wajall.
Lihatlah tindakan Nabi Musa -alaihissalam- ketika Fir’aun meminta kepadanya ‘waktu janjian’ agar dia bisa mendatangkan semua tukang sihir, Nabi Musa memberikan ‘waktu janjian’, yaitu: waktu dhuha pada hari raya (mereka), di siang bolong, di tempat yang lapang. Maka seluruh manusia pun berkumpul, lalu Nabi Musa -alaihissalam- mengatakan kepada mereka: “Celakalah kalian, janganlah kalian berdusta atas nama Allah, sehingga Dia membinasakan kalian dengan azab, dan pasti merugi orang yang berdusta (atas namaNya)”. Satu kalimat yang bisa menjadi ‘bom’. Allah mengatakan setelah itu: “Maka mereka pun saling berselisih dalam urusan mereka, tapi mereka merahasiakan percakapan mereka”… Dari sejak Nabi Musa mengucapkan kalimat itu, mereka saling berselisih dalam urusan mereka, dan bila orang-orang telah berselisih, maka itu kelemahan, sebagaimana Allah ta’ala berfirman: “Janganlah kalian saling berselisih, sehingga kalian menjadi lemah”… Dan hasilnya, para tukang sihir yang datang untuk melawan Musa, malah menjadi bersamanya, mereka menyungkur sujud kepada Allah, dan mengumumkan: “Kami telah beriman kepada Rabb Harun dan Musa”, padahal Fir’aun di hadapan mereka. Pesan kebenaran telah mempengaruhi mereka, dari satu orang, di hadapan umat manusia yang banyak, dan pemimpinya orang yang paling angkuh.
Oleh karena itu, saya katakan; walaupun bila di majlis parlemen hanya ada sedikit pengikut kebenaran, mereka akan memberikan manfaat, tapi mereka harus tulus kepada Allah ta’ala.
Adapun perkataan bahwa parlemen itu tidak dibolehkan, begitu pula bergabung dengan orang-orang fasik dan duduk bersama mereka, (maka) apakah kita mengatakan boleh duduk dengan mereka untuk menyetujui mereka?! Kita duduk bersama mereka untuk menjelaskan kebenaran kepada mereka.
Sebagian saudara kita dari ulama mengatakan: “Tidak boleh bergabung (dengan mereka di majlis), karena orang yang lurus tersebut akan duduk bersama orang yang menyimpang”. (maka kita katakan), apakah orang yang lurus tersebut duduk untuk menyimpang, atau untuk meluruskan yang bengkok? Tentu untuk meluruskan yang bengkok dan mengubahnya. Jika dia tidak berhasil pada kali pertama, tentu ia akan berhasil pada kali kedua.
Masih ragukah? Jika mereka -kelompok anti demokrasi- berargumen bahwa duduk diantara orang-orang itu adalah bathil. Maka katakanlah, apakah mereka duduk bersama orang-orang itu untuk ikut berbuat bathil atau menyampaikan kebenaran?

Jika mereka -kelompok anti demokrasi- berpendapat bahwa bagaimana jika dia tak bisa membawa perubahan pada parlemen? maka katakanlah, apakah sebuah keniscayaan dengan memberikan nasehat dan kebaikan sekali saja mampu membawa perubahan yang signifikan? Coba lihatlah, berapa lama Rasulullah merubah kondisi dari masyarakat jahiliyah di Makkah menjadi masyarakat Muslim di Makkah? Atau merubah keadaan Madinah, Thaif, dan empat-tempat lain menjadi tempat yang dipenuhi kaum Muslimin? Apakah cuma sekali dalam memberi nasehat? Lihatlah juga, apakah dakwah beliau kepada para pembesar Quraisy selalu diterima dalam sekali nasehat? Tidak, bahkan berkali-kali ditolak. Jadi, tak ada alasan ataupun argumen yang dapat membenarkan kekhawatiran mereka tentang bathilnya berkumpul bersama orang-orang di parlemen itu. tergantung tinggal kita lihat apa niatnya.

Jika mereka katakan bahwa demokrasi adalah produk Barat, sungguh, facebook, twitter, dan jejaring sosial lainnya juga buatan Barat. Lalu kenapa dipake? :v *intermezzo*

Kembali ke parlemen. Kami -kelompok pemanfaat demokrasi- selalu mengatakan bahwa jika parlemen tak diisi orang-orang baik, maka disana akan diisi orang-orang buruk. Kenapa selalu berdalih begitu? Karena memang kenyataannya begitu. Jadi, ketika orang-orang baik itu diam, maka yang akan bersuara adalah orang-orang jahat. Dalam hal ini, ketika ada usulan tentang peraturan baru yang bertentangan dengan Islam, maka jika disana ada orang-orang baik, maka pasti orang-orang baik itulah yang akan mencegahnya agar peraturan itu tidak terealisasi. Namun jika sama sekali tak ada orang baik disana, maka peraturan itu akan menjadi nyata tanpa ada pencegahan apapun.

Dalam kaitannya dengan baik dan buruk serta pemilu ini, Ustadz Yusuf Qardhawi pun telah mengatakan dengan memberikan 3 kriteria. Jika semua calon yang akan dipilih baik, maka pilihlah yang paling banyak kebaikannya. Jika calon yang akan dipilih ada yang baik dan buruk, maka pilihlah yang baik. Jika calon yang dipilih adalah buruk semua,maka pilihlah yang paling sedikit keburukannya [Fiqh Al Awlawiyyat].

Yang jadi masalah memang, saat ini lebih banyak menyoroti perbedaan pendapat tersebut. Sehingga tak jarang antarsesama Muslim saling tuduh menuduh dan menyalahkan, bahkan yang lebih parah bisa saja saling takfir. Padahal hal itu jelas-jelas dilarang oleh Allah. Kenapa nggak berfikir lebih dewasa dan lebih pertengahan saja? Yang bikin saya sebel adalah sudah ngotot pendapatnya, nyalahin orang lain yang nggak  sepaham pula. Cobalah contoh seperti Imama Syafi'i saat menyikapi perbedaan yang takkan berujung itu.
"Ya Abu Musa, bukankah kita tetap bersaudara meskipun kita tidak bersepakat dalam suatu permasalahan...?!" [Dikutip oleh al-Dzahabiy dalam al-Siyar.]
So, cerdaslah dalam menyikapi. Nggak semua harus dilawan dan nggak semua harus dibantah. Termasuk juga ketika dalam permasalahan pemilu ini. Apalagi pemilu tahun ini, kondisinya lebih berbahaya dari tahun sebelumnya. Maka, apakah salah jika kami tetapkan ini sebagai kondisi darurat yang membutuhkan penyelamatan? Lebih baik mencegah sebelum semuanya terlambat kan?
Andai memang tak bisa bersanding, cukuplah tanpa memusuhi kelompok lain. Karena niat kita sama, yaitu menegakkan kembali Islam di bumi Allah ini.


0 komentar :