Mahasiswa, haruskah netral dalam berpolitik?

Pertama, saya tegaskan disini. Saya bukanlah orang yang ahli dalam hal politik, jadi jangan heran kalau yang saya tuliskan bahasanya mungkin agak sedikit aneh. Kedua, ini hanya opini saya, silakan kalau ada yang membantahnya, silakan saja. Dan ketiga, kenapa saya tulis ini, adalah karena adanya sikap apatis dari beberapa kelompok remaja intelektual bernama mahasiswa akan perhelatan politik di Indonesia sekarang ini. Okey, here we go...

Politik, kalau kita tinjau dari asal katanya, berasal dari bahasa yunani yaitu 'polis' yang artinya adalah negara kota. Sementara pengertian istilahnya adalah perjuangan untuk memperoleh kekuasaan/teknik menjalankan kekuasaan-kekuasaan/masalah-masalah pelaksanaan dan kontrol kekuasaan/pembentukan dan penggunaan kekuasaan (Isjware). Jadi, kita bisa ambil satu konklusi praktis, bahwa politik adalah siasat/cara/taktik untuk mencapai suatu tujuan tertentu, yaitu kekuasaan. Maka tak heran, jika kita lihat para petinggi negara kita yang bergulat dengan kawan maupun lawan politiknya, pada akhirnya beberapa diantara mereka tersingkir dan beberapa dari mereka akhirnya mendapatkan posisi di kenegaraan. Untuk apa? Tentu untuk mendapatkan kontrol kekuasaan, sehingga mereka bisa menjalankan apa yang menjadi ide-ide mereka untuk  negara seperti yang mereka janji-janjikan di awal sebelum terpilih. Contoh saja seperti yang baru kita lewati, pemilihan gubernur Jawa Tengah. Tentu sebelum salahsatu dari mereka terpilih, mereka akan mengkampanyekan ide-ide mereka untuk perbaikan jawa Tengah menuju kondisi yang lebih baik. Maka setelah satu dari mereka terpilih, mereka mendapatkan kekuasaan dan wewenang untuk menjalankan ide-ide mereka yang bernama visi dan misi. Sekarang yang menjadi pertanyaan, bagaimana kita sebagai mahasiswa dalam menyikapi perpolitikan di Indonesia? Haruskah kita apatis dan menyerahkan masalah politik ini kepada 'orang-orang dewasa' ? Dan bagaimana sikap kita sebagai mahasiswa Islam dalam menyikapi perpolitikan di Indonesia saat ini? Untuk menjawabnya, sebenarnya kita tinggal melihat sejarah kita saja.



