Kebenaran Relatif


Beberapa waktu lalu saya sempat membaca sebuah buku berbentuk PDF tentang sebuah gugatan terhadap UU Penodaan Agama. Buku tersebut berisi tentang jawaban dari para penggugat yang terdiri dari 7 (tujuh) pemohon yang terdiri dari pemohon LSM Imparsial, Elsam, PBHI, Demos, Setara, Desantara, YLBHI, dan 4 (empat) pemohon perorangan yaitu Abdurahman Wahid (Gus Dur), Musdah Mulia, Dawam Rahardjo, dan Maman Imanul Haq yang diwakili oleh 56 advokat dan aktivis bantuan hukum yang tergabung dalam Tim Advokasi kebebasan Beragama (Islam versus Kebebasan/Liberalisme hal. 7). Dalam gugatannya, para pemohon memberikan beberapa dalil yang dijadikan dasar mereka untuk menggugat berupa dalil historis Islam, dalil filsafat, dan dalil hukum. Namun dari kesemua dalil tersebut dapat ditarik satu benang kesamaan yaitu semua akar persoalan ini sebenarnya berakar dari pandangan alam (worldview) sekular yang menepiskan nilai-nilai sakralitas dan keagamaan dalam kehidupan (hal. 18-19).
Namun yang saya garisbawahi disini adalah mengenai salah satu alasan dalam dalil filsafat, yaitu relativisme kebenaran, karena memang judulnya nyangkut itu, hehehe… . Dan karena ini baru tulisan pertama saya yang ber-genre seperti ini, maka saya tak berniat membahasnya secara dalam dan detail, bahkan berseri-seri. Saya hanya akan membahasnya sejauh pemahaman saya.
Relativisme kebenaran adalah sikap yang meragukan kebenaran. Bahwa kebenaran dipandang sebagai sesuatu yang tidak pasti, sehingga ukuran benar dan salah adalah tergantung dari sudut pandang yang melihat. Sebagai contoh, bisa jadi dalam sebuah masalah, bagi si A hal itu dikatakan benar, sedangkan bagi si B dikatakan salah. Padahal jika dilihat secara cermat, permasalahan tersebut adalah salah dilihat dari berbagai sudut pandang (hukum, agama, moral, dsb). Namun karena si A menggunakan pandangan relativisme, maka permasalahan itu dikatakan relatif kesalahannya sehingga bisa saja atau bahkan bernilai benar.
Yang lebih berbahaya lagi ketika hal ini dikaitkan dengan nilai, norma, maupun agama. Sehingga muncul berbagai kerancuan yang pada akhirnya menyebabkan timbulnya sikap sekuler. Hal ini merupakan akibat dari desakralisasi nilai-norma-agama yang kemudian dengan seenaknya dikritisi. Alih-alih dengan dalih bahwa hal itu adalah upaya untuk berpikir logis dan rasional, upaya pembaharuan pemikiran, atau semacamnya, namun sejatinya adalah upaya pengrusakan pemikiran.
Dalam agama Kristen terdapat 4 (empat) injil kanonis. Keempat injil ini adalah injil yang disepakati gereja hasil dari Konsili Nicea tahun 325. Namun ternyata, meski telah disepakati, hingga kini, revisi-revisi terhadap injil masih saja dilakukan. Hal ini terjadi karena tidak adanya pakem yang jelas mengenai batas-batas wilayah yang dianggap sakral. Wilayah yang seharusnya “disucikan” telah dimasuki “tangan-tangan jahil yang tak bertanggung jawab” yang mengutak-atik dasar ajaran agama. Bahkan di abad ke-15 terjadi perpecahan yang menyebabkan terbaginya Kristen menjadi dua, orthodoks dan protestan.
Kedua hal tersebut bisa terjadi lantaran adanya sikap kritis yang kebablasan. Seperti yang telah disebutkan, ketika agama di-desakralisasi, maka inilah yang terjadi. Kristen kini kehilangan kemurnian ajarannya. Jika memang memiliki ajaran yang ‘suci’, maka tentu hal tersebut tidak boleh terjadi karena dapat dikatakan bahwa itu adalah wilayah otoritas tuhan yang tak boleh diutak-atik sembarangan. Dan tentunya perpecahan takkan terjadi pula.
Kenapa saya katakan tentang Kristen adalah karena pada akhirnya Kristen ‘kehilangan kebenarannya’ yang menyebabkan terjadinya kerancuan-kerancuan sehingga muncul pembaruan-pembaruan yang justru merusak dari dalam. Itulah mengapa ketika kebenaran di-nisbikan dalam kaitannya dengan teologi, maka yang terjadi adalah penyelewengan kebenaran itu sendiri.
Mengutip sebuah paragraf dalam tulisan Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi dalam bukunya Misykat yang berjudul Kebenaran, “Semua adalah relatif” (All is relative) merupakan slogan generasi zaman postmodern di Barat, kata Michael Fackerell, seorang misionaris asal Amerika. Ia bagaikan firman tanpa tuhan, dan sabda tanpa Nabi. Menyerupai undang-undang, tapi tanpa penguasa. Ibarat sebuah ideologi, namun tanpa partai atau organisasi. Slogan itu memberikan gambaran atau iming-iming yang terlihat enak didengar dan sesuai keinginan duniawi manusia. Segala hal, baik-buruk, sopan-tak sopan, benar-salah, dosa-tak dosa, semua adalah relatif. Tergantung dari siapa yang menilai. Sehingga ukuran baik-buruk setiap orang tidaklah sama karena tak ada ukuran yang pasti.
