Perkembangan dan Tantangan Dakwah di Jepang
Kuliah Umum yang disampaikan oleh Prof. Yamamoto Ikuro
Guru besar Kinzo University dan Nanzan University
(Nagoya City) Jepang, dan Ketua Dewan Masjid Nagoya, Jepang dengan beberapa tambahan dari penulis
R. Seminar Nurul Huda UNS, 4 November 2016
Dari kanan ke kiri, penulis - teman penulis - Prof. Yamamoto - teman penulis sekaligus takmir masjid kampus - teman penulis |
Jumat (04/11) siang, seorang guru besar Fakultas
Ekonomi dari Kinzo University, Jepang sengaja diundang ke Universitas Sebelas
Maret Surakarta untuk memberikan kuliah umum mengenai perkembangan dan tantangan
dakwah di Jepang. Beliau mengawali pembicaraan dengan menyebut orang Jepang
pertama yang masuk Islam, yaitu Shotaro Noda (ada yang menyebut Torajiro
Yamada) yang kemudian mengganti namanya menjadi Abdul Halim Noda (ada yang
mengatakan Abdul Khalil), pada tahun 1890. Kemudian orang Jepang pertama yang
berangkat haji adalah Yamada di tahun 1909. Beliau kemudian menyebutkan
mengenai masjid yang ada di Jepang, diantaranya adalah Tokyo Mosque yang
didirikan oleh pihak Turki dan Nagoya Mosque yang didirikan orang Tartar, namun
akhirnya dibakar saat Perang Dunia II.
Setelah Perang Dunia II berakhir, Jepang
mengalami kekalahan dengan korban mencapai 3 juta jiwa. 70% industri menurun,
sehingga Jepang mengalami kerugian yang sangat besar. Setelah Jepang kalah
perang, mereka berpikir untuk bangkit kembali. Mereka berusaha meningkatkan
kekuatan ekonomi, industri, dan sebagainya. Maka dari usaha kerasnya itu, di
tahun 1968, Jepang menjadi kekuatan ekonomi terbesar kedua di dunia.
Namun rupanya perkembangan ini memiliki sisi
negatif bagi Jepang. Mereka menjadi teralienasi dari dunia lu
Prof. Yamamoto Ikuro bersama calon insinyur Teknik Sipil, ehehew... |
Setelah Jepang merubah sistem negaranya menjadi
negara demokrasi, mereka melakukan perubahan pada undang-undang dasarnya. Isi
undang-undang tersebut diantaranya adalah sekolah tidak boleh mengajarkan agama
di mata pelajarannya. Hal ini menyebabkan Jepang menjadi kurang peduli dengan
agama. Pemerintah pun dilarang memberi dukungan ekstra kepada salah satu agama.
Walaupun begitu, menariknya adalah tetap ada sekumpulan masyarakat yang
melakukan kegiatan keagamaan seperti ritual-ritual.
Berbicara mengenai kondisi keagamaan di Jepang,
satu hal yang bisa kita ketahui saat ini adalah Jepang merupakan negara yang
penduduknya mengamini pemikiran sinkretisme agama. Kebanyakan dari penduduk
Jepang adalah orang-orang yang menjalankan berbagai unsur ritus keagamaan,
terutama agama Shinto, Buddha, dan Kristen. Selain itu, kepercayaan-kepercayaan
terhadap dewa, roh, dan sejenisnya juga menghiasi worldview bangsa
Jepang, sehingga berbagai matsuri atau festival diadakan untuk
memperingati hal-hal tersebut. Sebagai contoh misalnya Daimonji-yaki [ 大文字焼 ].
Dikutip dari http://thekyotoproject.org/,
Daimonji-yaki is original Japanese culture, and one of the most famous
events in Kyoto. In this event, kanji characters are marked on the mountain
side and illuminated by fire. The ceremony is held during Obon, on the 16th
of August. Obon is one of the Japanese National Holidays, and according to
Buddhist legend, is when the souls of dead people return and we receive them (Daimonji-yaki
adalah budaya asli Jepang, dan salah satu yang paling terkenal di Kyoto. Pada
festival ini, huruf kanji Dai [ 大 ] ditulis di sisi gunung dan dinyalakan dengan
api. Upacara ini digelar pada festival Obon di tanggal 16 Agustus. Obon adalah
salah satu hari libur nasional Jepang, dan berdasar legenda Buddha, Obon adalah
ketika jiwa-jiwa orang yang mati kembali dan kita menerima mereka (di rumah)).
