Ikatan

Tahukah dirimu ikatan paling kuat di dunia ini?

Pasti sebagian akan menjawab, ikatan persahabatan, ikatan keluarga, ikatan persaudaraan...

Jika boleh kukatakan, semua ikatan itu masih lemah. Aku ingin memberitahumu bahwa ikatan terkuat adalah ikatan aqidah Islam. Bagaimana tidak? Ikatan inilah yang telah menjadikan peperangan pertama dalam Islam di lembah Badar dimenangkan kaum Muslimin. Ikatan inilah yang membuat Konstantinopel tertunduk di hadapan pasukan Islam. Ikatan inilah yang membuat Palestina kembali terengkuh Islam. Ikatan inilah yang menjadikan Abu Bakar rela menyumbangkan seluruh hartanya untuk jihad. Ikatan inilah yang membuat kaum Anshar bahkan merelakan istrinya dicerai untuk kaum Muhajirin. Ikatan inilah yang membuat sekelompok pemuda bersembunyi di gua.

Oleh karena itulah, maka Rasul ajarkan doa rabithah. Agar hati-hati kita semakin kuat ikatannya. Agar hati-hati kita semakin kencang pertautannya. Agar hati-hati kita selalu terjaga dari melemahnya iman. Karena lidi yang sendiri akan mudah patah daripada lidi yang bersama. Maka berjamaah adalah keharusan untuk keselamatan diri kita. Dan dari berjamaah itulah muncul ikatan.

Sesungguhnya, setiap ikatan akan putus ketika pengikatnya juga putus. Ikatan bisnis akan putus ketika bisnisnya hancur atau urusan bisnisnya selesai. Ikatan persahabatan akan putus ketika keduanya menjadi musuh. Ikatan kerja akan putus ketika pekerjaan telah tiada. Bahkan ikatan keluarga sekalipun akan putus jika terjadi sesuatu yang membuat hubungan keluarga tidak harmonis, bahkan memanas. Maka, tiadalah ikatan aqidah itu putus melainkan karena putus atau hilangnya pengikatnya, yaitu Allah. Namun mustahil bagi Allah untuk menghilang karena Dia kekal. Maka dari itu, mustahil pula ikatan aqidah itu putus karena Allah yang mengikatnya.

0 komentar :

Belajar dari kereta api

Sebuah kereta tentu akan berjalan mengikuti relnya. Karena jika tidak, maka kereta itu akan tergelincir jatuh ke tepian. Begitupula dalam hidup ini, kita hidup harus berada diatas rel yang sudah ditentukan. Karena jika tidak, kita akan tersesat dan terjatuh dalam lubang kegelapan, yaitu neraka. Maka dari itu, dalam setiap sholat, kita selalu mengulang-ulang ayat "ihdinashshiraathal mustaqiim". Kalau merujuk terjemahan Depag, maka artinya adalah "Tunjukilah kami ke jalan yang lurus". Namun sebenarnya terjemahan yang lebih tepat adalah "Tunjukilah kami ke jalan yang istiqamah", karena mustaqim itu artinya istiqamah, bukan lurus. Selain itu, kita tahu bahwa istiqamah tak selamanya lurus-lurus saja. Sebagai contoh, apakah dakwah para Nabi mulus-mulus dan lurus saja? Tentu tidak, karena mereka melalui jalan yang sangat berliku, sementara mereka adalah orang yang paling istiqamah. Karena itu, maka dalam sehari semalam setidaknya telah dan selalu memohon kepada Allah agar ditunjuki jalan yang istiqamah tersebut.

Lalu siapa sajakah yang tergolong dalam golongan orang-orang yang ditunjuki jalan yang lurus? Mereka adalah orang-orang yang mendapat nikmat, seperti lanjutan ayat setelahnya. "(Yaitu) jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat kepadanya, bukan (jalan) mereka yang dimunrkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat". Dalam catatan kaki ayat ketujuh Al Fatihah ini disebutkan bahwa mereka yang dimurkai adalah mereka yang sengaja menentang ajaran Islam. Sedangkan mereka yang sesat adalah yang sengaja mengambil jalan selain ajaran Islam. lalu siapakah mereka yang mendapat nikmat itu?

