Makna Syahadat



[الشّهادة] AsySyahadah merupakan sebuah persaksian. Namun bagi seorang Muslim yang memahami seperti apa aqidah Islam itu, ia akan lebih menjiwai dan menganggap bukan sekedar sebuah persaksian belaka. Lalu apa makna dari syahadah?
                Asy Syahadah memiliki tiga pengertian, yakni Al I’lan [الإعلان], Al Qasam [القسم], dan Al ‘Ahdu [العهد].Ketiga hal inilah yang mendasari terbentuknya iman seseorang. Al I’lan berarti mempersaksikan. Maksudnya, ia mempersaksikan kepada orang lain bahwa dirinya adalah seorang Muslim. Ia mempertunjukkan kepada orang lain bahwa ia tak sedikit pun ragu atau malu dengan statusnya itu. Ia mantap dalam kondisinya sebagai seorang Muslim.
Al Qasam berarti sumpah. Seorang Muslim yang bersyahadat, tentu saja dengan otomatis ia bersumpah bahwa ia hanya akan menjadikan Allah sebagai satu-satunya Tuhan yang disembah, satu-satunya Dzat yang mendominasi hidupnya dengan segala aspek tingkah perbuatannya. Ia juga bersumpah untuk membela agama ini (Islam) dan berjuang meninggikan Islam. Maka tentu dengan itu ia akan bersungguh-sungguh dalam ia beriman dan melaksanakan segala konsekuensinya sebagai Muslim.
Al ‘Ahdu berarti janji. Seorang Muslim yang bersyahadat, berarti ia juga berjanji kepada dirinya sendiri maupun kepada Allah. Ia berjanji kepada dirinya sendiri bahwa ia hanya akan menyembah kepada Allah, dan ia berjanji kepada Allah bahwa hanya Dialah satu-satunya yang akan disembah. Ia patuh dan taat dengan segala perintahNya dan tak mau melanggar laranganNya.
Dari tiga pengertian itulah muncul iman. Maka tak salah dikatakan jika syahadat adalah ibarat kunci, maka gigi-giginya ibarat konsekuensi-konsekuensinya dalam ber-Islam. Karena memang keimanan berakibat memunculkan konsekuensi-konsekuensi dirinya sebagai Muslim yang harus ia jalankan, seperti sholat, puasa, membaca Al Qur’an, menjadikan Allah sebagai tujuan hidup, rela mengorbankan harta dan diri untuk agama (Islam), dan sebagainya.
Iman memiliki konsekuensi. Ada tiga konsekuensi yang harus ia lakukan tanpa meninggalkan satu dari yang lainnya. Konsekuensi pertama adalah ia benarkan dengan hatinya [تصديق بالقلب]. Memang, inti dari keimanan sendiri adalah kepercayaan. Artinya, jika seseorang memiliki iman dalam dirinya, ia akan mempercayai apa yang diyakininya. Maka inilah yang kemudian mendorong hati untuk membenarkan apa yang dipercayainya. Seorang Muslim tentu mempercayai terhadap Allah, sehingga ia akan membenarkan semua yang Allah perintahkan. Tak peduli itu akan membuatnya sakit atau bahkan mati, ia percaya bahwa yang ia lakukan adalah benar dan membawanya ke Surga. Maka termasuk aneh jika seorang Muslim yang beriman kepada Allah masih merasa takut terhadap musuh-musuh, atau percaya dengan hal-hal mistik yang tidak jelas seperti takhayul, atau bahkan masih suka meramal-ramal masa depannya, rezekinya, atau jodohnya. Padahal Allah yang menggenggam semua itu. Ia tak perlu cemas. Seorang Muslim sejati sejatinya memiliki keimanan yang ia tanam dalam hati dan menghujam jauh ke dasarnya. Ia tak gentar berhadapan dengan apapun dan selalu mantap dalam melangkah, meski langkahnya terlihat beraral tajam sekali pun. Ia tetap teguh dan yakin bahwa hanya kepada Allah ia gantungkan harapan dan berpasrah, sehingga ia memiliki kekuatan yang lebih karena ia hanya bergantung kepada Sang Pemberi Kekuatan. Kemudian