Kebebasan yang Bertanggung Jawab


Di era modern –atau ada yang menyebut postmodern– ini tak jarang kita mendengar ungkapan-ungkapan yang membela kebebasan. Kemudian muncul istilah-istilah baru seperti kebebasan berpolitik, kebebasan berpendapat, kebebasan beragama, dan sebagainya. Tahun 1776, sebuah organisasi yang berasal dari Inggris yang bernama Freemason berhasil menggulirkan revolusi di Amerika Serikat yang pada akhirnya mengabadikan keberhasilannya dengan membangun patung Liberty. Pada tahun 1789, atas nama kebebasan maka terjadilah revolusi Perancis yang mungusung jargon liberty, egality, fraternity. Tahun 1941, Presiden Amerika Serikat, Franklin D. Roosevelt menyatakan empat kebebasan, yakni kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat (freedom of speech), kebebasan beragama (freedom of religion), kebebasan dari kemelaratan (freedom from want), dan kebebasan dari ketakutan (freedom from fear). Lalu pada tahun 1948 dideklarasikanlah Universal Declaration of Human Right oleh PBB yang menetapkan hak-hak ekonomi dan sosial disamping hak politik.
Dalam perspektif Barat dan Timur, mereka yang menggulirkan ide-ide kebebasan ini adalah orang-orang Barat. Seperti yang telah disebutkan, Inggris, Amerika Serikat, Prancis, bahkan PBB sekalipun adalah milik orang-orang Barat. Karena itu jangan heran jika ide-ide kebebasan mereka memiliki celah perbedaan dengan ide-ide kebebasan yang dibawa Timur, bahkan Islam. Timur, seperti kata pepatah, wisdom always come from the East. Artinya, banyak nilai-nilai kebaikan yang berasal dari Timur, seperti kata Rabindranath Tagore, peraih Nobel Sastra dari India, “Cintailah musuhmu” diucapkan Nabi dari Timur serta “Taklukkan kemarahan dengan kesabaran dan kejahatan dengan kebaikan”. Jika kita analogikan, ibarat seperti matahari yang terbit dari timur dan terbenam di barat. Faktanya, memang dari Timur-lah muncul agama-agama, sedangkan di Barat mereka tenggelam. Perbedaan itulah yang menyebabkan muatan kebebasan dari Barat berbeda. Jika kita lihat sejarah, kita akan tahu mengapa kebebasan yang diusung Barat itu benar-benar bebas. Alasan utamanya adalah bahwa di Barat, agama pernah mendominasi dan mengekang masyarakatnya sehingga masyarakat Barat trauma dengan doktrin-doktrin agama. Sebut saja Copernicus dan Galileo yang mati karena berbeda pendapat dengan otoritas waktu itu (gereja). Karena alasan itulah, maka akhirnya agama dipisahkan hingga dia hanya hidup di ruang privasi tiap individu, sedangkan di ruang publik dia dibungkam. Maka kini, kebebasan yang dibawa Barat adalah kebebasan yang liberal, tanpa mengindahkan batas-batas sosial.
Batas-batas sosial –yah, mungkin ini istilah yang saya buat-buat sendiri, adalah batas-batas yang mengatur atau membatasi kebebasan seseorang. Artinya, sebebas apapun seseorang dalam hidupnya, dia akan tetap dibatasi kebebasannya oleh hak-hak orang lain. Sebagai contoh mudah misalnya seseorang yang mempunyai TV, dia boleh menyalakan TV-nya dengan sangat keras hingga terdengar dari luar. Namun pada prakteknya hal itu tak diperbolehkan. Bukan karena ada undang-undang yang mengatur, namun karena ada etika sosial dimana dia tidak boleh mengganggu tetangganya dengan mengatasnamakan kebebasan dirinya. Dengan begitu kita tahu bahwa kebebasan setiap individu berada dalam ruang lingkup etika. Semakin beretika masyarakat, semakin bertanggung jawab pula dalam pengaplikasian kebebasannya. Maka jika yang didengungkan adalah kebebasan tanpa batas, berarti ada problem entah di dalam masyarakatnya atau orang-orang yang mengusungnya. Karena sejatinya tidak pernah ada kebebasan tanpa syarat. Apalagi jika kebebasan itu dikaitkan dengan agama. Jika kebebasan yang dimaksud adalah tanpa batas, maka yang terjadi adalah menista, kata Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi.
