Tertampar Hujan

Aku menulis ini tepat ketika awan menangis, ketika bumi dihujani peluru-peluru dari langit, ketika kilau sang mentari tak mampu menembus pertahanan uap yang telah berkondensasi. Deras. Namun sungguh merdu terdengar, bagai simponi alam yang sedang bernyanyi, entah dalam suka atau duka. Setiap gemericik seakan ingin menuturkan kisahnya, darimana dia berasal, untuk apa dia turun, dan kepada siapa dia diturunkan. Pun juga guntur yang terkadang, sesekali ia bersuara. Mungkin ia ingin menyuarakan ceritanya juga.

Ah, bicara tentang hujan, kupikir setiap insan di muka bumi ini akan selalu punya kisah terkenang dengannya. Terutama kaum remaja modern saat ini, yang menjadikan hujan sebagai tempat terciptanya cerita-cerita mereka. Kadang rangkaian indah, kadang sedih, kadang galau, kadang biasa saja. Semua berawal dan berakhir dari satu, hujan. Seolah hujan adalah tempat penyimpanan memori-memori yang berkesan di alam ini. Setiap kali hujan muncul, saat itu pula memori itu terpanggil.

Mengenang. gadis itu duduk di tepian jendela menerawangi panah-panah dari langit yang terus menerus menghujam wajah bumi. Ah, andai dirinya adalah bumi itu, mungkin ia akan menjerit karena tak tahan beribu-ribu butir air yang menghempas wajahnya sekejap. Dia terus menerawang. Kemudian memandangi langit. Wajah ayunya tak sanggup menjangkau ujung pandangannya. Ia ingin mendongak lebih jauh, lebih lama. Namun tulang atlasnya tak mampu terus menahan beban yang diberikan kepalanya, hingga akhirnya dia tertunduk kembali. Ia kini memandangi dasar lantai. Sesekali ia berkedip, hingga suatu ketika butir air matanya merembes keluar dan menetes. Ia terhenyak. kemudian ia mengerutkan matanya, bertanya pada dirinya sendiri, apa yang membuatku menangis?

Ia pandangi lagi keluar jendela. Hujan masih turun. Dia baru ingat, sejak hujan membasahi permukaan bumi, sejak tetes pertama dia lihat, dia merasakan sensasi yang lain. Dia teringat kejadian beberapa waktu lalu dengan seorang laki-laki. Dia marah. Dia juga sedih. Dia bingung.

Matanya kini menerawang menembus kaca jendela kembali. Perlahan matanya semakin basah, ia menangis, hingga sesenggukan. Lama. Hingga tangisnya sederas hujannya. Hingga air matanya menganak sungai. Neuron-neuronnya berdenyut, saling mengirimkan sinyal. Hingga dia mengingat kembali peristiwa yang belum lama dia alami. Dia membentak seorang lelaki. Bukan ayahnya, dia tak berani melakukan itu terhadap ayahnya. Namun ia lakukan terhadap kawannya, sahabat yang kadang sering dia mintai bantuan. Bahkan dia lontarkan kalimat yang tak perlu dia katakan, dia putuskan ikatan persahabatannya.

Dia adalah seorang lelaki. Jauh diseberang dimana gadis itu menangis. Dia terlihat biasa saja, bahkan setelah kejadian yang terjadi antara dirinya dan gadis itu. Dia terlihat asik di depan laptopnya. Jari jemarinya terus saja melompat diantara tombol-tombol keyboard itu. Ia sedang berimajinasi dengan tulisannya. Menuliskan cerita tentang dunia indah dimana tak seorangpun rasakan kebencian. Ya, seperti di Surga memang. Namun ia sebut tempat itu Terra Pacifica. Dia sama sekali tak ingat akan kemarahan gadis itu.

Di tepi jendela itu, gadis berkerudung merah marun itu masih sesenggukan. Namun perlahan ia bangkit. Jari jemarinya melakukan seperti apa yang lelaki itu lakukan. Ia ketikkan kata demi kata hingga terangkai kalimat penyesalan.

"maaf, ini salahku..."

Satu menit. Dua menit. Tiga menit. Dia tunggu hingga akhirnya handphone miliknya berdering memecah kegundahannya.

"maaf utk apa?"

Singkat. Namun sangat menusuk. Apa dia tak ingat? Bahkan setelah kejadian yang membuat hatinya kalut, dia tak ingat sama sekali? Atau dia hanya pura-pura dingin saja?