Karena itulah, orang-orang Jepang membuat tulisan kanji tersebut di
gunung-gunung untuk menunjukkan para arwah itu jalan pulang ke gunung setelah 3
hari mereka kembali pulang ke rumah masing-masing. Masyarakat Jepang percaya
bahwa arwah orang yang telah mati tinggal di pohon-pohon di gunung. Selain itu,
perayaan seperti Natal dan Valentine’s Day juga dirayakan orang-orang
Jepang, dimana perayaan ini lebih identik dengan agama Kristen.
Konsep Tuhan bagi orang Jepang adalah Tuhan
yang selalu membantu mereka di berbagai kegiatan, dan yang selalu dekat dan
selalu membantu kebutuhan mereka. Maka tidak heran ketika orang-orang Jepang
akan menghadapi sesuatu, misal ujian, atau kesulitan lainnya, mereka akan ke
kuil dan berdoa disana. Namun sayangnya, karena mereka sibuk untuk membangun
kekuatan ekonomi pasca Perang Dunia II, mereka tak memiliki waktu untuk membaca
buku-buku teks agama. Sehingga pengetahuan dan pemahaman mereka mengenai agama
sangat minim. Yang mereka tahu hanyalah mereka melakukan kebaikan menurut mereka
saja, dan itu yang Tuhan sukai.
Kemudian karena banyak juga yang kemudian
urbanisasi ke kota, mereka menjadi kesulitan mengadakan ritual-ritual seperti
saat di desa. Contohnya Daimonji-yaki tadi dimana mereka membuat tanda di
gunung-gunung dengan api. Saat di kota, mereka tak menemukan gunung, sehingga
mereka tak bisa melakukan ritual tersebut. Sehingga, makin lama kesadaran
beragama mereka makin menurun bahkan tidak ada, dikarenakan mereka lebih sibuk
dalam bekerja keras membangun kemakmuran Jepang. Cara hidup seperti ini
menyebabkan Jepang memiliki karakter individualis pada masyarakatnya. Dan karena
itu pula, saat kejadian oil shock, mereka tersadar untuk memiliki
hubungan baik dengan yang lain dalam kehidupan mereka, dan dalam konteks ini
adalah negara-negara penghasil minyak, termasuk Indonesia. Dan inilah pertama
kalinya Jepang berinteraksi kembali dengan orang lain dari bangsa dan negara
lain yang memiliki keyakinan yang berbeda dengan mereka. Sehinga mau tidak mau
mereka harus mempelajari kebudayaan dan agama mereka pula untuk dapat
berinteraksi dengan baik.
Makin majunya Jepang dalam bidang ekonomi
rupanya membuat Jepang banyak berinvestasi di luar negeri setelahnya. Fokus
mereka saat itu adalah Asia Tenggara. Dengan makin banyaknya investasi yang
dilakukan Jepang di luar negeri, menyebabkan banyak juga akhirnya orang Jepang
yang bekerja di luar negeri. Rata-rata mereka yang bekerja di luar negeri
adalah orang-orang yang masih muda dan sehat. Dan uniknya, pada akhirnya mereka
juga mendapatkan jodoh di negara tempatnya bekerja, misalnya Indonesia. Prof.
Yamamoto Ikuro juga termasuk satu diantara mereka yang bekerja di luar negeri
dan kemudian menikah dengan warga pribumi tempatnya bekerja. Karena pernikahan
inilah, banyak kemudian yang berganti keyakinannya menjadi seorang muslim. Maka
ketika mereka kembali ke Jepang, hal itu akan menambah jumlah populasi muslim
di sana. Sehingga jelas ada korelasi antara peningkatan jumlah penduduk muslim
di Jepang dengan banyaknya pekerja Jepang yang bekerja di luar negeri. Lebih
jauh lagi, dengan banyaknya investasi Jepang di luar negeri. Efek selanjutnya
adalah negara-negara Asean seperti Indonesia dan Malaysia mengalami peningkatan
kemakmuran. Dengan peningkatan kemakmuran ini, peningkatan sumber daya manusia
menjadi sangat penting dan diperhatikan.
