Dualisme dalam Polemik Kasus Ahok

Kasus Ahok rupanya menimbulkan polemik berkepanjangan di kalangan masyarakat, terutama umat Islam. Meski telah meminta maaf, namun rupanya kaum Muslim lebih menghendaki adanya proses hukum yang jelas dan tegas dalam menyelesaikan kasus ini. Hal ini wajar terjadi, mengingat Ahok adalah tokoh publik yang setiap ucapan dan tingkah lakunya akan disorot media dan terpublikasi, sehingga setiap ucapan dan tingkah lakunya merupakan representasi atau gambaran tentang sikapnya dalam memimpin. Maka ketika dia berbicara seperti itu, dia sebenarnya telah melakukan dua kesalahan. Yang pertama adalah, bahwa dia menuduh para ulama atau kiai yang mengajarkan Al Quran telah membohongi umat dengan surat Al Ma’idah : 51.

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan orang Yahudi dan Nashrani sebagai teman setia(mu); Mereka satu sama lain saling melindungi. Barangsiapa diantara kamu yang menjadikan mereka teman setia, maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka. Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang dzalim.”

Makna kata auliya’ dalam surat tersebut adalah teman setia. Di ayat lain auliya’ diartikan sebagai wali atau pemimpin. Meski terlihat berbeda arti, namun masih tetap satu bahasan. Orang Yahudi dan Nashrani tidak boleh dijadikan orang yang dapat mempengaruhi kita. Yahudi dan Nashrani tidak akan pernah bisa berdamai antara mereka, namun ketika berhadapan dengan kaum Muslim, mereka sanggup bekerja sama. Jika dijadikan teman setia saja tidak boleh, apalagi dijadikan pemimpin. Dan inilah yang disinggung Ahok. Saya yakin kata-katanya saat itu berkaitan dengan Pilkada DKI Jakarta, karena sebagaimana kita tahu, isu SARA merupakan bumbu yang gurih yang ditebarkan di saat-saat seperti itu. Kesalahan yang kedua, bahwa dia berbicara melewati batas. Bukan ranah dia untuk membicarakan isi kitab suci agama lain tanpa pengetahuan, bahkan dengan nada nyinyir dan mengejek. Karena itu, apa yang dilakukan Ahok merupakan tindakan yang disebut Religion Blasphemy, penistaan agama.

Indonesia adalah negara hukum. Maka setiap tindak kesalahan yang berkaitan dengan orang lain akan ditindak sesuai hukum. FSLDK Indonesia dalam pernyataan sikapnya pada poin 2 menyebutkan bahwa Ahok telah melanggar UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, serta KUHP 156a tentang penistaan agama. Fadli Zon dalam salah satu sesi ILC di TVOne pada 11 Oktober 2016 pernah mengatakan mengenai yurisprudensi kasus serupa. Dia mengatakan bahwa kasus mengenai penistaan agama ini pernah juga terjadi di Bali, dimana seorang wanita merendahkan berkaitan dengan peribadatan orang Bali, sehingga dia dijatuhi hukuman penjara oleh otoritas wilayah setempat. Bahkan tidak hanya di Indonesia, kasus-kasus mengenai blasphemy ini telah banyak dilakukan dari dulu hingga sekarang. Kasus Charlie Hebdo di Perancis adalah salah satu yang pada akhirnya juga mendapat kecaman keras dari dunia Muslim internasional. Dalam buku Misykat karangan Hamid Fahmy Zarkasyi, pimpinan Pondok Pesantren Modern Gontor, dalam salah satu bab tentang Blasphemy, beliau lebih detil lagi memberikan contoh-contoh kasus penistaan agama yang berujung kepada hukuman pelaku penistaan. Maka tidak heran jika kata-kata Ahok memicu kecaman dan reaksi keras dari umat Islam Indonesia hingga berbagai aksi tuntutan penegakan hukum mengenai kasus ini digelar di berbagai kota dan oleh berbagai ormas Islam untuk menuntut diprosesnya kasus ini dengan jelas dan tegas. Karena, ketika hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya, apalagi terhadap pejabat publik, atau yang orang sering katakan sebagai hukum yang tumpul ke atas, maka akan terjadi chaos dimana masyarakat sendiri yang akan menjatuhi hukuman kepada para pelaku kejahatan. Dan inilah yang lebih berbahaya, karena masyarakat akan main hakim sendiri, sehingga batas hukumannya tidak jelas.