"Karna kmarin aku marah2 sama kmu, bhkan mngtakan hal yg krng baik smpai hrus memutuskan ikatan prsahabatn kita"

Tidak. Sungguh, di hati gadis itu bukan kata persahabatan yang dia ingat. Lebih dari itu. Dia... menyukainya. Ya, gadis itu menyukai lelaki yang berada jauh di seberang rumahnya saat ini. Namun, dia tak bisa mengucapkannya, karena bukan itu yang hatinya mau. Dia tetap saja menyimpan perasaan yang terkadang meletus-letuskan hatinya itu. Sungguh, beberapa saat setelah dia mengenal lelaki itu, dia bersumpah untuk tak katakan isi hatinya kepadanya. Sebuah keputusan berat untuk wanita seusianya yang sering dilanda sebuah rasa. Namun itu adalah keputusannya. Dia sendiri yang mengambilnya.

"Ah, itu... Aku sdh hmpir lupa pdhl... hahaha..."

Dia lupa. Ah, bahkan malah tertawa. Ada apa dengan dirinya? Dia sakit? Atau mungkin malah karena efek tertekannya jiwanya?

"Maaf, kok malah ketawa?"

"Memangnya knp? Gk boleh?"

"Bkn bgtu... cm, apa kmu gk mrasa sedih atau menyesal krna prkataanku kmarin?"

"Enggak."

Satu kata saja. Namun sukses merontokkan keegoisanku. Kata itu dengan gemilangnya berhasil merobohkan bayang-bayang pikiran burukku hingga mentari harapan dapat menyinar kembali.

"Ha? Masa?"

"Sdh kubilang, aku hmpir lupa mslh itu... Eh kmu malah ingetin..."

"Oh, maaf..."

"Sdhlah... jgn trus2an minta maaf. Sekali2 berilah maaf jg..."

Tes. Tetes hujan terakhir yang menetes dari genting rumahku bersamaan kilauan mentari yang menelisik dibalik awan dan menerobos kaca jendelaku serasa begitu dramatis. Aku tertegun membaca SMSnya. Sekali2 berilah maaf jg, ah, mungkin dia benar. Kupikir, aku egois juga jika hanya terus terusan minta pembenaran. Aku bersyukur dia ada di seberang sana, berdiri diatas karang di bawah sinar-sinar mentari yang mengguyur lembut seluruh badannya. Dia benar.

"Iya... Jazakallah ya, sdh memaafkan dan mengingatkanku..."

"Iya, afwan..."

Seolah awan gelap sirna, dan mentari bersinar hangat kembali. Gadis itu mengusap air matanya dan tersenyum lagi. Masih ada harapan untuk cinta, pikirnya. Namun, dia khawatir apakah dirinya sanggup menjangkaunya atau tidak.


Begitulah, hujan membawa berbagai cerita cinta, benci, suka, dan duka. Bagi remaja saat ini, hujan juga menuliskan cerita kegalauan. Hujan merubah mereka menjadi makhluk paling melankolis. Antara harapan dan kenyataan kadang samar ketika hujan turun. Bahkan bagi seorang pemuda aktivis sekalipun, kadang pandangan visionernya hilang seketika dalam kegalauan.

Kesadaran diri. Itulah yang dibutuhkan. Kadang ketangguhan akan limbung tanpa kesadaran. Begitulah, kisah para pahlawan dan pejuang itu lebih heroik saat cerita mereka dituturkan kembali. Dan, cerita yang dibalut oleh rasa Ketuhanan akan lebih menakjubkan.

Saat itu, kaum Muslimin mendengar tentang rombongan kaum Quraisy yang kembali dari berdagang dari Syam. Kemudian Rasulullah mengumpulkan para shahabat untuk bermusyawarah mengenai hal ini. Salah seorang shahabat, Miqdad bin Aswad berkata, "Ya Rasulullah, kami tidak akan mengatakan kepadamu seperti apa yang dikatakan oleh bani Israel kepada Musa, 'Pergilah kamu bersama Tuhanmu, kami duduk (menunggu) di sini', namun kami akan katakan 'pergilah bersama dengan keberkahan Allah dan kami akan bersama dengan mu !' ". Rasulullah tersenyum. Tak pernah akan kita lihat senyum seindah senyum beliau.

Namun beliau masih terdiam. Hingga pada akhirnya, salah satu pemimpin kaum Anshar, Sa'ad bin Mu'adz berbicara, "Wahai utusan Allah, kami telah mempercayai bahwa engkau berkata benar, Kami telah memberikan kepadamu kesetiaan kami untuk mendengar dan taat kepadamu. Demi Allah, Dia yang telah mengutusmu dengan kebenaran, jika engkau memasuki laut, kami akan ikut memasukinya bersamamu dan tidak ada seorangpun dari kami yang akan tertinggal di belakang. Mudah-mudahan Allah akan menunjukkan kepadamu yang mana tindakan kami yang akan menyukakanmu. Maka Majulah bersama-sama kami, letakkan kepercayaan kami di dalam keberkahan Allah".