Adanya investasi Jepang di luar negeri juga
menyebabkan membaiknya hubungan bilateral Jepang dengan negara yang disuntik
investasi tersebut. Perdana menteri Malaysia kala itu, Mahathir Muhammad, serta
B.J. Habibie yang masih menjabat sebagai menteri, membuat kebijakan dengan
mengirim mahasiswa-mahasiswanya ke Jepang untuk studi. Hal ini juga akhirnya
menambah populasi muslim di Jepang. Di awal tahun 1990-an, pemerintah Jepang
membuat sistem magang. Selama program magang, Indonesia merupakan negara
terbanyak yang mengirimkan tenaga kerjanya ke Jepang. banyak diantara mereka
pula yang muslim. Tahun 2012, pemerintah Jepang mengadakan sensus berdasar
agama yang dipeluk. Hasilnya adalah, dari sekitar 100 jutaan penduduk Jepang,
sekitar 110.000 diantaranya adalah Muslim. Dari 110.000, sekitar 100.000
darinya merupakan warga asing yang didominasi Indonesia dan negara-negara Timur
Tengah seperti Pakistan. Sedangkan sisanya sekitar 10.000 orang adalah penduduk
asli Jepang.
Namun sayangnya, dengan adanya peningkatan
taraf ekonomi yang menyebabkan naiknya tingkat kemakmuran di Jepang, semakin
banyak pasangan yang tidak ingin memiliki banyak anak, tidak ingin cepat
menikah, dan bahkan tidak ingin menikah. Dan ini merupakan masalah bagi Jepang
karena jika tidak diatasi mereka akan mengalami lost generation di
tahun-tahun mendatang karena penduduk berusia mudanya semakin sedikit. Selain
itu, cara hidup hikikomori juga merupakan masalah yang dialami Jepang
dimana mereka menarik diri dari masyarakat dan lebih suka hidup menyendiri atau
mengurung diri di rumah.
Masalah-masalah seperti ini merupakan masalah
yang saat ini dihadapi Jepang. Dalam kaitannya dengan dakwah, tentu ini
merupakan sebuah tantangan tersendiri dimana Jepang merupakan salah satu negara
yang dapat dikatakan unik secara kultur. Namun yang menarik disini adalah bahwa
Jepang ternyata memiliki tingkat toleransi terhadap perbedaan agama yang cukup
tinggi. Terbukti dengan minimnya berita mengenai pelecehan atau penindasan
terhadap agama lain seperti Islam yang masih minoritas.
Tahun 2006, sebuah survey mengatakan bahwa
penduduk Jepang berjumlah 127.770.000 orang. Sedang dalam Funeral Business
White Book 2008, p.78 disebutkan bahwa total penganut agama di Jepang
adalah 211.020.747 jiwa. Dari angka itu, sebanyak 50,8% atau 107.247.522 orang
adalah penganut Shinto. Sebanyak 43,3% atau 91.260.273 orang adalah penganut
Buddha. Kemudian 1,2% atau 2.595.397 orang adalah penganut Kristen. Sisanya 4,7%
atau 9.917.555 orang adalah penganut agama atau kepercayaan lain termasuk
Islam. Jumlah ini melebihi jumlah sensus penduduk tahun 2006, yang artinya
bahwa satu orang penduduk Jepang bisa saja menganut lebih dari satu kepercayaan
agama. Makanya sinkretisme agama adalah hal biasa di Jepang. Dengan demikian,
konsep agama bagi mereka dijadikan pedoman sekaligus menyatu dalam kehidupan
dan menjadi energi bangsa Jepang untuk mencapai kedamaian, kemajuan,
kesuksesan, keunggulan berbangsa dan bernegara. (Anwar, 2010:4).