Dalam surat An Nisa' ayat 69 disebutkan "Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul (Muhammad), maka mereka itu akan bersama-sama dengan orang yang diberikan nikmat oleh Allah, (yaitu) para Nabi, para pecinta kebenaran, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang sholeh. Mereka itulah teman yang sebaik-baiknya". Ayat tersebut menjelaskan setidaknya dua hal (menurut saya), yaitu balasan bagi orang-orang yang taat kepada Allah dan Rasul, serta kelompok orang-orang yang pantas dijadikan teman baik. Namun keduanya bersumber pada satu hal, yaitu orang-orang yang diberikan nikmat oleh Allah. Siapa mereka? Yaitu para nabi, para shiddiqun, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang sholeh. Keempat golongan inilah yang Allah akan berikan nikmat kepada mereka terlebih di akhirat nanti.

Maka, marilah kita senantiasa berusaha mencontoh perilaku mereka, bergaul dengan mereka, dan selalu mendoakan mereka. Semoga kebaikan selalu menyelimuti diri kita.

0 komentar :

Sultan Muhammad Al Fatih pun tak lepas dari hukuman potong tangan

Suatu ketika, sang sultan memerintahkan pembangunan masjid jami' di kota yang telah ditakhlukkannya, Islambol. Ia perintahkan arsitek romawi paling hebat di kota itu untuk mengawasi pembangunan masjid. Sang sultan meminta pilar-pilar masjid harus tinggi agar dapat terlihat dari segala penjuru. Sultan sendiri yang menentukan batas ketinggiannya. Namun karena pertimbangan beberapa hal, sang arsitek tidak membuat tiang setinggi perintah sultan, tapi malah memotongnya tanpa persetujuan sultan. Mengetahui hal itu, sang sultan marah dan memerintahkan untuk memotong tangan sang arsitek.

Namun nasi telah menjadi bubur. Setelah kejadian itu, sang arsitek mengadukan perkaranya kepada mahkamah. Di Islambol, ada seorang qadhi atau hakim yang terkenal adil dalam memutuskan hukum. Tanpa ragu, sang qadhi langsung mengirim utusan untuk menemui sang sultan dan memanggilnya di pengadilan.

Kemudian sultan datang. Lalu beliau duduk di salah satu kursi di pengadilan. Melihat itu, sang qadhi menegur sultan dan berkata, "Anda tidak diperkenankan duduk disini, tapi anda harus berdiri di sebelah orang yang memperkarakan anda."

Sang sultan menurut. Kemudian sang arsitek yang mengadukan perkaranya itu menceritakan kejadian yang telah terjadi. Kemudian sang sultan membenarkan perkataan sang arsitek. Tak lama sang qadhi memutuskan perkara, "Sesuai hukum syar'i, tangan Anda harus dipotong berdasarkan qishash."

Mendengar hal itu, sang arsitek terkejut dan bergetar badannya. Dia tak menyangka bahwa orang yang paling disegani seantero Eropa akan dipotong tangannya oleh hakim yang ditunjuknya sendiri karena tuntutan seorang Nashrani. Mendengar hal itu, sang arsitek m
encabut tuntutannya dan meminta hanya ganti rugi saja, karena utusan potong tangan tidak bermanfaat bagi dirinya. Sang qadhi lalu memerintahkan sultan untuk membayar 10 dinar setiap bulannya (ada yang berkata setiap harinya) kepada sang arsitek. Namun pada akhirnya sang sultan memberinya 20 dinar setiap hari sepanjang hidupnya kepada sang arsitek tersebut sebagai bentuk kegembiraannya karena lepas dari qishash dan rasa penyesalannya atas apa yang pernah dilakukannya kepada sang arsitek.

------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Seperti itulah ketika hukum Islam diterapkan dan dipatuhi. Bahkan orang sekelas sultan yang disegani ribuan penguasa Eropa akan tunduk kepada putusan hakim (yang adil) di pengadilan.

