Kausalitas Tuhan

Ada hal lucu saat saya sekali mereply cuitan salah satu kanal media alternatif di Twitter, Tirto. Saat itu Tirto membuat cuitan dari artikelnya berjudul TNI Tak Perlu Ikut Campur dalam Penanganan LGBT di Padang yang kemudian secara iseng saya reply demikian, "Kalo kata KH Zainuddin MZ dulu, "Yang zina elu, yang maksiat elu, yang mabok elu. Kalau negara ini banyak maksiat, nanti Allah marah. Turunlah gempa bumi, yang mati bukan elu doang monyong." ". Saya nggak nyangka bahwa balasan saya akan jadi rame dan membuat perdebatan panjang, wkwk.

Mengenai artikel yang dimaksud, disebutkan bahwa walikota Padang menggandeng TNI dalam menangani masalah LGBT, sebab hal ini dianggap sebagai penyakit. Bersama TNI, mereka akan melakukan pembinaan dan penanaman sikap nasionalisme dalam dirinya. Selain itu, akan dilakukan ruqyah dan upaya pendidikan yang sesuai untuk penegasan status gender mereka. Untuk artikel lebih lanjut silakan dibaca disini.

Yang menarik adalah bahwa cuitan ini telah membawa perdebatan yang melebar di kalangan netizen yang mereply hingga bahasan bergeser sampai BMKG, gempa bumi, sampai bayi tabung. Saya baca balasan-balasan sambil haha-haha. Silakan cek di Twitter saya. Dari balasan-balasan itu, ada satu tema menarik yang saya soroti, yaitu mengenai hukum sebab akibat atau kausalitas.

Kausalitas
Kausalitas merupakan ilmu pengetahuan dasar yang dapat diketahui tanpa membutuhkan pengetahuan dan perantaraan ilmu lain, yang mencakup pada bahasan sebab dan akibat dari suatu kejadian, dimana kejadian kedua merupakan konsekuensi dari kejadian pertama. Kita mengetahui bahwa asap adalah akibat dari adanya api, atau bahwa kenyang merupakan akibat dari telah makan. Seorang filsuf Yunani bernama Leucipos mengungkapkan sebuah ungkapan yaitu nihil fin sine causa (tidak ada satu pun peristiwa yang tidak mempunyai sebab) pada abad ke-5 sebelum Masehi. Disini kita telah memahami bahwa pengetahuan mengenai sebab akibat telah terbentuk sejak dahulu kala, bahkan sebelum ilmu pengetahuan mulai berkembang pesat. Karena itulah ini merupakan pengetahuan dasar manusia semenjak dunia ini diciptakan. Bahkan Azazel dalam rayuannya kepada Adam dan Hawa juga menyatakan sebuah kausalitas bahwa jika mereka memakan buah yang dilarang Allah di Surga, maka mereka akan menjadi makhluk yang kekal.

Kembali lagi pada bahasan di Twitter yang menyinggung soal-soal terkait kausalitas, ada yang menyebutkan bahwa di Indonesia ada atau tidak ada maksiat, gempa bumi dan banjir selalu ada, sedangkan di Eropa yang banyak maksiat justru tidak ada bencana. Sekilas pernyataan seperti ini memang mengundang tanda tanya. Namun begitu, kita bisa memahami dari sudut pandang teologis, ketika kita menyadari bahwa segala kejadian di alam ini adalah takdir yang telah ditulis Tuhan. Ada tidaknya bencana pun merupakan ketentuan yang telah Tuhan gariskan. Dan bagi manusia yang memiliki nilai religius, peristiwa-peristiwa demikian merupakan kejadian yang memiliki makna di sebaliknya. Lalu bagaimana keterkaitan antara bencana dengan kemaksiatan seperti yang dikatakan KH Zainuddin MZ? Sebelum membahas itu, mari kita mundur sejenak pada ide kausalitas.

Al Ghazali merupakan salah satu filsuf Muslim tersohor di masanya. Salah satu gagasan pentingnya mengenai kausalitas adalah bahwa apa yang terjadi di alam ini tidak saling berhubungan, dalam artian tidak selalu akibat itu muncul dari sebuah sebab. Jika Allah menginginkan sesuatu, maka Dia hanya akan berkata "Kun", maka jadilah sesuatu itu. Tanpa sebelumnya harus menghadirkan sebab. Dalam pemahaman Al Ghazali, kausalitas dibawa menjadi sunnatullah. Bahwa segala peristiwa yang terjadi di dunia adalah ketetapan dariNya yang tidak terkait satu dengan yang lain. Selain itu, kausalitas merupakan realitas fisik yang merupakan bagian dari metafisik. Artinya, sebab-akibat merupakan bagian dari kekuasaan Allah. Namun meski demikian, pada beberapa hal yang penting, Allah tetap memasukkan unsur sebab-akibat sebagai bagian dari penalaran dari logika manusia. Sehingga dengannya manusia diajak berpikir agar tidak sembarangan dalam bertindak. Seperti misalnya pada QS. Asy Syura: 30, "Dan musibah apa saja yang menimpa kalian, maka disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).". Atau seperti dalam QS. Al Ankabut: 40,"Maka masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan dosanya, maka diantara mereka ada yang Kami tmpakan kepadanya hujan batu kerikil, dan diantara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur (halilintar), dan diantara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi, dan diantara mereka ada yang kami tenggelamkan, dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.".

