Love of the Light - sebuah cerpen


Senja berganti malam diiringi semburat merah yang kian memadam. Kulangkahkan kakiku menuju tempat wudhu karena Allah telah memanggilku untuk menghadap padaNya. Kemudian aku bergegas menuju rumahNya untuk mendirikan tiang agama ini berjama’ah.
Usai dari masjid, aku segera pulang. Seperti biasa, kebiasaanku adalah membaca Al Qur’an selepas shalat maghrib. Suatu saat saat membaca, aku sampai pada sebuah ayat yang berbunyi, “zuyyina linnaasi hubbusysyahawaati minannisaa’i wal baniina…… -ila akhir” (QS. Ali Imran :14). Sesaat setelah membacanya, aku berhenti. Kulirikkan mataku untuk mencari terjemahan ayat itu yang memang terasa familiar di telinga, “dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia, cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk-tumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah lah tempat kembali yang baik.”. Lalu aku terdiam. Ingatanku kuaduk-aduk untuk mencari potongan episode sebuah kejadian siang tadi. Aku pun menghela nafas, geleng-geleng kepala mengingat kejadian siang tadi yang tak habis pikir.
***
Saat itu aku sedang ada di taman di fakultasku. Kebetulan sedang kosong, jadi aku bisa santai-santai dulu disana. Aku sedang baca buku. Kemudian selang 5 menit-an datang temanku. Kami pun ngobrol-ngobrol agak lama. Kebetulan juga dia teman yang cukup dekat denganku, jadi antara aku dan dia enak ngomongnya. Awalnya kita cuma ngobrol sekedar materi kuliah, namun lama-lama pembicaraan mengarah juga ke hal-hal yang lebih sensitif buatku. Aku sedikit terkejut juga, tapi kemudian aku sadar, dia memang manusia biasa, bukan nabi yang maksum. Aku sadar juga, dia bukan berasal dari lingkungan sepertiku, yang dikenalkan agama sejak kecil, yang dikenalkan agama secara jelas dan benar. Awalnya aku memang tak habis pikir, namun kumaklumi kemudian melihat latar belakangnya yang jauh berbeda dariku. Mungkin inilah yang kukatakan prinsip. Saat orang-orang lainnya bangga dengan apa yang mereka lakukan –tak peduli apakah itu salah atau benar, aku disini sibuk memilah mana yang benar untuk kulakukan dan mana yang harus kutinggalkan. Seperti halnya ini juga, ketika dia dengan enteng dan rasa tak bersalahnya bicara di depanku seperti seorang anak polos, aku, hatiku, tentu tak pernah mengizinkan ragaku membenarkan perbuatan itu, karena jiwaku telah faham bahwa itu tidak benar. Sesaat kemudian aku terdiam. Tatapanku seolah tajam menatap ke bawah, padahal sebenarnya aku bingung mau jawab apa.
Gimana, menurut kamu aku cocok kan pacaran sama si Ina itu??”  Tanya temanku ini.
Emm… gimana yaa…?? Aku gak bisa bilang kamu cocok sih… soalnya…” Aku jawab terbata-bata.
Ooohh….. enggak cocok ya… dimananya?” Tiba-tiba temanku ini buru-buru menyela perkataanku yang belum kutuntaskan.
Nggh…. di itunya, anu, di…” Aku bingung mau jawabnya, “kurasa kalian emang enggak cocok deh… hehe…
Gitu ya…” Balasnya singkat. Entah, apa yang dia pikirkan setelah kukatakan barusan. Tapi dari sorot matanya itu, kupikir dia tak setuju dengan pernyataanku.
Tulilit… Tulilit…
Tiba-tiba terdengar dering HP. Mungkin ada SMS.
Ah, maaf ya… Aku pergi dulu, mau ketemuan sama temenku dari FISIP.”  Jelasnya dengan wajah tersenyum setelah membuka HP-nya.