Sejarah juga telah menceritakan bahwa kebebasan tak bersyarat itu utopis. Tahun 1951, Roberto Rosselini, seorang pelukis beraliran neo-realis membuat film berjudul The Miracle yang berkisah tentang Saint Joseph yang menghamili anak petani yang percaya bahwa dia adalah Bunda Maria. Atas film ini, pihak gereja akhirnya menuntut dengan tuduhan penghinaan. Andreas Serrano, seorang fotografer merekayasa sebuah gambar yang menggambarkan seolah ada salib yang tenggelam di dalam air kencing. Karyanya itu diberi judul Piss Christ. Tahun 2004, sebuah website di Amerika membuat kartun Yesus disalib dengan pakaian celana pendek dan memakai piyama setan. Kartun itu berjudul Jesus Dress Up. Akibatnya, 25.000 lebih orang protes keras atas kartun itu. Islam pun tak kalah populer sebagai objek penistaan. Tahun 1989, Salman Rushdie menulis novel berjudul The Satanic Verses yang isinya menghina Nabi dan Al Qur’an. Tahun 2002, ada orang yang menyebarkan gambar Nabi Muhammad mengendarai truk yang membawa roket nuklir. Tahun 2005, Runar Sogaard menulis bahwa Nabi Muhammad mengidap kelainan seks karena menikahi ‘Aisyah dibawah umur. Geert Wilders, politisi Belanda, membuat film berjudul Fitnah yang menggambarkan kekerasan dalam Islam. Tahun 1994, Taslima Nasrin difatwa hukuman mati karena pernyataannya di koran The Statesman yang mengatakan bahwa Al Qur’an harus direvisi seluruhnya. Tahun 1998, Ghulam Akbar, seorang penganut Syi’ah dihukum mati karena menghina Nabi Muhammad. Semua bentuk penistaan tersebut akhirnya mendapat respon dan diselesaikan. Seperti apapun bentuk karya yang mengatasnamakan kebebasan itu dibuat, pada akhirnya jika itu menyinggung para pemeluknya dan telah melanggar batas, maka akan dikecam juga. Hal ini menunjukkan secara jelas bahwa kebebasan itu selalu berbatas. Apalagi jika hal itu berhubungan dengan keyakinan beragama. Hakim Mahkamah Agung Amerika Serikat, Oliver Wendell Holmes Jr. sampai mengatakan bahwa proteksi terhadap kebebasan yang paling ketat sekalipun tidak dapat melindungi seorang pembohong yang berteriak kebakaran dalam gedung bioskop dan menyebabkan kepanikan. Artinya, tetap saja selalu ada batas dalam mengekspresikan kebebasan.
Bagi seorang Muslim, kebebasannya adalah bertanggung jawab. Ia memiliki tiga makna sekaligus. Pertama, bahwa kebebasan identik dengan fithrah, yaitu segala tabiat dan kodrat yang manusia miliki sebelum dirusak oleh lingkungan sekitarnya. Maka orang yang bebas adalah orang yang sesuai fithrahnya, yaitu mengakui bahwa Allah adalah Tuhannya. Dengan begitu, dia akan melaksanakan kewajiban dan konsekuensinya sebagai hamba untuk menyelamatkan dirinya dari jurang nista neraka. Sedangkan orang yang ingkar, sejatinya dia tidak bebas. Dia hidup dalam bayang-bayang nafsu dan tunduk pada belenggu setan.
Makna kedua adalah kemampuan dan kehendak atau keinginan untuk memilih jalan hidup. Tentu saja sebagai seorang Muslim dia akan memilih yang baik (ikhtiyar). Maka inilah makna ketiga. Dia akan memilih hidup di jalan yang baik atau yang buruk adalah pilihannya. Namun Islam telah memberikan pedoman untuk memilih yang terbaik dalam hidup, sehingga kelak dia berpulang ke tempat yang terbaik pula.

Jadi jelas disini, bagi seorang Muslim, kebebasannya adalah cerminan akal, keilmuan, dan adabnya. Itulah yang menjadikannya kebebasan sejati, yaitu kebebasan yang membawa kemanfaatan bagi dirinya. Sedangkan kebebasan palsu adalah kebebasan yang menghancurkan dirinya, yang menunjukkan kebodohan dan kecerobohan pilihannya. Sehingga pilihan seorang Muslim adalah kebebasan yang bertanggung jawab, yang didasarkan atas ilmu dan etika. Sehingga kelak di akhirat bisa dipertanggungjawabkan di hadapan Allah tanpa rasa menyesal.

0 komentar :

Posting Komentar

Cancel Reply