Surga di Ujung Batas Borneo (1) : Melenggang ke Batas Negeri

Senja kami mengudara di langit lautan jawa. Di sebalik awan-awan putih berkilauan nampak cahaya mentari yang kian cemerlang menyinarkan kilau keemasan senja. Sekitaran satu jam kami di angkasa sebelum pada akhirnya ketika mentari menelusuk di balik batas cakrawala, roda-roda NAM Air telah bergulir di hamparan runway panjang bandar udara Supadio Pontianak.

Malam pukul sembilan kami dijemput bus Air Sambas untuk diantar menuju tujuan. Pukul tiga dini hari, sampailah kami di daerah Sambas. Kami sejenak beristirahat di sebuah masjid hingga pagi menjelang. Setelah sholat Shubuh, bersih-bersih badan, dan sarapan, kami melanjutkan perjalanan.

Dua sungai besar kami lalui dengan kapal feri. Satu di Sekura, satu lagi di Sumpit menuju Paloh. Kata bapak asuhku, sungai di Sumpit masih ada buayanya.

Hari itu hari Jumat dan menjelang sholat Jumat tatkala jalan kami terhambat sebab ada truk terperosok jalan berlumpur. Roda yang selip tenggelam dalam lumpur tak memungkinkan truk sendirian lolos darinya. Butuh bantuan tarikan dari kendaraan besar lain. Saat beberapa warga maupun sopir lain berusaha mengeluarkan truk nahas dari jebakan jalan, kami mengikut sholat Jumat yang kebetulan diadakan di masjid tak jauh dari kami berhenti.

Selepasnya, sekitar jam satu kami melanjutkan perjalanan. Menjelang sore, kami hampir sampai di ekor Borneo. Penghujung jalan sebelum kami tiba di desa adalah "jalan jahat" yang banyak melelahkan sopir sebab harus bermanuver kesana-sini menghindari lumpur-lumpur jalan yang siap menjebak roda kendaraan di tempat. Belum lagi saat itu selepas hujan, sehingga banyak genangan bercampur tanah lumpur di sekujur badan jalan. Berulang kali kami merasakan bus seperti akan tergelincir sebab licinnya jalan.

Pukul enam sore, kami hampir tiba di desa. Hanya berjarak sekitar 6 km saat kami dihadang jalan putus lantaran jembatan rusak. Sungai yang melintangi jalan jadi hambatan sebab bus dan truk yang mengawal kami jadi kesulitan melewatinya. Sungai itu sedalam lutut agak ke atas sedikit. Kata sopir bahkan, semalamnya ketinggian air mencapai setinggi perut hampir sedada.

Truk pengawal kami mencoba menerobos hadangan sungai. Namun sialnya roda truk malah terjebak pasir yang makin memperdalam roda amblas saat digas. Berulangkali dicoba didorong, digas, maju, mundur, ditarik bus kebelakang, namun tak kunjung juga truk lepas dari situ. Kemudian karena terlampau lama, bus mencoba pula menerjang kedalaman sungai. Meski sesungguhnya lebar sungai hanya berkisar  2,5 hingga 3 meter, namun dasar sungai dengan pasir yang lunak itu yang bermasalah. Sebab saat aku berjalan melewatinya, sempat pula kakiku terperosok dalam ketika berada di tengah-tengah sungai. Maka bus pun mencoba peruntungannya melintasi sungai, mengingat pula telah hampir dua jam kami stagnan berada di situ. Namun sepandai-pandai tupai melompat, suatu saat akan jatuh juga. Selihai-lihai bang Adam mengendalikan kemudi bus, saat melintasi sungai itu terperosok juga bus yang kami naiki. Beberapa akhwat beserta barang-barang kami terjebak dalam bus yang pintu belakangnya tergenang air. Maka orang-orang di sekitar meminta bantuan kepada truk yang melintas, meski gagal. Kemudian kepada truk semen milik Hutama Karya yang sedianya menggarap pembangunan jembatan di lokasi itu. Dengan sekali gas, truk berplat B itu menarik bus dan kemudian truk pengawal kami keluar dari kubangan lumpur sungai. Sekitar pukul delapan malam kami lanjutkan kembali perjalanan ditemani rintik hujan. Tak lama, akhirnya kami tiba di balai desa dengan disambut sekretaris desa dan orang tua asuh kami yang telah tak sabar menunggu. Setelahnya, kami menuju rumah masing-masing mengendarai motor.

Malam berlanjut dengan hujan hingga tiga hari ke depannya. Hanya sesekali hujan berhenti sebelum akhirnya, setelah lima hari hujan pun mereda. Saat reda, langit biru cerah mulai nampak, dan surga yang tersembunyi itu pun kian tertampak. Hamparan pasir kuning kecoklatan, deburan ombak yang terpecah oleh karang, pepohonan kelapa tinggi menjulang, ikan-ikan bersambutan di laut, bukit kokoh berdiri sebagai latar jalan, dan beragam keindahan serta kekayaan alam lainnya menjadi suguhan utama di pagi selepas hujan. Inilah Temajuk, surga di ekor Kalimantan.

2 komentar :

Anonim mengatakan... 21 Januari 2018 pukul 09.46
Dear dairy...

Posting Komentar

Cancel Reply