Kita mulai dengan sejarah zaman kemerdekaan. Kita semua tahu, bahwa dulu sebelum proklamasi, Soekarno 'diculik' ke Rengasdengklok untuk diamankan setelah terjadinya kekosongan kekuasaan setelah Jepang menyerah kepada Belanda. Siapa yang melakukan? Para pemuda. Alasan kenapa mereka melakukan pengamanan ini adalah agar mereka ( Soekarno dan Hatta- yang dibawa ke Rengasdengklok) segera mengumumkan kemerdekaan Indonesia dan tidak terpengaruh pengaruh negatif Jepang dalam memutuskan permasalahannya. Karena sama-sama kita tahu, bahwa antara golongan muda dan tua berbeda pendapat saat memutuskan kapan kemerdekaan diproklamasikan. Golongan muda menginginkan secepatnya, tanpa perlu keputusan PPKI yang dianggap buatan Jepang itu. Sementara golongan tua memilih menunggu janji dari Jepang untuk memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Maka terjadilah peristiwa penculikan itu. Maka pada akhirnya, terjadilah kesepakatan antara golongan pemuda dan golongan tua bahwa proklamasi kemerdekaan dilakukan secepatnya, yaitu besoknya pada tanggal 17 Agustus 1945 di rumah Soekarno pada pukul 10.00. Ini semua berkat inisiatif para pemuda. Sekali lagi pemuda, dan kita tahu bahwa mahasiswa pun adalah seorang pemuda, maka apa bedanya kita dengan mereka? Mereka juga terdidik seperti kita...
Yang kedua adalah masa reformasi. Sebelum terjadinya masa renaissance ini, setiap pendapat yang berusaha mengkritisi pemerintah (Soeharto dkk) akan ditindak, entah kapan waktunya tak ada yang bisa menduga. Bisa saja pagi ini mengkritisi, sorenya hilang tak ada kabar, tahu-tahu sudah tak bernyawa setelah lewat beberapa bulan atau tahun. Sehingga bisa dikatakan, pendapat maupun opini yang mengarah kepada pemerintahan adalah terlarang dikatakan. Memprotes pemerintah adalah suatu kriminal yang harus dibasmi. Hingga suatu saat dikeluarkanlah Surat Keputusan Menteri P dan K No. 01/V/1978 tentang Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) untuk meredam gejolak perlawanan di kampus. Maka tak heran, semua bungkam. Tak ada suara. Akibatnya, kondisi pemerintah cenderung terlihat sebagai diktator dan rakyat menjadi tertekan. Hukum fisika mengatakan bahwa tekanan diteruskan ke segala arah pada zat cair. Tapi sebenarnya, pada udara pun juga bisa berlaku, seperti ketika kita meniup balon. Maka, ketika tekanan telah mencapai batas maksimal yang bisa ditahan, sedangkan tekanan terus diberikan, maka yang terjadi adalah tekanan itu akan menerobos dinding penahannya dan akan menghasilkan efek seperti ledakan, mirip ketika balon meletus, atau ketika dinding bendungan jebol. Inilah yang terjadi saat itu, ketika pemerintah terus saja menekan rakyat, sedangkan rakyat tak bisa aterus-menerus menerima tekanan, akhirnya meledaklah kemarahan rakyat. Maka terjadilah apa yang disebut reformasi itu. Mereka semua-termasuk mahasiswa turun ke jalan dan berteriak meminta Soeharto turun dari jabatannya segera. Selain itu, massa yang turun ke jalan juga membakar bangunan-bangunan, gedung-gedung, dan fasilitas lainnya sebagai bentuk protes. Di beberapa daerah, yaitu Solo, Bandung, dan Jakarta (sumber lain ada yang menyebut Yogya, Bandung, dan Jakarta) menjadi poros awal mula meledaknya aksi tersebut. Setelah memasuki tahun 90-an, barulah surat keputusan tadi dicabut dan diganti Surat Keputusan No. 403/U/1990 tentang Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT) yang disambut baik sebagian mahasiswa. Namun tetap saja, karena saat itu juga ditetapkannya Sistem Kredit Semester (SKS) yang memacu mahasiswa hanya untuk cepat selesai kuliah dan mendapat IP tinggi sehingga cepat mendapat pekerjaan. Sehingga mahasiswa pun seolah tetap mengalamai depolitisasi dan teasing dari lingkungannya sebagai intelek. Namun begitu, ini tetaplah menjadi angin segar bagi mahasiswa. Siapa yang melakukannya? Sekali lagi, mahasiswa, pemuda...