Dari kisah ini kita bisa ambil beberapa pelajaran penting. Ini menurut saya lho ya... Pertama, saya jadi teringat perkataan sultan Al Fatih pada khutbahnya di hari terakhir sebelum penakhlukan terjadi. "Hendaknya kalian selalu meletakkan syariat Islam di depan kalian.". Yang luar biasa adalah ternyata sultan tidak mengingkari perkataannya sedikitpun. Dia tetap mematuhi syariat Islam yang berlaku bahkan ketika dia digugat oleh rakyatnya, dia tidak lari menjadi pecundang atau memanfaatkan jabatannya. Dia hadapi dengan berani dan tidak ragu. Begitulah seharusnya seorang pemimpin itu. Sama halnya seperti Rasulullah di masa-masa akhir hidupnya, ketika beliau berkata bahwa siapapun yang pernah diperlakukan tidak baik oleh beliau, maka beliau siap diqishash.

Kedua, tentu rasa tanggung jawab dan dermawan. Kita lihat bahwa beliau -sang sultan- memberikannya dinar setiap hari kepada sang arsitek selama masa hidupnya. Bahkan memberikan dua kali lipat lebih banyak dari yang ditentukan. Hal ini takkan pernah terjadi kepada orang-orang yang memiliki mental pecundang dan kikir. Sikap tanggung jawab dan dermawan ini juga merupakan sikap seorang pemimpin. Kita lihat Abu Bakar ketika hendak berjihad, dia berikan seluruh hartanya untuk jihad. Kemudian sepeninggal Rasulullah, beliaulah orang pertama yang menjadi khalifah menggantikan Rasulullah.

Ketiga, penyesalan selalu di akhir. Meskipun pada akhirnya tersadar, namun nasi yang telah menjadi bubur takkan bisa menjadi nasi kembali. karena itu, dalam memimpin, hendaknya bukan emosi belaka yang dimajukan, tapi hati serta logika juga dipakai. Karena memimpin dengan nafsu itu akan terjerumus.

Keempat, seorang hakim hendaknya selalu berlaku adil, tidak membeda-bedakan status seseorang dalam memutuskan perkara. Beruntunglah sultan Al Fatih menunjuk seorang hakim yang adil yang bahkan tidak takut dalam mengadili sang sultan yang telah menunjuknya sendiri. Kita sering lihat pada realitas sekarang, bahwa banyak hakim yang kemudian lunak kepada kolega atau relasi yang pernah baik kepadanya. Seharusnyalah, setiap orang mendapat perlakuan sama di depan hukum. Bahkan ketika dihadapkan dengan penggugat yang non Muslim sekalipun.

Kelima, hendaknya selalu berusaha menerapkan syariat Allah dimanapun. Ketika sultan berhasil menaklukkan Konstantinopel, maka dia rubah segera hukum disana menjadi hukum Islam.

Keenam, selalu komunikasikan apapun kepada pemimpin sebelum mengambil keputusan. Kesalahan sang arsitek adalah tidak mengkomunikasikannya terlebih dulu kepada sang sultan sebelum memotong tiangnya. Jika saja dia komunikasikan, maka tentu -mungkin saja- kejadian itu takkan terjadi.

Ketujuh, tunjuklah seorang yang ahli di bidangnya. Maka ketika sultan Al Fatih menunjuk seseorang, tidaklah dia tunjuk melainkan orang itu memiliki keahlian di bidang itu. Lihatlah kepada arsiteknya yang memiliki kecakapan di bidang arsitektur, lihatlah hakimnya yang sangat adil kepada siapapun, atau lihatlah panglimanya yang mempunyai keahlian berperang hingga membuahkan penaklukan.

Kedelapan, berkatalah jujur. Hal ini bisa kita lihat dari pembenaran perkataan sang arsitek oleh sultan dalam persidangan. Meski kadang berkata jujur itu pahit, namun pada akhirnya akan selalu terasa manis.

Kesembilan, pelajarilah sejarah. Karena dari sejarahlah, kita akan mendapat banyak pengalaman dan hikmah. Terutama sejarah kita, sejarah umat Muslim.

Sebenarnya masih ada beberapa pelajaran lagi yang bisa kita ambil. Namun ini saja sudah lebih dari cukup untuk mengajarkan kita tentang sikap seorang pemimpin yang adil.