Namun sesungguhnya, pada tahap praktisnya,
orang Jepang bukanlah orang yang religius. Mereka kebanyakan atheis. Mereka
tidak mempercayai tentang Tuhan dan hal-hal yang berkaitan dengan keagamaan. Tapi
mereka tetap menjalankan ritus-ritus keagamaan karena dianggap merupakan bagian
dari kultur mereka. Sehingga dikenal bahwa masyarakat Jepang adalah masyarakat
yang menganut multikulturalisme. Inilah tantangan dakwah di Jepang, bagaimana
mengenalkan Islam kepada masyarakat yang menganggap agama sebagai bagian dari
kultur dan kebudayaan semata, serta menganggap semua agama sama. Tentu
multikulturalisme dalam ranah agama akan berakibat fatal karena dia akan
mengarahkan pemikiran seseorang kepada pluralisme, dan dalam pluralisme, semua
agama dipandang sama sejajar. Jika ini yang mengakar kuat, maka akan sulit
untuk memberikan pemahaman mengenai kebenaran yang hakiki. Sehingga pengajaran
mengenai ketauhidan akan lebih berat karena sulit diterima. Disini kita
dituntut untuk mampu menjelaskan mengenai konsep ketuhanan yang benar. Pada
tahap lebih jauh, adalah bagaimana mengenalkan dan mengajarkan Islam dengan
tepat. Karena, berdasar sepenangkapan penulis dan pengamatannya terhadap Prof.
Yamamoto sekilas, masih banyak muslim Jepang yang kurang dalam pemahaman
keislamannya. Nur Ad-din Mori, seorang pendakwah di Jepang, mengatakan bahwa
baru ada lima pemuda muslim yang kembali ke Jepang berhasil menguasai studi
tentang Islam. Selebihnya, hanya menguasai studi tentang Timur Tengah, bukan
Islam.
Tantangan lain dalam dakwah di Jepang adalah
minimnya literatur keislaman yang telah diterjemahkan dalam bahasa Jepang.
Kebanyakan menggunakan bahasa Inggris dan Arab dimana kedua bahasa itu tidak
semua masyarakat Jepang menguasainya. Sehingga informasi mengenai Islam menjadi
minim. Apalagi ditambah dengan distorsi-distorsi dari pemberitaan media yang
kerap menyudutkan Islam. Akhirnya, perkembangan Islam di Jepang belum
menunjukkan geliat yang maksimal. Oleh karena itu dibutuhkan
muballigh-muballigh yang mampu mengajarkan Islam kepada masyarakat Jepang
dengan bahasa yang mereka mengerti.
Terakhir, yang juga menjadi tantangan dalam dakwah
di Jepang adalah soal moral. Di Jepang, pendidikan moral diajarkan di tingkat
SD dan SMP. Modelnya seperti diskusi dan hasilnya mirip-mirip seperti konsensus
atau kesepakatan mengenai batas-batas moral baik dan buruk. Sekilas terlihat
baik karena para siswa di sekolah diajarkan untuk dapat menggali nilai-nilai
kebaikan dalam dirinya. Namun akan menjadi masalah nantinya saat semakin
bertambah dewasa dan menghadapi isu-isu rumit seperti transgender, pornografi,
pernikahan sejenis, HAM, nasionalisme, dan sebagainya dimana dalam hal-hal
seperti itu tak terdapat patokan yang jelas mengenai baik-buruknya. Sedangkan
di tingkat dasar dan menengah, yang diajarkan hanya mengenai nilai-nilai yang
universal seperti kejujuran, kerja keras, menghormati orang lain, dan
semacamnya. Sebagai contoh, ketika sesi tanya jawab, salah seorang peserta
kuliah umum, seorang bapak-bapak, menanyakan mengenai kondisi Jepang dimana
pornografi mudah sekali didapatkan, bahkan dalam majalah-majalah di toko.
Senada dengan hal itu, Ust. Hamid Fahmy Zarkasyi dalam bukunya Misykat,
dalam salah satu bab yang membahas tentang kebebasan berpendapat menceritakan
bahwa Jepang pernah mengalami masa dimana kebebasan berpendapat dikekang. Namun
kemudian setelah kebebasan berpendapat dibuka, yang terjadi adalah fenomena
beredarnya konten-konten pornografi secara luas dan tanpa batas. Hingga Jepang
saat itu mendapat julukan Porn Paradise. Ini merupakan dua kondisi yang
sangat kontradiktif namun terjadi. Karena pada dasarnya, konstruk sosial
masyarakat Jepang bercorak liberal, sehingga soal patokan nilai baik-buruk
adalah kabur. Bahkan pernah penulis baca dalam sebuah artikel yang mengatakan,
jika ada wanita usia sekolah (SMP atau SMA) masih perawan, itu merupakan sebuah
aib. Ini tidak ada bedanya dengan kaburnya konsep ketuhanan dan agama dalam
Jepang. Sehingga tantangan-tantangan inilah yang kemudian harus segera
dicarikan solusi tepat untuk mengatasinya.