Mau ngapain??” Tanyaku dengan nada selidik. Enggak, bukannya aku su’udzan, aku cuma mau memastikan aja.
Mau bikin rancangan usaha buat diajukan ke universitas. Kita mau bikin usaha…” Kata temanku itu.
Oh, PKM ya?”  Tanyaku.
Iya…” Jawabnya sambil berlalu.
Tinggallah aku sendiri lagi. Sebenarnya di tempat itu bukan aku sendirian sih, ada beberapa orang juga yang istirahat disitu, atau sedang mengerjakan tugas. Kebetulan aja aku lagi enggak ada tugas, jadi bisa nyantai. Aku lanjutkan lagi baca bukunya.
Tak lama, aku pun mulai merasa bosan. Juga, lama-lama baca buku bikin aku jadi ngantuk. Akhirnya, tanpa sadar aku pun tertidur disana. Sebenarnya ini bukan pertama kalinya aku tertidur disana. Beberapa kali aku sempat ketiduran disana karena selain memang tempatnya yang teduh dan sejuk, juga suasananya mendukung. Bahkan, kalau kuingat-ingat lagi, aku pernah sampai nggak ikut kuliah tiga kali gara-gara ketiduran. Dan menyebalkannya, yang dua kali itu karena temanku gak ada yang mbangunin aku, yang satu karena mereka nggak tau ternyata itu aku, yang satu lagi karena iseng menjahiliku. Hih!
***
Sedikit tersenyum kalau kuingat-ingat lagi kejadian tadi siang. Meski, aku juga harus menghela nafas dengan sikap temanku itu. Tapi mau gimana lagi, inilah dunia perkuliahan. Kamu tak bisa mengharapkan semua jadi cocok sesuai keinginanmu. Aku cuma bisa bersabar membimbng dan ngingetin dia. Kali aja suatu saat, dia sadar atas kekhilafannya, terus berubah 180 derajat jadi orang baik, bahkan melebihiku. Siapa tau…
Tiiing……..
Aku kenal suara itu. Itu adalah suara kalau ada SMS masuk HP-ku. Segera kuperiksa, ternyata SMS dari temanku siang tadi. Mataku terbelalak membaca SMS itu, tersenyum sedikit namun kemudian beristighfar. Apa-apaan ini…
Friend, kurasa ap yg kmu ktkan siang td bner. Aku egk co2k sma dy. Sore td aku liat dy jlan breng sma cwok lain, kliatn msra bgt. Yaudhlah, aku tnggalin aj. Tp brita bgusny, aku dpet gntinya looh… Orngnya jg baik, mlah lbih prhtan sma aku… Oke, bsok aku critain…
Ya Allah… baru enam jam kurang dia udah bisa move on. Sempat aku membatin, apa dia ini playboy yak? Ah, sudahlah… Lalu kubalas SMS-nya.
Ya Allah, kmu msih jg mkirn pcran? Hri gni… tgas msih bnyk bro, blm lg praktkum, acara2, ah lo… msa’ pcran mulu yg dpkir… Negara jg donk… ummat  :P
Sengaja kubuat terlihat agak bercanda, agar dia enggak tersinggung. Lagian, aku males juga sih kalo sekedar dicurhatin tentang cewek. Emang gue apaan… Mending-mending kalo ditanyain masalah fiqh, walau pun karena itu aku harus pontang-panting kesana-kemari nyari jawabannya. Okelah, setelah itu aku nggak buka HP lagi. Aku pergi ke ruang makan. Mau ngapain? Ya mau makanlah, masa’ mau mandi… -,-
***
Malam kian larut. Sayup-sayup suara lalu lalang kendaraan kian menyepi digantikan semilir bayu malam. Sejenak aku mendudukkan diriku di kursi teras rumah, memandangi halaman kecil yang tampak remang-remang dalam cahaya lampu kuning. Indah memang dipandang, namun bukan itu yang ingin kupikirkan. Aku putar balik memori seharian ini, dan kutemukan pecahan episode menggelikan namun juga menyedihkan. Tentang temanku. Jujur, tentu aku merasa akulah yang paling bertanggungjawab atas dirnya, karena aku adalah orang terdekatnya. Aku terdiam lama di atas kursi itu. Semakin lama hingga kantuk menyerangku dari kesadaran. Karena itu, aku pun kembali ke kamarku dan siap-siap tidur.
