Perbedaan

Seringkali saya lihat, terutama di sosmed, pada sebuah perbedaan, yang dimunculkan pertama kali adalah pertikaian. Oleh kalangan berpemikiran pendek, menyulut perselisihan terhadap yang lain adalah hal yang menyenangkan, mungkin. Padahal hal itu tidak mencerminkan kedewasaan, pun kecerdasan akal.

Sering sekali saya lihat pada komentar-komentar si sosial media semisal Instagram, kalimat-kalimat umpatan justru lebih fasih terlantun daripada argumen-argumen cerdas yang berdasar. Sehingga, iklim diskusi ataupun debat secara ilmiah jarang sekali ditemukan. Agaknya kita perlu untuk belajar bagaimana mengedepankan akal ketimbang nafsu.

Meski saya bilang begini, tidak semua komentar di sosmed senada. Ada pula yang cerdas berargumen atau sabar tanpa mengumpat. Ada.

Mari belajar menghargai perbedaan bukan dengan celaan. Selama perbedaan itu bukanlah hal yang menyimpang dan sanggup dipertanggungjawabkan.

Suatu Maghrib saya datang terlambat ke masjid. Tetangga saya yang juga ketua RT, yang tiba sesaat sebelum saya pun juga terlambat tentunya. Kami masih mendapati ruku' pada rakaat pertama. Kemudian usai salam, saya pun menyudahi sholat, sedangkan pak ketua RT ini menambah satu rakaat lagi. Diketahui, bapak ini mengikuti pengajian di sebuah pengajian yang berbasis di Solo (meski jamaahnya telah tersebar di seluruh Indonesia). Saya pernah menyimak kajian pada pengajian beliau, pada bahasan tentang sholat, dikatakan al ustadz yang menjadi ketua umum sekaligus penceramah rutin itu, bahwa sholat tidak sah tanpa Al Fatihah berdasarkan hadits. Dengan dalil inilah, beliau berargumen bahwa setiap sholat itu baru sah bila dibacakan Al Fatihah di dalamnya. Sehingga tatkala makmum tak menjumpai Al Fatihah, semisal mendapati sholat ketika imam telah ruku', dia harus menambah rakaat lagi selepas salam. Sedangkan saya, berpendapat dengan jumhur ulama yang menyatakan bahwa mendapati ruku' telah dihitung sebagai satu rakaat. Pun saya mendasarkannya pada kisah Abu Bakar yang terlambat sholat Shubuh lantaran di jalan beliau tak mau mendahului laki-laki tua yang berjalan di depannya, sehingga malaikat Jibril turun di atas punggung Rasulullah yang sedang ruku' hingga Abu Bakar dapat menyusulnya saat ruku'. Dua perbedaan pendapat disini, tidak lantas meruncingkan perbedaannya. Justru saya tetap menghormati bapak ketua RT saya ini meski beda pendapat.

Kisah lain pula, semasa Imam Syafi'i hidup, beliau termasuk ulama yang menganggap qunut sebagai sunnah. Kemudian suatu ketika tatkala mengimami sholat Shubuh di Baghdad, Iraq, beliau tak melakukan qunut. Hal ini disebabkan karena beliau menghormati seorang ulama pendahulunya yang menganggap qunut bukan bagian dari sunnah Nabi, yaitu pendapat dari Imam Abu Hanifah. Demi menghormati beliau yang telah wafat ini, Imam Syafi'i tak melakukan qunut di Shubuh itu.

Masih banyak kisah lain mengenai bagaimana perbedaan pendapat tak selalu berujung ketegangan. Jika kita belajar kepada ulama-ulama kita terdahulu, baik ulama klasik maupun ulama kontemporer, baik yang berada di sekitaran jazirah Arab maupun di Nusantara Indonesia ini, kita akan mengetahui betapa mereka begitu menghargai perbedaan yang dilandasi keilmuan. Dari mereka kita akan belajar tentang adab yang begitu mulia dalam menyikapi perbedaan.

0 komentar :

Posting Komentar

Cancel Reply