Yang menarik disini adalah, umat Islam sendiri sebenarnya terbagi menjadi dua –atau mungkin– tiga kubu. Kubu terakhir tidak terlalu penting karena mereka adalah kelompok orang-orang apatis yang tidak peduli dengan persoalan ini. Dua kelompok pertama, yaitu mereka yang mendukung Ahok dengan dalih sikap toleran dan humanis, dan kelompok kedua adalah yang mengecam Ahok dan meminta supremasi hukum. Perkara permintaan maaf Ahok adalah hal lain lagi. Dan ini tidak bisa dibawa-bawa ke dalam penegakan hukum. Aisyah yang merupakan anak seorang Nabi agung, jika ketahuan mencuri saja akan tetap beliau –Rasulullah– hukum potong tangan. Muhammad Al Fatih yang seorang sultan dinasti Utsmani yang telah menakhlukkan berbagai negeri, ketika terbukti melakukan kesalahan telah memotong tangan seorang arsitek Roma karena kemarahannya, tetap diproses hukum dan dijatuhi hukuman qishash oleh pengadilan. Sehingga, apa yang dilakukan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan melaporkan kasus ini ke pengadilan adalah tidak salah.

Seperti yang dikatakan di atas, umat Muslim terbagi menjadi dua kelompok. Namun yang ingin saya soroti adalah kelompok pro Ahok. Disini, mereka para pendukung Ahok adalah orang-orang yang telah melakukan dualisme. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi Lux, Dualisme adalah n Fil ajaran yang berdasar dua asas yang bertentangan; sifat mendua; cara yang berdasar dua hal yang bertentangan. Sedangkan dalam Kamus KBBI Offline 1.5.1, Dualisme adalah Fis paham bahwa dalam kehidupan ini ada dua prinsip yang saling bertentangan (seperti ada kebaikan ada pula kejahatan, ada terang ada gelap); keadaan bermuka dua, yaitu satu sama lain saling bertentangan atau tidak sejalan. Dari dua definisi di atas, ada satu kesamaan arti, yaitu dualisme merupakan dua hal yang diametral. Inilah yang terjadi pada para pendukung Ahok. Di satu sisi, Ahok merupakan sosok yang tegas, keras, serta sering melontarkan ujaran-ujaran sensasional yang tidak patut diucapkan seorang pejabat publik, apalagi pejabat publik yang berada di daerah sentral kekuasaan, yaitu Jakarta. Namun di sisi lain, mereka mengatakan bahwa Jakarta membutuhkan sosok pemimpin yang out of the box seperti Ahok. Disini mereka mencampuradukkan antara sikap ketegasan seorang pemimpin dengan nilai moralitas yang kurang. Tidak mengapa nilai moralnya tidak bagus, asalkan dia tegas dan mampu mengatasi persoalan di Jakarta. Ini seperti perumpamaan tidak mengapa seseorang mencuri atau korupsi asal hasil curian atau korupsinya dibagi-bagikan untuk kaum miskin. Atau tidak mengapa presiden kita seorang preman, asal negara kita aman. Yakin aman?

Inilah masalah yang menjangkiti manusia modern saat ini. Dikotomis nilai-nilai dan dualisme menjadi hal yang sering terjadi. Pada akhirnya, dualisme menyebabkan kerancuan berpikir. Dalam filsafat ilmu, dualisme merujuk kepada dikotomi subjek-objek. Maka kebenaran pun menjadi subjektif dan objektif. Jika memasuki ranah agama, maka akan menjadi sekularistik. Tak masalah memilih pemimpin non muslim, asal hatinya baik, kata seorang dualis. Maka, bagi seorang dualis, landasan kebenaran telah kabur. Sedang kebenarannya menjadi relatif. Yang dianggap benar olehnya bisa jadi sebenarnya adalah salah. Karena mereka menggabungkan antara sesuatu yang kontradiktif kemudian membuat istilah-istilah baru yang aneh, seperti koruptor yang dermawan, pencuri yang santun, pelacur yang bermoral, dan sebagainya. Padahal jika dilihat seksama, istilah-istilah ini kacau. Bagaimana mungkin seorang pelacur itu bermoral sedangkan aktivitasnya adalah amoral?