Pagi. Cahaya mentari pagi ini terlihat begitu memukau. Seperti pantulan dari sinar yang mengenai intan berlian. Perasaanku sedang bagus hari ini. Entah, seperti aku melupakan kejadian kemarin begitu saja. Hari ini aku kuliah pagi, jadi aku berangkat lebh pagi, sekitar pukul tujuh.
Selama kuliah pun sebenarnya tak ada hal-hal yang beda dari biasanya, sama saja, ordinary daily activities. Hingga suatu saat saat jam kosong, lagi-lagi aku nganggur dan duduk di taman fakultasku. Dan lagi-lagi aku didatangi temanku itu. Dan, lagi-lagi dia membahas soal perempuan. Haduh, males bener aku.
Eh, kemarin aku udah cerita belum aku jadian sama si Dina?” Tanyanya membuka pembicaraan.
Udaaaaaah…..” Jawabku sekenanya.
Kenapa lo? Kok kayak gak semangat gitu, tumben banget…” Tiba-tiba da mengalihkan pembicaraan.
Ah, enggak apa-apa kok…” Balasku.
Oh, kirain lagi sakit. Eh, tau nggak,kemarin itu aku nembak dia, dan gaktaunya, ternyata dia mau sama aku. Wah, keren bener, padahal kukira gak bakal diterima…” Lanjutnya nyeritain kisahnya.
Oh, selamat deh…” Balasku sinis. Biarin, orang paling males diajak bicara gitu, malah dia ngajak bicara masalah gitu. Jadilah bête.
Tau gak kemaren aku bilangnya gimana? Aku cuma bilang, DOR! Kamu kutembak yah…, eh dia malah jawab, Wah, aku ditembak, terima gak yaah? Terima deh… gitu… Sambungnya.
Eh buset nih anak. Aku dibikin kaget. Dia pacaran dengan modal SMS gratisan, nembaknya murahan pula. Parahnya lagi, si ceweknya nerima. Oh Ya Allah, zaman sekarang emang banyak yang murahan, bahkan gratisan yaa… Aku nggak habis pikir bakal kayak gitu kejadiannya. Bakal segampang itu ceritanya. Murahan banget ceweknya, pikirku. Tapi yah, begitulah orang awam agama bertindak. Bukan maksudku mengejek, namun inilah realitanya. Siapa sangka, bakal ada yang lebih menggelikan lagi nantinya.
Aku sempat nahan ketawa, walaupun akhirnya lepas juga tawaku. Bwahahaha, siapa sangka mulanya dari hal sepele dan rendah begitu, dan gak bakal heran juga kalau nantinya berakhirnya juga dengan hal sepele dan rendahan.
Eh, kenapa malah ketawa sih?” Tanyanya setelah melihat reaksiku.
Enggak kenapa-kenpa, cuma lucu aja… habis, bisa-bisanya kamu jadian modal nekat gitu, gak mutu lagi SMS-nya…” Kataku.
Yeeeeh, itu sih namanya kreatif. Kamu sendiri, kenapa gak nyoba nyari kayak aku? Eh, bukannya si Ina itu sekarang juga lagi jomblo ya? Sana gih dideketin…” Nasehatnya. Yah, belum tau dia siapa gue. Gue kan anti pacaran bro.
Yah, buat apa dideketin? Mau morotin duitnya? Hahaha…” Celetukku padanya.
Ya bukanlah dodol. Kamu deketin, kamu jadiin temen akrab. Nah, kalo kamu beruntung, dia bisa jadi pacar kamu. Atau gini, kamu langsung tembak dia aja… Pasti langsung mau, apalagi kamu kan ganteng… Ckckck…” Balasnya sambil menggodaku. Ih, homo ya?
