Islam dan Harokah Dakwah

            Harokah, dalam kamus Lisan al ‘Arob berasal dari kata haruka, yang secara bahasa berarti gerakan. Dalam bahasa umum, harokah bermakna perpindahan tubuh dari satu tempat tertentu ke tempat tertentu lainnya (intiqol al jismi min makan ila makanin akhor). Hal tersebut menunjukkan adanya gerak dan langkah atau ada upaya dari satu posisi ke posisi lainnya. Sedangkan dakwah dapat diartikan secara singkat sebagai aktivitas menyeru, mengajak kembali kepada Islam. Dari pengertian tersebut dapat difahami bahwa harokah dakwah adalah suatu upaya atau langkah yang terprogram dalam sebuah wadah yang terstruktur dalam usahanya menyerukan Islam dan syariatnya dan mengajak masyarakat kembali kepada kehidupan yang Islami. Sayyid Qutb ketika ditanya tentang perbedaan jamaah Ikhwanul Muslimin dengan jamaah lainnya, beliau menjawab, “Yang unik dari Ikhwan ini adalah mereka memiliki suatu program yang jelas dalam merealisasikan Islam. Karena itulah dalam pandangan saya mereka lebih saya dahulukan daripada mereka yang tidak memiliki program. Perbedaan disini bukanlah secara personalitas, melainkan dari sisi bahwa jamaah Ikhwan memiliki program dan setiap individu di dalamnya terikat dengan program dalam upaya merealisasikan Islam. Inilah sisi keunikannya.”. Dari penjelasan tersebut, dapat kita ambil tiga poin, bahwa harokah dakwah itu mempunyai langkah-langkah yang terprogram (langkah konkret) dan berada dalam sebuah wadah terstruktur (jamaah), serta memiliki sebuah pemikiran sebagai dasar pergerakannya.
            Harokah dakwah ada bermacam-macam, yang kesemua dari mereka memiliki tujuan dan corak perjuangan khas. Misalkan saja kita lihat hizbut tahrir. Sebentar saja kita melihat atau membaca riwayat mereka, kita akan tahu bahwa tujuan mereka adalah mendirikan kembali kekhilafahan. Hal ini maklum, dan memang sudah sewajarnya bahwa setiap harokah dakwah itu berorientasi utama pada kepemimpinan Islam kembali. Meski begitu, kita akan melihat banyak fenomena yang menjelaskan bahwa tiap-tiap dari harokah tersebut akan memiliki cara pandang berbeda-beda dalam upayanya merealisasikan tujuan tersebut. Seperti dikatakan tadi, ketika kita membaca sejarah dan semua yang berhubungan dengan hizbut tahrir, kita akan mengetahui bahwa tujuan mereka diwujudkan dengan upaya diluar parlemen. Artinya, bahwa mereka berjuang menegakkan khilafah dengan cara mengingkari demokrasi –yang diterapkan di banyak negara– dan berjuang diluar koridor tersebut. Mereka melakukan berbagai upaya untuk mengajak ummat kembali kepada kekhilafahan tanpa harus berdamai dengan demokrasi, karena dalam pandangan mereka, demokrasi adalah produk hukum buatan manusia, dan hal itu bertenangan dengan Islam yang hukumnya bersumber dari Allah. Adapula harokah dakwah yang lebih moderat, misalnya Ikhwanul Muslimin, yang berjuang menegakkan kembali Islam dengan jalan parlemen. Meski begitu, bukan berarti jalan jihad ditinggalkan. Hal ini dibuktikan dengan adanya Hamas yang menjadi sayap militer Ikhwanul Muslimin. Ikhwanul Muslimin berjuang –seperti yang telah dikatakan– melalui jalan parlemen. Ini artinya mereka bergerak dalam sebuah program besar dengan sistematika gerakan yang terstruktur. Mereka akan memasukkan satu persatu kader mereka ke dalam parlemen sehingga mereka mampu mempengaruhi kebijakan parlemen yang pada akhirnya akan mereka arahkan kepada hal-hal yang Islami. Imam Syahid Hasan Al Banna –pendiri Ikhwanul Muslimin dalam bukunya Risalah Pergerakan dalam bab Muktamar Keenam dalam subbab Ikhwan dan politik menuliskan, “Kami bukan politikus yang mendukung satu partai dan menentang partai yang lain. Tidak ada seorang pun yang dapat membuktikan bahwa kami terlibat dalam aktivitas politik seperti itu. Adapun kalau kami dikatakan sebagai politikus, dalam arti kami memiliki perhatian terhadap ummat kita, kami yakin bahwa kekuatan tanfidziyah termasuk bagian ajaran dan hukum Islam. Kami meyakini bahwa kebebasan politik dan kehormatan nasionalisme adalah bagian dari rukun dan kewajiban Islam. Atau karena kami berjuang untuk menyempurnakan kemerdekaan dan memperbaiki badan pemerintahan, maka memang demikianlah kami. Kami kira kami tidak mendatangkan hal yang baru. Kesemuanya itu adalah hal-hal yang biasa dipahami oleh setiap Muslim yang mempelajari Islam dengan benar. Apa yang kami lakukan tidak lain dari merealisasikan tujuan-tujuan diatas dan kami tidak keluar dari dakwah Islam sama sekali, karena Islam tidak hanya menyuruh ummatnya untuk berjihad dan berjuang.”