Tiga hal tersebut, yaitu konsep ketuhanan,
minimnya literatur keislaman, dan soal moral adalah tiga hal yang penulis tangkap
dari pemaparan Prof. Yamamoto Ikuro, serta diskusi singkat dengan kawan yang
sama-sama mendengarkan kuliah uum saat itu.
Di akhir kuliah umum itu, terlontar guyonan
yang sebenarnya bisa diseriusi. Agar muslim di Jepang populasinya bertambah,
dan agar perkembangan Islam di Jepang lebih signifikan lagi, tidak ada salahnya
mencari jodoh orang Jepang, karena siapa tahu pernikahan kita dengan orang
Jepang itu yang kelak membuka jalan-jalan dakwah baru di sana, heheh…
Nur Ad-din Mori sendiri mengaku optimis bahwa
Islam kelak akan berkembang pesat di Jepang. Maka kita sebagai sesama muslim,
tugas kita adalah menjaga api harapan itu agar tetap menyala, dan membantu
sebisa kita dengan apa yang kita miliki, sehingga Islam akan kembali terbit di
negeri matahari terbit.
0 komentar :
Formulir Kontak
Labels
berbagi
(189)
curhat
(93)
inspirasi
(91)
nasehat
(89)
Agama
(70)
Cerita
(70)
Opini
(58)
Renungan
(43)
Tulisan Serius
(32)
Introspeksi
(31)
iseng
(27)
Kampus
(26)
Motivasi
(25)
Pengetahuan unik
(18)
Pengetahuan umum
(16)
Sejarah
(14)
cerpen
(13)
Pengetahuan Teknologi
(12)
puisi
(12)
Tidak jelas
(11)
Lirik
(8)
Konspirasi
(7)
Peradaban
(7)
Teknik
(6)
humor
(6)
Tips
(5)
Batas Negeri
(4)
FSLDK
(4)
Lomba
(4)
Temajuk
(4)
Arsitektur
(3)
Poster
(3)
resep makanan
(3)
Berita
(2)
Sipil
(2)
palestina
(2)
ASUSROGID
(1)
Game
(1)
IPA
(1)
KAMMI
(1)
ROG
(1)
WEAREROG
(1)
freeletics
(1)
Popular Posts
-
Ini tugas btw... Tugas kuliahku, wkwk... Jalan merupakan prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, term...
-
Di dalam agama Kristen, tanggal 25 Desember merupakan hari raya mereka yang disebut hari Natal atau kelahiran Yesus. Namun, be...
-
Pernah terpikir, atau mungkin sekedar terbersit, mengapa hati mesti melabuhkan pilihan pada brand bernama Asus ini? Dulu sewaktu SMA,...
-
Entah kenapa judulnya begitu, hahaha... Tapi keliatan keren aja pake judul gitu. Ini adalah kisah pendakian sebenarnya. Beberapa hari lalu...
-
Hati-hati dengan ilmu sihir sigil, karena ia merupakan simbol-simbol untuk menyampaikan pesannya, hal ini seperti yang dilakukan free...
-
Beberapa waktu lalu, ketika kami sedang berkumpul dan berdiskusi (kalau itu disebut diskusi), guru kami membacakan kembali sebuah hadits yan...
-
Original After modding Kita semua bisa merubah tampilan menu standard itu dengan tangan kita sendiri, artinya.. gak perl...
-
Dalam menghadapi masalah, tak jarang, dan sering mungkin, kita membalutnya dengan keluh-kesah tak berkesudahan. Kita sering mendramatisir...
-
#Bagian 11 Aku, bahkan sempat terbayang tentang kematian dalam game seperti anime SAO. Tapi itu anime, kartun, cerita buatan. Sangat berbe...
-
Ada hal lucu saat saya sekali me reply cuitan salah satu kanal media alternatif di Twitter, Tirto . Saat itu Tirto membuat cuitan dari art...
Posting Komentar