Aah, apaan sih… Kenapa kamu nyuruh aku pacaran?” Tanyaku.
Ah lo bro, masa’ hari gni nggak pacaran? Siapa ntar yang nemenin kita? Siapa ntar yang khawatirin kita kalo sakit? Siapa ntar yang bisa kita ajak curhat? Kasian ntar jadi jomblo…” Dia berargumen. Namun sayang, argumen itu patah sebelum nyampe otakku. Aku sudah jauh-jauh hari menyadarinya. Makanya, aku nggak terpengaruh sama kondisi seperti yang temanku alami ini. Terseret gelombang. Terlalu mainstream. Lah, aku kan gak suka yang mainstream kayak gitu. Makanya, aku pasti beda sendiri dari yang lain.
Jomblo? Bagus donk… Daripada pacaran akhrnya putus… hayo… Mending jomblo tapi bahagia. Kalo masalah siapa yang nemenin, siapa yang khawatirin, siapa yang bisa diajak curhat, itu masih banyak selain pacar. Ada bu, bapak, keluarga, temen lainnya, dosen, guru-guru kita dulu, ngapain pusing… Kita kan hidup disini gak cuma berdua sama orang yang kamu juluki pacar itu…” Jawabku menjelaskan. Yah, berharap aja dia mau berfikir setelah ini, dan berubah tentunya.
Tapi kan…” Dia menyergah.
Nah, gini deh…” Aku memotong sergahannya, “sekarang aku mau tanya, kamu itu suka apa cinta sama dia? Beda lho ya suka sama cinta itu… Kalo suka itu karena liat, interaksi sekali dua kali… Kalo cinta itu karena kita udah bener-bener kenal sama dia. Nah, sekarang gini, kamu udah kenal dia berapa lama?
Yaa… Aku cinta sama, walaupun baru 9 jam-an kenalan…” Katanya kemudian sambil agak berfikir.
Yelah… Baru juga 9 jam kenal, udah bisa bilang cinta. Itu namanya suka bro… Cinta itu beda, lebih dalem lagi… Nah, sekarang aku mau tanya lagi, kalo dia kena masalah besar, misalnya rumahnya disita rentenir gitu, kamu mau nggak bayarin dia?” Tanyaku selidik.
Iya maulah…” Jawabnya meyakinkan.
Yakin? Kalo misalnya 100 juta harus dbayar har in, mau juga?” Tanyaku lagi.
Iyaa, tapi dia kan masih punya keluarga besarnya. Pasti dia bisa minta bantuan kesana…  Kayaknya ini dia mulai mengelak.
Nah loh, sekarang malah mengelak. Katanya cintaa, tapi kok gak mau bantuin…” Sergahku, “inget bro, cinta tu lebih berkonsekuensi, lebih berat, butuh pengorbanan, gak cuma bicara, jangan cuma NATO, No Action Talk Only…
Tapi kan aku masih sekolah, jadi belum bisa ngasih penghasilan donk… Ntar kalo aku udah kerja, pasti aku bantu… Apapun…” Balasnya gak mau kalah. Lagaknya janji-janji begitu kayak calon pemimpin negara yang sedang kampanye.
Nah, kalo gitu jangan cinta dulu. Sekolah dulu. Cinta ntar urusan belakangan… Apalagi pacaran, saranku, udah deh, tinggalin aja. Putusin aja, daripada ntar ujung-ujungnya nambah beban kamu.” Nasehatku.
Tapi kan suka itu gak salah… Suka kan fitrah, iya kan…” Sanggahnya lagi. Wah, ini anak kayaknya masih bandel deh.