yang kedua ia ikrarkan dengan lisannya [إقرار با للسان]. Keimanan itu bukan hanya soal meyakini, namun juga soal bagaimana ia melafadzkan kebenaran yang telah Allah ilhamkan kepadanya. Ia menyerukan kebaikan dan mengajak orang lain mengerjakannya bersama-sama dirinya. Selama ia bisa menyerukan kebaikan apapun itu, sekecil apapun itu, ia akan lakukan. Sehingga ia akan lebih tegar kala tak seorang pun mau mendengar seruannya. Karena ia yakin Allah yang menggenggam hati, Allah yang kuasa memberi hidayah, sedangkan dirinya hanya menyampaikan kebenaran saja. Yang terakhir, konsekuensinya adalah dilaksanakan dalam perbuatannya [عمل بالأركان]. Maka seperti yang telah dikatakan, tak hanya sekedar mempercayai, namun butuh realisasi dalam tindakan nyata. Jihad, haji, sholat, puasa, merupakan sebagian dari realisasi nyata dari keimanan seseorang itu. Semakin baik amalan-amalan/perbuatannya, maka semakin menunjukkan baiknya kualitas iman seseorang. Karena tak ada kekuatan yang mampu mempertahankan amalan secara terus-menerus dan berkesinambungan selain kekuatan keimanan.
Keimanan yang baik akan menimbulkan keistiqamahan. Istiqamah berarti ia mampu menjaga apa yang diperbuatnya, terus saja ia kerjakan tanpa tergoyah oleh godaan apapun. Ia tak peduli orang-orang di sekitarnya menghinanya seperti apapun, yang ia pikir hanya satu, berbuat baik sebisa mungkin karena Allah.
Jika seseorang telah berhasil istiqamah atas apa yang ia kejakan –maksudnya istiqamah dalam kebaikan, maka ia akan memiliki tiga sifat ini, yaitu keberanian [الشّجاعة], ketenangan [الإطمئنان], dan optimis [التّفائل]. Ketiga sifat ini tentu merupakan efek panjang dari keimanan yang membuahkan keistiqamahan. Seseorang yang memiliki keistiqamahan yang kuat, tentu ia akan berani menghadapi walau rintangan begitu banyak menanti. Ia tak gentar bahkan mundur. Yang ia pikirkan hanya terus maju, karena ia menyadari bahwa setiap masalah pasti ada jalan keluarnya. Sehingga ia berani mengambil resiko menghadapinya. Begitu juga ketenangan, dalam menghadapinya tentunya ia akan merasa tenang, tidak panik, karena hatinya selalu tersambung dengan Sang Maha Pengatur Segala Urusan. Ia sangat yakin bahwa Allah pasti akan menolongnya. Maka ia tak pernah berfikir buruk terhadapNya. ia selalu optimis menatap takdir yang Allah tetukan untuknya. Sehingga dengan hal itu, ia akan selalu berusaha membersihkan hatinya dari sifat-sifat buruk yang Allah tak suka. Ia akan berusaha menjaga hatinya agar Allah selalu meridhainya. Maka dari hal itu, timbullah kebahagiaan. Maka sesungguhnya, kebahagiaan sejati bukanlah berasal dari luar diri kita, bukan dari harta kita, bukan dari jabatan kita, namun berasal dari keimanan kita kepada Allah yang melahirkan dorongan untuk terus memperbaiki diri.
Sebagai seorang Muslim yang memahami Islam, syahadat kita bukan hanya berarti “Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah”, namun menjadi “Aku bersaksi, aku bersumpah, dan aku berjanji, bahwa tiada Tuhan yang mendominasi hidupku kecuali Allah”, sebagai wujud pemahaman yang baik dari syahadat itu. Meskipun begitu, jangan samapai mengganti lafadznya, karena itu sudah ditetapkan Allah dan RasulNya sebagai lafadz syahadat, hanya saja pemahaman kita yang lebih dalam dalam memaknai kalimat itu.
أشهدأن لا إله إلاّالله وأشهدأنّ محمّد عبده ورسوله

0 komentar :

Posting Komentar

Cancel Reply