Terlebih, jika kita membiarkan ide mengenai kausalitas seperti ide-ide para filsuf kemukakan, seperti kata Ust. Adian Husaini, pada gilirannya hal itu akan menafikan peran Tuhan dalam kausalitas. Lebih jauh, gagasan demikian akan menjatuhkan seseorang pada deisme, yaitu bahwa Tuhan yang menciptakan alam semesta ini. Namun setelah penciptaan, Dia tidak mencampuri apa yang berjalan di alam ini. Segala kejadian akan dititikberatkan pada yang namanya hukum alam. Padahal tidaklah alam berjalan melainkan sesuai sunnatullah. Maka, bagaimana alam berjalan, kejadian seperti gempa bumi, ramalan cuaca, atau perhitungan-perhitungan astro-fisika, sejatinya hal itu hanyalah proses manusia membaca sunnatullah. Maka jangan sampai salah kaprah dalam mendudukkan kausalitas sebagai proses tanpa campur tangan Tuhan.

Hikmah
Lalu apakah bencana merupakan akibat dari dosa-dosa manusia? Menurut ayat di atas, iya. Namun dalam suatu peristiwa, bisa juga bencana atau musibah merupakan cara Allah mengangkat derajat seorang hamba. Kita menyebutnya dengan ujian. Seseorang yang diuji Allah, bila dia berhasil melewatinya, maka Allah akan meninggikan derajatnya di sisiNya. Karena itulah para Nabi memiliki derajat tinggi, sebab ujian yang diberikan lebih berat dan mereka berhasil melewatinya.

Kembali kepada pertanyaan di atas, mengapa Indonesia ada atau tidak ada maksiat, bencana tetap datang, sedangkan di Eropa yang maksiat jalan terus, bencana tidak datang? Pertama, perlu dikoreksi pertanyaan di atas. Apakah benar di Indonesia pernah tak ada maksiat? Apakah benar di Eropa tak pernah terjadi bencana meskipun maksiat terus jalan? Saya rasa tidak akan ada yang dapat memberikan data rinci mengenai ini, sebab ini hanya hipotesa atau bahkan asumsi. Kedua, bencana itu datang tidak selalu lantaran kemaksiatan. Seperti yang dikatakan sebelumnya, bisa jadi itu adalah ujian yang diberikan untuk menguji mana hambaNya yang tetap taat kepadaNya di kala ujian datang. Ketiga, mari berlogika. Apakah harus Allah memberikan hukuman secara langsung setelah maksiat itu dilakukan? Sementara Dia, pada salah satu nama dalam asma'ul husnanya adalah Al Afuww atau yang Maha Pemaaf dan Al Ghaffar atau Maha Pengampun. Maka jika setiap kemaksiatan serta merta langsung dihukum, dimanakah sifat Maha Pemaaf dan pengampunnya Allah?

Sudah banyak kisah mengenai hukuman langsung yang Allah berikan kepada manusia karena kedurhakaannya, yang tidak harus selalu diterapkan sama. Sejak dahulu, ada kaum 'Ad dan Tsamud serta Sodom dan Gomorrah yang dihukum berat oleh Allah. Salah satu penyebabnya karena telah melampaui batasnya kedurhakaan mereka. Jika setiap kedurhakaan selalu langsung diberikan hukuman, maka semua orang di dunia akan serta merta berbalik beriman dan berusaha menjadi sholih karena menyadari setiap kesalahannya akan segera dibalas. Tidak akan ada lagi maksiat. Tidak ada lagi ujian keimanan. Tidak ada lagi taubat. Tidak ada lagi amar ma'ruf nahi munkar. Namun Allah tidak menghendaki demikian. Dia ingin melihat mana orang-orang yang sungguh-sungguh dan mana yang tidak. Inilah hikmah yang ingin Allah ajarkan kepada manusia tentang penagguhan hukuman. Dalam pandangan lebih romantis, Allah menunggu hamba-hambaNya untuk kembali kepadaNya dan bertaubat sebelum Dia menghukumnya. Sebab ampunan Allah itu mendahului murkaNya.

Maka, pada setiap kejadian, seorang Muslim dianjurkan untuk mengambil hikmah atau pelajaran agar hal itu membentuk dirinya menjadi pribadi yang lebih baik.

0 komentar :

Posting Komentar

Cancel Reply