Nah ketauan kan, suka doang ternyata. Iya, emang suka itu gak salah, itu wajar. Suka itu fitrah. Tapi yang gak wajar itu apa yang sesudahnya. Kalo kamu nyatakan suka itu sekarang, itu yang gak wajar sebenernya. Kenapa? Karena belum waktunya. Nah, belum waktunya kok udah kamu percepat. Ibaratnya kayak buah yang belum mateng, terus kamu petik, enak nggak? Enggak kan… Nah, kenape emang kok buru-buru? Santai ajalah, nikmati perjalanannya. Kalo kita sabar, insyaAllah, janji Allah itu gak akan diingkariNya. Semua past akan ndah pada waktunya.” Jelasku perlahan dan dalam agar dia paham.
Enggak, bukan gitu. Sebenernya aku cuma pengen punya sahabat deket aja, yang bisa ngertiin aku…” Tiba-tiba dai membuat pengakuan yang menurutku aneh, dan tentu saja menyimpang dari yang pertama dikatakannya.
Nah, kalo gitu kenapa enggak jadi sahabat aja? Kenapa malah jadi pacar? Toh yang kamu butuhin sahabat kan… Bro,inget, aku juga masih disini. Kapanpun kamu butuh bantuanku, aku pasti akan nolongin…” Kataku sok bijak begitu, hehe…
Aaaah, iya-iya aku ngaku deh… Sebenernya... Sebenernya... Aku emang bener-bener suka dia, aku takut kalo dia nantinya pergi ke orang lain. Aku ngerasa dia sangat sempurna untukku. Aku takut kalo ternyata dia nantinya bukan jodohku, jadi…” Kata-katanya terdengar lebih menyedihkan sekarang. Lebih menyedihkan dari wajahnya.
PLOK…!!
Brooo… Haduh, sejak kapan kamu jadi cowok galau nan rapuh begini…?? Ayolah, kamu itu laki-laki, masa’ gara-gara begitu doang jadi lembek sih…” Kataku sambil memegang pundaknya, memberinya semangat.
Tapi…” Dia tertunduk, namun kemudian dia mengangkat kepala lagi, “eh tapi, kenapa kamu nggak kebingungan? Kalo si Ina diambil orang gimana lhoh… Ntar nyesel… Menurutku dia orang yang baik kok, kamu harusnya bisa dapetin dia, apalagi kamu juga orangnya baik. Kalo ntar butuh bantuan, aku bantu deh…
Seolah mengalihkan kegelisahannya barusan. Dia tiba-tiba menstimulusku untuk melakukan seperti apa yang dia lakukan. Ah, gilee nih anak, kirain mulai sadar. Terrrrnyataaaaaaa……………
Sob, gini deh… Tadi kamu keliatan kayak orang paling sedih sedunia gitu. Sesaat kemudian tiba-tiba berubah jadi kayak salesman nawarin produk. Kenape nih? Gini yaa aku kasih tau, jodoh tuh udah ada yang ngatur. Jadi kita gak usah sok sibuk nyari-nyarinya lagi. Kalo udah waktunya ntar, Allah pasti ngasih tau, gak usah dicari lagi, tapi dijemput. Tapi yang lebih penting adalah, sebelum masa itu tiba, jadikan dirimu lebih baik dulu. Bukan dengan pacaran, namun dengan baca Qur’an, bukan dengan bergaya, namun dengan sholat Dhuha, bukan dengan pamer harta, namun dengan puasa, bukan dengan ngrokok dan sok jagoan, namun dengan bertingkah sopan. Maksudnya, perbaiki apapun dari dirimu yang masih kurang baik, jadikan itu lebih baik dan lebih dicnta Allah. Gak usah peduliin apa kata mereka, tapi pikirin aja Allah suka begini apa kagak. Nah, percuma kan kalo ngejar-ngejar si dia sampe jatuh bangun berkali-kali, akhirnya tetep nggak dapet. Atau udah pacaran selama empat taun lebih, tapi ujung-ujungnya putus juga. Gak ada yang menjamin pasangan hidup kita itu dari garis silsilah pacar. Mending kan kamu fokus belajar biar sukses, bisa bahagiain orang tua. Yaah??” kataku panjang ngasih pendapat dari pemikiranku sendiri. In nh yang sejak kemaren sebenernya pengen kuungkpin ke dia. Nunggu tming yng pas aja, hhoho…
Tapi bro, aku mau nanya nih… Kamu kok gak terpengaruh sama temen-temen lain yangpunya pacar gitu? Emang enak jomblo gitu?” Tanyanya penasaran.
