Surga di Ujung Batas Borneo (2) : Definisi Merdeka Sejati

Kiranya lagu Koes Ploes tepat menggambarkan keindahan dan kekayaan alam negeri Indonesia. Tak terkecuali pulau Kalimantan, dan khususnya lagi desa Temajuk ini.

Temajuk terdiri dari tiga dusun, yaitu Maludin, Camar Bulan, dan Sempadan. Aku sendiri, tinggal di dusun Maludin yang dekat dengan pantai. Bisa pula dikatakan bahwa teras rumah kami adalah pantai. Sehingga jika ingin melepas penat, tinggal main saja ke pantai depan rumah.

Selain pantai, landscape dari Temajuk adalah sungai dan gunung. Ada sungai besar yang memutus akses dari dan ke dusun Maludin di dekat pantai dengan jalan menuju dusun lain, sehingga dibangunlah jembatan kayu melintasi hutan bakau di tepi sungai. Hutan bakau ini pula yang jadi salah satu spot foto menarik di pagi atau siang hari yang cerah saat sinar mentari menyirami area bakau. Hanya sayang, disana banyak sekali nyamuk. Besar pula.

Ada pula beberapa gunung di Temajuk. Gunung paling terkenal adalah gunung Tanjung Datuk di belakang rumah kami. Gunung ini membentang hingga ke ujung ekor Kalimantan di tanjung Datuk dan menjadi batas antara Indonesia dengan Malaysia. Di sana pula terdapat patok A1 yang menjadi patok penanda perbatasan pertama di Indonesia. Lalu ada pula gunung Pangi. Dikatakan gunung pun, sejatinya adalah bukit sebab tingginya tak lebih dari 1000 m. Sebabnya di Kalimantan tak ada dataran yang benar-benar sesuai dengan kriteria gunung.

Menariknya, meski dekat laut, air bersih di desa ini termasuk mudah didapat. Bahkan rumah kami yang berjarak hanya beberapa ratus meter dari bibir pantai pun tetap memiliki air bersih cukup untuk mandi, mencuci, dan minum. Hal ini selain karena hujan yang kerap turun di bulan awal-awal tahun, juga sebab di gunung seperti Tanjung Datuk memiliki sumber air bersih yang mengalir menganak sungai. Komandan TNI-AD di pos Temajuk, letnan satu A. A. Siregar pernah menceritakan bahwa beliau mengambil sampel air di mata air gunung Tanjung Datuk, kemudian dia simpan selama dua tiga hari pun tak mengalami perubahan warna, bau, maupun rasa. Kata beliau bahkan airnya lebih bersih dari air kemasan. Yang lebih mengejutkannya lagi, air dari mata air di gunung Tanjung Datuk ini bisa digunakan untuk infus.

Malam hari pak Rinto pernah bercerita menggambarkan kekayaan tanah ini. Dia, dalam membangun rumah menggunakan bahan baku di sekitar lingkungannya. Batu bata dia buatkan dari pasir pantai. Kayu dia potongkan dari pohon-pohon di sekitar. Batu untuk pondasi dia ambilkan dari batu-batu sekitar. Tanah timbunan dia galikan dari tanah kebun di sekeliling. Hanya semen dan seng sebagai atap yang dia beli untuk melengkapi rumahnya.

Pun demikian dengan makanan. Sumber makanan di Temajuk sesungguhnya sangat melimpah. Di darat ada, di laut pun ada. Di darat, sayur mayur tinggal petik di kebun. Cabai, lada, maupun sayur lain seperti keladi telah tersedia. Buah seperti kelapa, mangga, maupun durian pun sama berbuahnya. Pernah di belakang rumah tinggalku, sepohon durian mampu berbuah hingga ribuan di musimnya. Dalam satu dahan pernah ada sekitar 400 hingga 500 buah sebelum akhirnya patah karena tak kuat menahan berat buah-buahnya. Belum lagi pohon kelapa yang tersebar di sepanjang jalan dan kebun. Aku pernah mencoba meminum air kelapa langsung dari buahnya disini, namun tak sanggup kuhabiskan sebab banyaknya.

Selain di kebun, di sungai pun makanan tersedia. Sebab sungai-sungai disini terkandung banyak ikan. Selain ikan, adapula kuyung atau keong yang nikmat untuk disantap. Jika sungai pun belum puas, masih ada laut di sebelahnya. Hamparan laut Natuna yang luas menjadi salah satu lahan mata pencaharian warga Temajuk. Jika musim landas telah usai, di bulan-bulan ketiga empat dan seterusnya, banyak yang kemudian melaut menjaring ikan. Ikan-ikan di lautan pun berlimpah siap dipanen satu persatu. Pernah suatu ketika seorang nelayan mampu menjaring ikan ratusan kg dalam semalam, hingga jika dijual, omzetnya mencapai jutaan rupiah. Bayangkan saja jika selama sebulan pendapatannya sama, akan jadi ratusan juta bahkan menyentuh nilai milyaran. Bahkan jika tak mampu melaut pun, seperti di bulan-bulan satu dua ini, cukup dengan menaruh pukat di terumbu karang dekat pantai di malam hari, paginya terdapat beberapa ikan yang telah terjaring. Suatu pagi aku ikut bapak melihat pukat yang semalam dipasang. Disana didapati beberapa hewan terjaring, seperti ikan bawal, ikan buntal, dan kepiting. Sayangnya ikan buntal sulit untuk dimakan sebab mengandung racun. Adapula nelayan saat melaut pernah mendapatkan hiu seberat 500 kg.

Selain ikan, di musimnya, terdapat pula ubur-ubur dan lobster. Ubur-ubur dipanen biasanya pada bulan-bulan tiga hingga enam. Sedangkan lobster pada bulan keenam. Untuk ubur-ubur, bisa pula dijadikan makanan lain, yaitu pecel ubur-ubur. Sayangnya aku datang di saat musim landas, ketika hujan turun deras-derasnya dan intens, sehingga melaut pun tak bisa sebab ombak ganas, berkebun pun tak sanggup pula sebab hujan sering turun.

Dengan segala kekayaan alam yang terhampar di Temajuk ini, sesungguhnya cerita kekurangan pangan disini tak perlu terjadi. Sebab makanan apapun tersedia. Bahkan jika doyan, tupai pun bisa juga dimakan. Hanya padi yang tak ada di Temajuk, sebab tak ada ladang padi disini. Meski demikian, desa sebelah, yaitu desa Cermai, memiliki ladang padi yang luas membentang. Sehingga padi pun bisa diambilkan dari desa sebelah. Jika pun Cermai sedang tak ada stok, maka ke Malaysia pun bisa dicari. Beberapa warga terkadang membeli bahan pangan seperti beras, telur, dan gula di Malaysia, sebab harganya lebih murah. Namun demikian, tetap saja dengan segala hal yang ada disini, warga Temajuk tetap bersyukur atas karunia yang dilimpahkan Allah kepada alam Temajuk secara gratis. Dan inilah definisi merdeka sesungguhnya, yaitu ketika kebutuhan dasar manusia terpenuhi secara mudah. Dan di Temajuk, Allah telah menyediakan alam yang kaya untuk manusia secara cuma-cuma. Maka syukuri atas nikmat merdeka dan berdaulat atas tanah karuniaNya.

0 komentar :

Posting Komentar

Cancel Reply