Namun ungkapan “Semua adalah relatif” ini juga membingungkan. Di satu sisi dia mengklaim bahwa kebenaran yang absolut itu tak ada. Namun disisi lain ungkapan itu sendiri sebenarnya adalah sesuatu yang mutlak. Seperti ungkapan “semua adalah benar”, maka ungkapan “semua adalah salah” adalah benar juga menurut kacamata relativisme. Maka jika “semua adalah relatif”, “semua adalah mutlak” pun bisa saja benar karena pendapat itu sama-sama relatifnya.
Relativisme ini sendiri sebenarnya lahir dari kebencian orang-orang Barat kepada agama. Mereka benci kepada sesuatu yang multak dan mengikat. Kemudian kebencian ini terus diwariskan di kalangan mereka. Sehingga tak heran jika kemudian muncul sikap-sikap sekular, pluralis, liberal, dan isme-isme lainnya yang negatif seperti feminisme dan humanisme. Bahkan jangan heran pula ketika menemukan seseorang yang menjadi atheis karena bermula dari keyakinan relatifnya terhadap agama. Kemudian mempertanyakan ke-benaran dari agama, namun ujung-ujungnya menjadi tidak beragama.
Relatif artinya bebas. Maka tak heran relativisme ini melahirkan sekularisme. Ketika seseorang menganut sebuah agama, maka pada saat yang sama dia terikat oleh konsekuensi-konsekuensi dalam beragama. Orang-orang Barat sekuler tak menyukai keterikatan ini, maka dikeluarkanlah pandangan relativisme. Sehingga agama dipertanyakan, kebenarannya diragukan, nafsu diperturutkan. Keinginan mereka adalah kebebasan. Bebas dari ikatan-ikatan yang mengikat mereka dalam agama. Kemudian pemikiran-pemikiran irrasional yang terlihat seolah rasional digelontorkan. Maka tak mengherankan ketika Nietzsche berkata “Tuhan telah mati”. Baginya, tuhan adalah tirani jiwa. Beriman kepadanya artinya sanggup menerima perintah dan larangannya, dalam arti lain tidak bebas. Beriman berarti tidak bebas dan bebas berarti tidak beriman.
Kebenaran kemudian menjadi penyedap dalam makanan. Ia menjadi bayangan dalam terang. Sebuah ilusi verbal, kata Dr. Hamid, yang diterima masyarakat atau tidak beda dengan kebohongan yang disepakati. Etika harus diglobalkan agar tidak ada orang yang merasa paling baik. Baik-buruk tidak perlu berasal dari apa kata Tuhan, akal manusia boleh menentukan sendiri (Misykat hal. 31).
Karenanya, tidaklah mengherankan muncul ide “semua agama sama baiknya”, “semua agama tidak lebih benar dari agama lainnya”. Sebab kebenaran adalah relatif, yang absolut hanyalah Tuhan. Karena itu pula, paham pluralisme yang mengandung relativisme terbagi menjadi dua aliran besar, yaitu teologi global (global theology) atau teologi dunia (wolrd theology) dan kesatuan transenden agama-agama (transcendent unity of religions). Kedua aliran ini memiliki kesamaan pada ide bahwa setiap agama memiliki persamaan dengan agama lainnya sehingga tak perlu untuk merasa paling benar.
Pemikiran relativisme ini tidak hanya mengancam keutuhan dan kesatuan satu agama, namun setiap agama dapat terancam keberadaannya karena pemikiran ngawur ini –terlepas dari fakta bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang akan Allah jaga hingga hari akhir. Kata Nietzsche, “kalau anda mengklaim sesuatu itu benar orang lain juga berhak mengklaim itu salah.”. “Jangan terlalu lantang bicara soal kebenaran, karena belum tentu yang anda bicarakan itu benar, karena kebenaran relatif.”. “Benar bagi anda belum tentu benar bagi saya, semua relatif.”. Semua diarahkan agar kebenaran menjadi samar sehingga orang ragu apakah dia berada pada kebenaran atau tidak.

Merasa benar adalah kesalahan. Sedangkan mengakui kesalahan adalah kebenaran. Pemikiran yang ruwet seperti ini akan banyak menyesatkan orang. Semua orang tahu bahwa matahari itu bercahaya. Namun orang-orang penganut relativisme akan mengatakan bahwa belum tentu matahari bercahaya, atau salah jika matahari dikatakan bercahaya. Padahal faktanya memang begitu. Jadi mereka adalah orang-orang yang “tidak mau kalah” dalam berpendapat. Ketika dikatakan sebuah fakta, mereka tidak mau mengakuinya dan malah berkelit, bahwa kebenaran adalah relatif, tak bisa satu pihak menyalahkan pihak lain karena klaimnya yang sangat justifikatif. Namun mereka lupa di satu sisi mereka baru saja mengatakan sesuatu yang tidak relatif yaitu bahwa klaim orang lain itu relatif. Bukankah itu sama saja mereka menyalahkan tapi tak mau disalahkan.

0 komentar :

Posting Komentar

Cancel Reply