Setidaknya dua peristiwa bersejarah itu sudah menjelaskan bagaimana peran para pemuda, para mahasiswa dalam dunia perpolitikan di Indonesia. Pertanyaannya kembali, haruskah kita, mahasiswa abad 21 ini menjadi apatis dalam berpolitik, karena melihat carut-marutnya politik saat ini? Terlebih, banyak partai politik yang ternyata terlibat kasus macam korupsi? Bro, sebuah nasehat indah pernah disampaikan kepada penulis (aku). Negeri ini rusak karena diamnya orang-orang baik dalam setiap momentum. Maka, jka kamu ngaku sebagai orang baik, melihat kondisi negeri yang kocar-kacir ini, masihkah bertanya 'apa yang harus kita lakukan?' Aku jamin, pasti kalian sebenarnya ingin memperbaikinya. Ingin menjadikan negeri ini gemah ripah loh jinawi, atau baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Aku jamin. Kalian semua mempunyai harapan besar terhadap negeri ini, sedangkan diluar sana banyak orang yang merusak sendi-sendi negara hingga negara rapuh. Maka, kita pasti tahu apa yang harus kita lakukan. Kasarannya, kita singkirkan para perusak itu, dan kita tempatkan orang-orang cerdas, baik, dan bijaksana sebagai penggantinya. Bagaimana caranya? Masuklah ke dalam perpolitikan yang' kejam' itu. Jika itu masih terasa berat, atau mungkin awang-awangen, terasa hanya seperti imajinasi saja, maka begini... kamu punya hak pilih kan, nah, gunakanlah hak pilih itu dengan bijak. Ketika digelar pemilihan umum, entah pemilihan kepala daerah, pemilihan presiden, atau pemilihan legislatif, maka pilihlah calon-calon itu menurut ukuran yang paling baik, bukan karena telah berjasa memperbaiki kampung kita, atau karena dia telah memberikan sejumlah bantuan kepada kita. Tapi lihatlah visi-misinya, track record-nya selama dia memegang jabatan, amanahkah? sering mangkir? bertanggung jawab? atau tak kelihatan sama sekali prestasinya? Semua harus dipertimbangkan dengan bijaksana, bukan karena alasan egois semata. Bukan hanya karena alasan dia keluarga kita, lantas kita memilihnya. Karena kita memilih untuk kesejahteraan rakyat, gitu gampangannya. Jadi, kalau kita belum bisa terjun ke dalam dunia politik, kita pilihlah perpanjangan tangan kita dari orang-orang yang amanah, yang memperjuangkan kepentingan rakyat, tidak korupsi, kolusi, nepotisme, berkepribadian baik. InsyaAllah, yang seperti itu akan menjadi pemimpin yang amanah. Selain itu, kita juga harus menjadi seorang yang cerdas dan tercerahkan dalam melihat dunia perpolitikan saat ini. Meminjam istilah Sejarahwan Anhar Gonggong, bahwa cerdas saja bagi seorang sarjana yang terpelajar tidaklah cukup, sebab mereka juga harus tercerahkan. Cerah ini dikorelasikan dengan ideologi dan sikap teguhnya memegang nilai kebenaran dan keadilan sehingga dalam aktualisasinya sebagai insan politik menunjukan karakter yang mulia yang bukan durjana. Jangan sampai kita termakan begitu saja oleh pemberitaan media, apalagi pemberitaan miring terhadap tokoh atau kelompok politik (maksudku partai dan semacamnya) yang terkenal baik. Kita harus pandai-pandai melihat situasi dan kondisi, dengan begitu, kita bisa merumuskan jalan keluar atau solusi terbaik dalam menyikapinya. Jadi, kita bisa tarik suatu kesimpulan untuk menjawab pertanyaan 'haruskah kita apatis terhadap politik?' Maka kita bisa jawab dengan lantang TIDAK. Apatis menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah acuh tak acuh, tidak peduli. Maka jelas bahwa bersikap apatis terhadap politik berarti menjadikan diri seorang golput, karena dia tak peduli lagi masalah politik itu. Sebenarnya bisa dikatakan bahwa menjadi golput adalah menghancurkan diri sendiri, kenapa? Pertama, dengan menjadi golput, berarti dia tak peduli lagi masalah politik, dengan masalah negaranya. Sehingga ketika ada suatu kebijakan yang bagi dia itu baik, dia akan senang dan terima. Namun ketika suatu kebijakan jelek menurut dia, dia akan marah-marah dan memprotes pemerintahan, bahkan menyumpahinya. Namun bisa apa dia? Dia sudah tak peduli lagi dengan negaranya, lalu kenapa ketika dia mendapat kondisi yang tak enak, dia menyalahkan pemerintah? Apa haknya memprotes atas sikap ketidakpeduliaannya itu? Kedua, jika menjadi golput, maka ada dua keadaan. Keadaan pertama, jika pemimpinnya baik, maka kita bisa bernafas lega. Kita bisa mendukungnya. Namun ketika pemimpinnya buruk, salah siapa? Salah sendiri golput. Seperti yang sudah dikatakan sebelumnya, negeri ini hancur karena diamnya orang-orang baik. Jika banyak orang baik yang memilih golput, maka yang terpilih adalah pemimpin yang buruk. Pemimpin yang buruk akan berakibat kepada kebijakan yang buruk pula. Jika kebijakan itu disahkan, maka mereka-orang-orang baik yang akan dirugikan. kalau sudah begini, mau apa? Memprotes? Beeeh... itu nggak elegan bro, nggak keren... Maka dari itu, kita harus memperjuangkan agar kita tak bersikap apatis alias