Inilah gambaran sebagian cara pandang masyarakat kita saat ini. Bahwa nilai-nilai yang bersifat substansial telah bergeser menjadi material. Maka tidak heran jika dalam setiap pemilu, serangan fajar masih diminati masyarakat terutama kalangan bawah. Padahal nilai-nilai itulah yang seharusnya dipertahankan agar kondisi masyarakat kita tidak mengalami kerusakan. Sehingga, dalam kasus Ahok ini, istilah toleran telah berubah menjadi materi yang kemudian disalahgunakan. Seorang penghina kitab suci, dari agama manapun, dan oleh siapapun pelakunya, berhak mendapat kemarahan pemeluk agama yang mempercayai kitab sucinya. Maka sungguh aneh ketika kata toleran digunakan pada kasus seperti ini, karena pelaku itu jelas-jelas telah melakukan penistaan terhadap kitab suci. Sedang kitab suci merupakan bagian penting yang tak bisa dpisah dari agama, sehingga menghina kitab suci, berarti menghina agama. Dan menghina agama, otomatis menghina pemeluknya juga. Lagipula, kita sebagai umat Islam memang harus cemburu dan berusaha membela ketika agamanya dilecehkan kan? Karena itu adalah bukti kita masih memiliki keimanan. Sehingga jangan sampai pemikiran-pemikiran penganut dualisme meracuni cara berpikir kita hingga kita jadi salah menempatkan diri, terbawa perasaan, dan tidak rasional dalam mengambil keputusan. Islam memang agama yang mengajarkan kedamaian, tapi ketika kedamaian itu diusik, penganutnya akan bereaksi. Abu Bakar saja ketika menjadi khalifah, mengetahui ada yang tidak membayar zakat, dia memerangi mereka. Maka apalagi ketika ada yang menghina Al Quran, sudah barang tentu akan diperangi juga. Sehingga dualisme tidak mendapat tempat disini.

1 komentar :

Dear Bang Mahmud Nurcholis,
Saya jujur aja banyak tergelitik dan sedikit terusik dengan tulisan Anda... saya bisa aja pro dgn Anda, tapi dlm banyak hal ternyata saya juga kontra sekaligus... apakah ini tandanya saya juga masuk golongan dualisme itu ya...?
Saya belum begitu paham soal agama seperti Anda, tapi saya muslim kok... tapi saya melihat ada 2 statement dalam Islam yg menurut saya perlu dipahami dan dihayati secara cerdas namun juga gunakan hati :
1. Jangan jadikan orang Yahudi dan Nasrani teman setiamu apalagi pemimpinmu (kira2 gtulah penafsiran saya)
2.Tuntutlah ilmu sampai ke negeri China!
Nah jika 2 statement itu benar, boleh donk kalo qta kaitkan dgn kasus Ahok?
Kenapa gtu?
1. Karena Ahok jelas Nasrani (walaupun bukan Yahudi)
2. Karena Ahok Pemimpin sekaligus Public Figure
3. Karena Ahok sekaligus orang China (walaupun keturunan)
4. Saya bukan Teman Ahok tapi saya yakin 1000% di kelompok tsb pasti banyak orang muslim, pasti juga ada orang China, dan yang perlu Anda hargai adalah : mereka semua manusia yg sengaja hadir di dunia ini karena ciptaan-NYA. Jika mereka Non - Muslim, minimal sebangsa dan setanah air dengan Anda : Indonesia... mudah2an Anda setuju ya? Pertanyaan saya sederhana saja : apakah salah jika akhirnya Teman Ahok atau pendukung lainnya jadi terpecah belah krn ada saudara2 FPI yg bertentangan kepentingan?

Ingat mas, ini mungkin sekedar wacana atau omong kosong, tapi ini penting bagi saya untuk mengambil sikap! Saya muslim yg Pro Ahok krn saya Islam Indonesia, bukan orang China, bukan orang Yahudi dan juga bukan orang Arab!

Kalo boleh qta diskusi panjang lebar via WA 081243715558
Semoga diskusi ini selain bisa menambah silaturahmi, tapi juga sekaligus bisa bermanfaat utk membangun karakter manusia Indonesia di masa depan...
Saya tunggu ya (Surya)

Posting Komentar

Cancel Reply