Taurits

Sememangnya, proses taurits itu bukanlah sesuatu yang bisa dilakukan setengah-setengah. Karena proses taurits adalah hal yang harus dilakukan secara kontinyu, berkelanjutan tanpa putus hingga akhir. Makanya, ia erat sekali kaitannya dengan tarbiyah atau pembinaan. Sehingga, taurits hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang memang memiliki kemauan kuat untuk mencari dan menemukan generasi pelanjut.

Proses ini bukannya tanpa akhir. Ia berkesudahan ketika semua yang dimiliki telah diturunkan kepada pewarisnya. Makanya ketika Rasulullah telah purna menyampaikan syariat Islam kepada umatnya, Allah turunkan wahyu terakhir surah Al Ma'idah : 3 di padang Arafah, "...Pada hari ini telah Kusempurnakan bagimu agamamu dan telah Kucukupkan bagimu nikmatKu dan telah kuridhai Islam sebagai agamamu.". Maka selesailah tugas kenabian beliau.

Namun sesungguhnya, seselesai apapun proses taurits itu, ia takkan pernah benar-benar selesai. Karena, setiap generasi pasti akan membutuhkan apa yang diwariskan itu. Makanya ketika nabi telah tiada, proses pewarisan tetap berlanjut. Pengembannya kini berganti kepada 'ulama atau ahli ilmu. Sehingga mereka dijuluki waratsatul 'anbiya atau pewaris nabi.

Ilmu apapun, ia akan tetap butuh pewarisan agar tetap dapat eksis. Jika satu generasi saja tak mewarisi ilmu itu, maka ia akan punah. Sehingga seperti yang dikatakan di awal, tidak boleh ada yang namanya keterputusan. Proses itu harus kontinyu. Jika pun ilmu itu sanggup tetap eksis, maka bisa jadi dia mengalami distorsi atau hilang sebagiannya. Hal ini yang menyebabkan kecacatan. Ibarat seperti pewarisan sifat dalam genetika, satu kode gen saja yang hilang atau tertukar akan menyebabkan kecacatan turunannya. Sehingga, butuh kesabaran dan kehati-hatian dalam menurunkan ilmu agar tidak hilang atau 'tertukar'.

Sebagai contoh, ada ilmu beladiri yang kini hampir, bahkan telah punah. Ini terjadi karena tidak adanya proses pewarisan tadi. Para guru yang telah tua enggan mewariskan ilmunya kepada anak-anak muda, kata H. Basir Bustomi, guru silat Beksi betawi, dikarenakan khawatir dan takut jika ilmu beladiri itu dipergunakan untuk hal-hal yang tak semestinya. Disinilah poin pentingnya ketika seseorang hendak mewariskan ilmunya, yaitu agar membekali juga kepada ahli warisnya dengan ilmu-ilmu agama. Kata H. Basir Bustomi, itulah mengapa dalam silat Beksi diwajibkan juga untuk mempelajari ilmu agama, karena, kata beliau, ilmu beladiri itu ibarat golok, maka ilmu agama adalah sarung goloknya.

Namun ilmu agama saja ternyata tidak cukup, karena rupanya masih ada saja orang yang ahli agama namun sombong. Maka, untuk membatasi perilaku agar tak melewati batas, para 'ulama menganjurkan untuk mempelajari adab. Sehingga adab dapat mengontrol ilmu agar tetap on the track, tidak melenceng dari fitrahnya. Karena sejatinya ilmu itu baik, manusialah yang membuatnya terlihat buruk.

Maka kepada pewaris peradaban yang jayanya diawali dari semangatnya para penuntut ilmu seperti para ilmuwan muslim Andalusia, para pembelajar yang tak kenal lelah menyelami khazanah keilmuan, pelajarilah adab sebelum ilmu agar lakumu santun, sehingga ilmu yang telah dimiliki dapat dimanfaatkan dengan bijak. Sehingga apa yang dikatakan Ibnu khaldun dalam Muqaddimahnya tak terjadi kepada kita, bahwa hancurnya peradaban seperti Yunani diawali dari fanatiknya mereka dalam menuntut ilmu, namun karena tak dibarengi dengan pengencangan di sisi moral, akhirnya runtuh juga peradaban mereka diserang Romawi. Semoga kesudahan yang baiklah yang akan kita dapatkan.

0 komentar :

Posting Komentar

Cancel Reply