. Selain dua yang sudah disebut diatas, ada juga harokah lain semisal Muhammadiyyah dan Nahdatul. Kedua harokah tersebut teramasuk dua terbesar di Indonesia.
            Yang menjadi masalah bukanlah seberapa banyak jumlah harokah itu, namun ternyata tidak jarang bahwa diantara harokah yang ada saling tidak bersinergi bahkan berusaha untuk menjatuhkan dengan tuduhan-tuduhan. Dalam Aids Haraki, Fathi Yakan bertutur, ta’addudiyyah (berbilangnya harokah, tandzim, jamaah, dan firqoh Islamiyah) yang ada kini tidak melahirkan kecuali semakin memuncaknya permusuhan. Ia menghembuskan nafas hasad dan dengki kepada sesama, yang pada akhirnya mengakibatkan saling bertengkar dan saling intai kelemahan, yang seharusnya saling memahami dan saling menutupi kesalahan. Apa yang dikatakan  Fathi Yakan ini ada benarnya. Realitanya, antarharokah kita sering melihat adanya perselisihan jika terjadi perbedaan. Hal ini tampak, misal pada kelompok harokah kampus, instansi, maupun tempat lainnya yang berusaha menonjolkan diri dan mendominasi. Adapula upaya-upaya untuk saling menjatuhkan ‘lawan’ dan mengangkat golongannya dengan pencitraan-pencitraan. Hal-hal semacam ini pada akhirnya hanya akan memprogram fikiran bahwa kita benar dan mereka salah serta membentuk kesadaran bahwa mereka adalah lawan atau musuh kita. Hal seperti inilah yang dikhawatirkan. Seharusnya mereka yang mengaku aktivis dakwah memahami bahwa fenomena ini tidak menjadikan manfaat kecuali bagi para musuh Islam sendiri. Mereka akan lebih mudah menghancurkan Islam karena rapuhnya tiang-tiang penyangga agama itu sendiri, yaitu para aktivis dakwah. Oleh karena itu, patutlah kita mempertimbangkan dan merenungkan kembali apa yang dikatakan Yusuf Qordhowi dalam bukunya Fiqhul Ikhtilaf bahwa tidaklah masalah adanya beberapa kelompok dan jamaah yang berjuang untuk menegakkan Islam, apabila hal itu merupakan ta’addud tanawwu’ (perbedaan yang bersifat variatif) bukan ta’addud ta’arudh (perbedaan yang bersifat kontradiktif). Syarat lainnya, antara semua pihak adanya hubungan dan koordinasi sehingga saling menyempurnakan dan menguatkan. Dalam menghadapi masalah-masalah asasi dan keprihatinan bersama harus mencerminkan satu barisan, laksana bangunan yang kokoh. Apalagi Allah sudah memperingatkan kita agar jangan bercerai berai dalam kalimatNya yang indah di surah Ali Imron : 103, ”Berpegangteguhlah kamu semua pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai…”. Maka dari itu, kita seharusnya sadar, bahwa upaya penegakan Islam kembali ini takkan berhasil hanya oleh segolongan harokah atau jamaah saja, namun butuh dukungan dari seluruh elemen harokah atau jamaah dengan upaya sungguh-sungguh tanpa ada sikap saling tuduh dan tikam. Dengan begitu, perjuangan Islam ini akan lebih terarah dan kokoh. Adapun perbedaan dari setiap harokah bukanlah sebagai pemicu perselisihan, namun sebagai sesuatu yang dapat dimanfaatkan untuk kemajuan Islam, selagi perbedaan itu tidak menyinggung aqidah. Sedangkan bagi kita pribadi, alangkah baiknya jika kita bergabung dalam sebuah harokah, karena dengan begitu, langkah-langkah perjuangan kita akan terprogram dengan lebih baik dan mendapat dukungan lebih besar ketimbang ketika kita berjalan sendiri. Seperti kata pepatah, bahwa sebatang lidi akan mudah dipatahkan, namun sekumpulan batang lidi lebih sulit bahkan tak bisa dipatahkan karena antara mereka saling mendukung untuk mengokohkan.






[Mahmud Nur Kholis]

0 komentar :

Posting Komentar

Cancel Reply