2 komentar :

Motivasi Kerja

Sedikit uneg-uneg aja sih. Kepikiran aja tadi waktu kuliah.

Jadi, hari ini aku ada kuliah kewirausahaan. Pada suatu ketika saat sesi kuliah, tiba-tiba otakku iseng mikir tentang kerja, ilmuwan, Jepang, peneliti, obat bius, cairan kimia, semen Holcim, kapur, dan motivasi kerja. Lalu aku sambung-sambungin dan aku komparasikan dengan kondisi di negeri sendiri.

Intinya begini, tadi ketika pak dosennya (dosennya jadi ngingetin aku sama ayahku) jelasin tentang motivasi berprestasi tinggi, inti dan inspirasi yang kudapatkan adalah jangan jadi orang yang biasa-biasa aja. Nah, lalu dosennya cerita bahwa ada kakak tingkat yang kerja di pabrik semen Holcim. Nggak cuma satu. Lalu dosennya juga bilang, jangan cari kerja di tempat kebanyakan orang cari kerja atau semacam itulah intinya, maksudnya kerjalah yang antimainstream dari kebanyakan tapi hebat. Nah, lalu lagi, aku mikir tentang pekerja di negara sendiri dengan pekerja di negara lain, misal Jepang. Lalu kesimpulan acakku adalah, mereka yang kerja di Indonesia ini, para pekerjanya kebanyakan berorientasi uang atau salary, gaji. Ini sudah mengakar di mindset jutaan manusia Indonesia, tak terkecuali orang tuaku, terkadang. Lalu kubandingkan dengan di negara Jepang. Mereka yang bekerja adalah bekerja dengan profesional dan demi ilmu pengetahuan, kalau ilmuwan. Liat aja kayak di film-film itu (walaupun kebenarannya abu-abu), kalau ilmuwan pasti bekerja siang-malam tanpa henti (majas hiperbola inih...) demi untuk terus berinovasi dan mengembangkan temuan-temuannya. Beda dengan orang-orang kita yang kebanyakan, sekali lagi saya katakan kebanyakan lho ya, sedikit nge-judge sih, mereka bekerja untuk penghidupan. yah walaupun memang ada faktor-faktor lain yang melatarbelakangi hal-hal seperti itu terjadi, misalnya seperti kesejahteraan. Namun saya abaikan itu untuk fokus pada satu hal, yaitu motivasi kerja. Banyak dari orang-orang kita yang kehilangan motivasi kerja sehingga orientasinya pun salah sejak awal. Berbeda dengan orang-orang di luar negeri sana, orang-orang di negara lain yang bekerja cekatan dan profesional serta pekerja keras. Agaknya inilah hal yang harus diluruskan.

Nyambung lagi, dapet inspirasi pagi tadi pas kajian. Orang yang bekerja keras diatas kakinya sendiri dengan profesional, dengan pegawai yang kerja ala kadarnya tapi gajinya besar, ketika membeli mobil, tentu akan lebih puas orang yang membelinya atas jerih payahnya. Perbedaannya cukup simpel tapi berat, yaitu di masalah keprofesionalitasan. Profesional dan ala kadarnya itu beda ya, ngerti kan?

Satu lagi, tadi pas kuliah dosennya juga ngomong, salah satu ciri orang yang punya motivasi berprestasi adalah mengambil pekerjaan dengan tingkat kesulitan sedang. Maksudnya adalah, begini, mahasiswa yang bisa ngambil maksimal 24 sks. 2 orang. Satunya ngambil full biar bisa cepet lulus, satunya ngambil 20 tapi dengan pertimbangan tingkat kesulitan dan sebagainya. Ternyata yang cepet lulus adalah yang ngambil 18 sks. Hal itu mungkin saja dan sangat mungkin terjadi karena yang 18 sks ini udah memprediksi dan menghitung tingkat kesulitan berikut waktu yang akan dihabiskan untuk menyelesaikan tuntutan sks agar lulus. Akhirnya yang terjadi adalah si 18 sks ini lebih optimal dalam kuliah daripada yang 24 sks. Karena kesulitan yang dihadapi tak sebanyak yang 24 sks sehingga dia bisa lebih fokus dan optimal.