golput. Memang, politik tak boleh masuk kampus, tapi siapa bilang politik tak boleh masuk pikiran kita? Sebagai mahasiswa, sikap idealis adalah penting. Tak masalah kampus melarang politik masuk, itu bagus, agar tak mengotori dunia keilmiahan dan keilmuan dengan keberpihakan pada satu partai tertentu. Namun disisi lain, kita juga harus bisa berafiliasi, setidaknya mendukung suatu partai (karena mau kemana lagi kita akan berafiliasi jika bukan kepada partai, terkait dalam memperjuangkan kesejahteraan rakyat) yang dinilai baik dan mau memperjuangkan kepentingan rakyat daripada kepentingan golongan mereka. Kita harus berafiliasi dengan sebuah partai/gerakan/harakah yang visi-misinya mulia, dan berusaha mewujudkan visi-misi mereka itu. Terutama sebagai seorang Muslim, bergabung dengan jama'ah adalah kewajiban, sebagaimana serigala takkan menyerang sekumpulan domba, tapi ia menyerang domba yang terpisah dari kawanannya. Bagitu pula kita, dengan berafiliasi pada suatu harakah, kita akan terselamatkan. Namun untuk memilih bergabung dengan suatu harakah, harus dipilih sesuai kriteria tertentu. Karena kita sebagai seorang mahasiswa Muslim, tentu dalam bergabung dengan harakah kita harus mempertimbangkan dari sisi keislaman juga. Syarat/kriteria dalam memilih harakah, antara lain :
  • Tujuannya jelas. Tujuan ini harus didasarkan kepada Allah Subhanahu wa ta'ala saja. Jika ada tujuan duniawi pula, maka berhati-hatilah. Maksudnya, apapun yang dilakukan, entah pemilihan umum, kampanye, atau aktivitas apapun, semua didasarkan untuk Allah, bukan karena mengejar keduniaan.
  • Pemikirannya jelas dan sesuai realitas dan idealisme Islam. Pun, anggotanya juga harus seperti itu. Sehingga di dalamnya bisa kita jumpai pembinaan untuk tetap menjaga anggotanya dalam koridor Islam. Kan aneh, ngakunya harakah Islam, tapi pemikirannya liberal? Ya nggak...
  • Manhaj/sistem dasarnya adalah sistem seperti yang Rasulullah tetapkan. Namun demikian, tak tertutup untuk melakukan suatu ijtihad terkait suatu permasalahan. Kita sering mendengar ada orang meneriaki demokrasi (sistem negara kita) kafir. Lalu mereka berusaha menegakkan kepemimpinan/kekhilafahan Islam. Yang menjadi pertanyaan, bagaimana mereka akan mendirikannya sementara masyarakat belum tercerahkan dengan pemikiran Islam? Bagaimana nantinya masyarakat akan menerima kehadiran mereka bahkan mendukungnya ketika mereka terlihat asing di mata masyarakat? Sebuah pendapat dari syaikh bin Baz dan syaikh Yusuf al Qordhowi intinya menyatakan bahwa demokrasi itu boleh, ia dijadikan sebagai sarana dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat dan sarana berda'wah.
  • Berakhlaq dan beradab mulia. Jika sebuah harakah punya tabiat buruk dan tak beretika, pasti akan muncul pertanyaan, benarkah itu harakah Islam?
  • Syumul/menyeluruh. tentunya ini agar memberikan pengertian kepada masyarakat bahwa Islam adalah agama yang syumul, bukan parsial.
  • Berkomitmen dalam penegakan syari'at Islam.
  • Mampu melihat kondisi realitas lapangan. Sehingga mampu membuat fase-fase langkah dan kebijakan yang tepat sesuai dengan waktu dan kondisi realitas lapangan. Tentu saja dengan membuat skala prioritas berdasarkan kajian yang ilmiyah serta pandangan yang mendalam dari para pengamat dan ahli di bidangnya.
  • Mempunyai struktur internal yang solid. Sehingga dengan begitu akan menjadi struktur yang efektif dan tersusun rapi.
Jadi, masihkah menjadi mahasiswa netral politik? Sudah bukan waktunya begitu. Cepat atau lambat, kita pasti akan dituntut juga masuk ke dalam politik, entah secara langsung ataupun tidak. Jadi, prepare yourself... 





Setelah kita mengetahui kriteria dalam memilih harakah yang baik, maka kita tinggal melihat lapangan, adakah yang sesuai dengan kriteria tersebut? Jika ada, bismillah semoga itulah pilihan terbaik untuk berafiliasi. Jika belum ada, maka itulah kenapa mahasiswa disebut Agent of Change. Ia, bersama mahasiswa Islam lainnya, menyusun langkah untuk mewujudkan harakah yang dimasud itu. Organisasi eksternal kampus juga bisa dijadikan wadah dalam upaya pembinaan menjadi Muslim Negarawan sejati. Bisa juga lewat BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) ataupun Dema (Dewan Mahasiswa). Jadi lakukanlah, dengan jalur manapun sebagai wujud ekspresi menjadi Agent of Change.

0 komentar :

Posting Komentar

Cancel Reply