Beliau lalu berkata,  "Majulah ke depan dan yakinlah yang Allah telah menjanjikan kepadaku satu dari keduanya (khafilah dagang atau perang), dan demi Allah, seolah-olah aku telah dapat melihat pasukan musuh terbaring kalah".

Mereka berangkat dan kemudian berhenti di daerah bernama Badar. lalu mereka membangun kemah-kemah disana untuk beristirahat sebelum perang. Pada malamnya, beliau berdo'a hingga tersedu,  "Ya Allah aku mengingatkan-Mu akan janji-Mu, Ya Allah jangan Engkau meninggalkanku, Ya Allah jangan Engkau membiarkanku, Ya Allah jangan Engkau menyianyiakanku. Ya Allah ini adalah orang Quraisy, mereka telah datang dengan kesombongan mereka. Mereka telah menentang dan menuduh bohong utusan-Mu. Ya Allah mana pertolongan-Mu yang Engkau janjikan.". Hingga kemudian, shahabat dekatnya, Abu Bakar datang dan menenangkannya.

Esoknya, saat perang akan meletus, ditandingkanlah tiga jagoan dari masing-masing kubu -Muslimin dan kafirin Quraisy. Namun, pada akhirnya kesombongan kafir Quraisy-lah yang menjadikan mereka terjerembab kekalahan. Kemudian perang tanding menjelma menjadi perang besar. Kaum Muslimin dan kafir Quraisy saling serang dengan kekuatan 313-317 kaum Muslim berbanding 1000-1300 kaum Quraisy. Meski kalah jumlah, namun hati mereka tak terkalahkan. Mereka memiliki keteguhan dan keyakinan yang membaja hingga dikatakan bahwa kekuatan seorang Muslim saat itu setara dengan kekuatan 10 orang kafir. Allah pun kabulkan do'a hambaNya yang telah menangis semalaman. Dia datangkan bantuan berupa malaikat yang berbaris-baris, turun menyongsong kaum kafir untuk segera menghabisi mereka, hingga bagi kaum kafir, kaum Muslim terlihat lebih banyak.

”Sesungguhnya telah ada tanda bagi kamu pada dua golongan yang telah bertemu (bertempur). Segolongan berperang di jalan Allah dan (segolongan) yang lain kafir yang dengan mata kepala melihat (seakan-akan) orang-orang muslimin dua kali jumlah mereka ….” (QS. Ali Imron :13)

Selain itu, sebelum perang terjadi, Allah turunkan rasa kantuk kepada kaum Muslim hingga kekuatan mereka kembali pulih setelah lelah menyerang fisik mereka. Kemudian, mereka dikokohkan kembali oleh Allah dengan diturunkannya hujan. Hujan menjadikan mereka lebih tegar, berani dan mantap dalam melangkah karena kembali kokohnya tanah tempat mereka berpijak, menyucikan mereka dari segala kotoran, menyegarkan pikiran mereka, dan memberikan semangat baru bagi jiwa mereka. Ya, hujan. Allah berikan kemenangan kepada mereka melalui hujan. Bahkan, jari-jemari yang bergetar ketakutan menjadi kembali terdiam kokoh. Tangan yang takut mengangkat pedang kini mampu menebas musuh dengan sekali ayunan. Kaki yang tak sanggup melangkah, bahkan menopang dirinya sendiri, sekarang sanggup berlari menghadapi lawan. Semua karena hujan turun. Ya, hujan membawa ketenangan. Hujan membuat pikiran-pikiran menjadi bersih kembali.

Andaikan mereka -para remaja- memaknai hujan sebagai motivasi, mereka takkan sanggup untuk cemas. Andai mereka melihat hujan membawa semangat, hilanglah kegalauan mereka. Andai mereka tahu hujan adalah rahmat, mereka takkan menangis karena suatu hal yang remeh. Ya, hujan. Dia mengajarkan kita untuk menampar kelemahan diri kita sendiri. Dia mengajarkan kita untuk tegar memandang masalah. Dia ceritakan kepada diriku bahwa tetes air yang memanah bumi ini adalah bukti keberanian dan pengorbanannya. Dia hanya hidup sesaat, namun terlahir berulang kali. Hujan.

0 komentar :

Posting Komentar

Cancel Reply