Yang ingin saya katakan disini adalah, carilah motivasi yang tepat. Motivasi yang bisa benar-benar mendorongmu maju, bukan motivasi untuk gagah-gagahan saja. Karena sehebat apapun motivasi, jika tak berefek padamu, itu sama saja, sia-sia.

Cheers...!

0 komentar :

Kita Muslim yang bagaimana?

Beberapa waktu lalu, ketika kami sedang berkumpul dan berdiskusi (kalau itu disebut diskusi), guru kami membacakan kembali sebuah hadits yang sebenarnya tidak asing bagi kami, namun karena disampaikan dengan lafadz arabnya sementara kami hanya pernah mendengar terjemahannya, maka seolah kami pun merasa asing dengannya. Hadits itu adalah hadits yang membuat hatiku trenyuh.

Sebelumnya aku menyampaikan sebuah pesan tentang kematian. Seorang Arab Badui pernah bertanya kepada Rasul tentang kapan tibanya hari kiamat. Kemudian Rasulullah malah balik bertanya, "Apa yang kau persiapkan untuk menghadapinya?". Orang Arab itu menjawab, "Cinta kepada Allah dan RasulNya". Rasulullah berkata, "Engkau akan bersama yang kau cintai.".

Guru kami melantunkan lafadz hadits itu. Man lam yahtamma bi amril muslimin, falaysa minhum. Siapa yang tidak mempunyai perhatian keada urusan kaum Muslimin, maka bukanlah dia bagian darinya. Terdiam. Merenung. Berfikir. Menghayati.

Dahiku mengernyit, pandanganku lurus ke bawah. Jauh. Kemudian beberapa saat setelahnya aku ditanya oleh guruku, ketika diskusi akan berakhir. Apa kesimpulanmu? Aku diam sejenak. Mencoba merangkai kata dari lintasan pikiranku. Sebenarnya sudah sedari tadi kucoba merangkai kata hingga akhirnya mulutku berucap dengan lirih, seingatku, atau mungkin ini rangkaian baru yang baru saja terlintas, "Menjadi Muslim itu bukan menjadi egois. Siapa yang tak perhatikan urusan Muslim lain, tak pantaslah ia mengaku sebagai Muslim.". Menghela nafas, "Jujur, diingatkan kembali tentang hadits itu membuat saya takut. Jangan-jangan saya bukan bagian dari kaum Muslimin. Jangan-jangan saya masih terlalu egois untuk memikirkan urusan orang lain.".

Aku berhenti sejenak. Mencoba menata kembali suara dan intonasi yang mulai makin lirih dan terisak. Sambil menatap kearah guruku dan sesekali menatap ke bawah, aku selesaikan kalimat-kalimatku tadi. Hingga mataku berkaca-kaca. Namun semua itu kutahan agar tak sampai meluap menjadi tangis. Jaim-lah...

Gaes, cerita diatas bukan fiktif belaka. Bukan potongan dari cerpen atau novel. Ini kisah nyata yang terjadi di abad 20 (eh 20 apa 21 sih sekarang ini? Kalau Doraemon kan 22 ya...). Ini pula pertama kalinya aku bertingkah (sok) menghayati begitu.

Dua nasehat (nasehat tentang kematian dan nasehat dari hadits itu) yang kemudian dengan sendirinya merangkaikan sebuah kesadaran dalam diriku akan arti penting dari hidup dan kehidupan. Diawal aku sempat menceritakan (walau tak kutulis) kisah Umar bin Abdul aziz yang 'berbicara' dengan kubur yang memperlakukan penghuninya dengan sangat buruk akibat dosa-dosa yang dilakukan ahli kubur semasa hidupnya. Lalu Umar menangis dan berkata, "Bukankah dunia ini fana, yang mulia bisa jadi hina, yang kaya menjadi miskin, yang muda akan tua, dan yang hidup akhirnya mati"