Heeeh, udah kubilang kan, jodoh itu udah ada yang ngatur. Ngapain juga aku masih kut-ikutan pacaran, kayak aku nggak bakal laku aja… hehehe… Lagian enak jomblo gini, mau pergi kemana-mana gak ribet, gak usah sok-sok pamit ke pacar, gak usah ngajakin pacar, bebas kayak burung…” Jawabku.
Ooh… gitu… Beneran kamu nggak khawatir sama sekali dengan jodoh? Kamu punya orang special nggak? Maksudku, kayak orang yang kamu sukai gitu, selain keluarga tentunya…” Tanyanya lagi.
Eh, apaan ini? Kok tiba-tiba nanya gitu. Aku mau jawab apa lagi… Aku diam sejenak. Menerawang ke atas. Pertanyaan barusan membuatku ingat masa-masa SMA. Ah, itu udah cerita masa lalu. Meski begitu, sebenarnya aku masih menyimpan potongan-potongan cerita itu. Sebuah potongan kisah yang masih teringat jelas di ingatanku. Kisah antara aku dan dia. Namun aku berusaha menutup tu dalam-dalam. Bukan membenci, justru aku menyukainya. Namun aku takut, itu juga yang akan mnghempaskanku ke bawah dengan keras.
Hufft… Punya, kenapa? Mau tau…?” Balasku.
Iya, kalo kamu mau ngasih tau…” Jawabnya, “terus, perasaan kamu sekarang gimana?
Yaa nggak gimana-gimana. Orang namanya suka, ya gak bisa mengelak juga. Cuma yang membedakanku dari kebanyakan adalah cara menyikapiku. Aku gak mau terjebak dalam jurang cinta palsu, makanya aku tetap rahasiakan masalah ini dari siapapun. Cuma Allah yang tau hal ini sebenarnya. Dan kalo curhat, aku curhat sama Allah, bukan sama orang lain. Aku cuma berharap, kalo emang dia bukan untukku, maka hilangkan rasa ini, tapi kalo da kelak bersamaku, maka jagalah hati ini. Itu aja… Eh kok aku ikutan mellow gini sih…” Jawabku diakhiri gurauan. Semoga in menyadarkannya.
Oh, yayaya…” Dia mengangguk-angguk tanda faham.
Langit siang begitu panas menyengat. Namun bukan berarti langkahku terhenti. Aku naik motor menuju masjid kampusku tercinta, untuk istirahat melepas lelah dan ketemuan sama ikhwah-ikhwah lain disana. Tak lama, aku dapat SMS dari temanku itu dan bertanya dimana posisiku berada. Ah, tumben jam-jam segini nanyain.
Dia datang dengan wajah lebih cerah, kurasa. Ada apa? Bebannya hIlang? Atau pkirannya melayang? Hehehe… Kemudian dia cerita lagi soal perempuan dsan. Tapi kali ini membuatku antusias mendengarkan. Entah, apa yang memotivasinya, dia dengan yakin berubah total seratus delapan puluh derajat menjadi seperti diriku. Anti pacaran. Dia baru saja memutuskan pacarnya. Katanya, bikin dia nggak tenang, takut di-selingkuhi. Hehehe, aku cuma terkekeh. Tapi dibalik itu, aku tau ada I’tikad dan azzam yang sangat kuat untuk berubah. Dia bilang, dia ma masuk SKI kampus. Waah, kebetulan juga, aku juga mau masuk situ. Yuk, sama-sama berkomtmen, menjadi lebih baik. J

3 komentar :