Gaes, hidup bukan sekedar hidup. Kalau hidup sekedar hidup, monyet di hutan juga hidup. Tapi kita ini manusia. Makhluk Allah yang paling sempurna dalam penciptaan. Kita diberi akal dan hati untuk merasai, bukan sekedar berlaku ala kadarnya. Maka seperti yang kukatakan diawal, kita tak perlulah tanyakan kapan kiamat itu akan datang. Yang lebih penting dari kiamat itu sendiri adalah apa yang kita persiapkan untuk menghadapinya? Kita tak usahlah tanyakan kapan ajal itu datang, karena cepat atau lambat ia akan menyapa. Tapi lebih dari itu, apa yang kita siapkan untuk menghadapinya? Sebuah kemalangan besar adalah ketika panjangnya umur beriringan dengan banyaknya dosa. Orang yang paling cerdas adalah orang yang mengetahui dia akan mati kemudian dia siapkan sebaik-baik perbekalan untuk dibawa pergi setelah kematiannya. Maka benarlah Rasulullah ketika bertanya, "Apa yang kamu persiapkan untuk menghadapinya?". Karena kapan waktu kedatangannya tak jadi masalah jika kita telah siap menghadapinya. Dan beruntunglah orang badui itu yang menjawab "Cinta kepada Allah dan RasulNya", karena jawaban ini akan mengantarkan diri kita kepada kesudahan yang baik.

Cinta kepada Allah dan RasulNya akan membawa kepada tindakan taat kepada perintah-perintahNya. Mentaati perintah-perintahNya juga termasuk ketika kita menjauhi larangan-laranganNya, karena menjauhi larangan termasuk mentaati perintah.

Jika diibaratkan sebuah domino, ketaatan akan memberikan efek domino yang berimplikasi kepada perilaku kehidupan kita. Orang yang mentaati aturan akan cenderung lebih tenang dalam hidup ketimbang orang yang selalu melanggar aturan. Karena aturan dibuat dan diberlakukan adalah untuk kebaikan, bukan keburukan kita.

Hadits diatas secara tidak langsung (mungkin) merupakan sebuah perintah agar kita peduli kepada urusan saudara kita, sehingga Rasulullah memperingatkan kepada umatnya bahwa siapa yang egois, tak peduli kepada urusan orang lain, maka dia bukan golongan kami (Muslim). Bukankah itu sebuah peringatan yang keras, yang mampu membuat air mata menetes karena takut?

Jika Rasul sudah tak mengakui status kemusliman kita, lantas apa yang bisa kita perbuat? Memohon kepada Allah? Bahkan Rasulullah adalah hambaNya yang paling dekat kepadaNya. Maka sebuah peringatan tak seharusnya disepelekan atau bahka tak dihiraukan. Celakalah yang tak menghiraukan peringatan Allah dan beruntunglah yang segera meresponnya dengan baik. Masih ingatkah tentang hadits yang mengatakan bahwa barangsiapa yang memudahkan urusan saudaranya dalam menuntut ilmu, maka ia akan mudahkan jalannya ke Surga? Itu merupakan bentuk perhatian kita terhadap urusan kaum Muslimin lain.

Ingatkah kita dengan surat cinta Allah kepada kita bahwa sesungguhnya Allah membeli dari orang-orang Mukmin harta dan jiwa mereka dengan ganti Surga? (At Taubah : 111). Apa artinya? Artinya adalah diri kita ini bukan milik kita, seutuhnya. Kita adalah milik Allah. Maka dimanakah berhaknya kita untuk berlaku egois? Maka perhatikanlah urusan saudaramu...


Semoga Allah kuatkan kaki-kaki kita untuk senantiasa melangkah di jalan kebaikan, tegarkan jiwa-jiwa kita menghadapi cobaan, teguhkan hati-hati kita dalam keteguhan iman dan islam, serta satukan kita dalam ikatan suci aqidah islam . Dan semoga kita terhindar dari sifat-sifat buruk kaum Munafiqun seperti yang Allah ceritakan dalam Al Baqarah ayat 14, "Dan apabila mereka berjumpa dengan orang yang beriman, mereka berkata, 'kami telah beriman.'. Tetapi ketika mereka kembali kepada setan-setan (para pemimpin) mereka, mereka berkata, 'Sesungguhnya kami bersama kamu, kami hanya mengolok-olok saja.'".

Wallahul muwafiq...


[Hamba yang masih berlumur dosa]

0 komentar :