Belajar Konsep Nilai Kehidupan dari Rumus Fisika


Fisika bagi sebagian orang merupakan sebuah momok yang sulit ditaklukkan, terutama bagi anak-anak IPA yang tiap hari bersinggungan dengannya. Karena tak jarang, begitu sulit fisika ini untuk dipahami dan dihafal, terutama rumus-rumusnya yang begitu banyak. Dari kinetika gerak lurus hingga relativitas khusus, dari gaya hingga daya, dari mekanika fluida hingga termodinamika, dari induksi elektromagnetik hingga alat optik, berapa banyak dari kita yang hafal dan paham konsep dan rumus dari materi-materi tersebut? Hanya sedikit. Begitu juga aku. Ketika SMA, bagiku fisika lebih sulit daripada kimia, wow… Tapi sekarang, aku bahkan kuliah di jurusan yang full menggunakan fisika, bahkan fisika terapan yang lebih sulit lagi menurutku. Namun tidak selamanya fisika merupakan sebuah ketakutan. Ada saat-saat dimana fisika terlihat begitu menawan, sangat cantik seperti dirimu (#eaaaa……), yaitu ketika kamu bisa menemukan makna dibalik konsep dan rumus-rumus itu. Secara teori, fisika merupakan sebuah konsep yang berdasar ilmu alam. Karena itu, setiap definisi dan ketetapan di dalamnya selalu mengacu dan berpegangan dengan konsep natural. Dalam bahasa islamis kita menyebutnya sesuai sunatullah. Itulah sebabnya antar-rumus fisika tidak akan saling berbenturan konsep. Mereka akan saling melengkapi, seperti halnya aku dengan kamu yang menjadi kita, ihiiirrr…
Ketika SMA, kita pernah mendapat materi tentang tekanan. Bahwa tekanan (P) adalah sebanding dengan gaya (F) dan berkebalikan dengan luas permukaan (A); (P=F/A). Itu sebabnya, jika hidupmu penuh tekanan, mungkin kamu kebanyakan gaya, tapi lupa dengan luas permukaanmu dalam menahan gaya (kemampuanmu). Maka dari itu, turunkanlah gayamu agar tekananmu berkurang.
Sama halnya juga dengan tegangan permukaan (ɣ). Tegangan ini sebanding dengan gaya (F) dan berkebalikan dengan panjang permukaan (L); (ɣ=F/L). Mungkin itu pula sebabnya, jika hidupmu tegang, jangan-jangan kamu kebanyakan gaya juga. Maka kurangilah gayamu, perpanjanglah permukaanmu (aku mengartikannya perbanyaklah kemampuanmu), karena diri kita tak dinilai dari penampilan dan gaya saja, tapi lebih kepada value apa yang ada dalam diri kita. Mungkin disini ada benarnya ungkapan don’t judge the book by its cover, karena bahkan cover yang bagus sekalipun tak menjamin isinya akan sama bagusnya juga.
Bicara tentang isi, aku jadi teringat sebuah muatan. Ada dua muatan, positif dan negatif. Secara teori, seperti halnya magnet, muatan positif akan bereaksi tarik menarik dengan muatan negatif, sedangkan muatan sejenis (positif-positif, negatif-negatif) akan saling bertolak belakang. Jika kita renungkan, kelakuan muatan-muatan ini sama halnya dengan manusia dimana laki-laki akan tertarik dengan perempuan, begitu pula sebaliknya, bukan kepada sesama jenis. Ini pula yang membuat LGBT (Lesbian Gay Biseksual Transgender) adalah tidak sesuai dengan hukum alam dan sunatullah.
Aku jadi teringat sesuatu lagi. Dalam sebuah sesi perkuliahan Struktur Baja, di awal-awal pertemuan, dosenku, Dr. Senot Sangadji, ST, MT, menjelaskan tentang konsep sebuah struktur baja dan bebannya. Dia mencoret-coret papan tulis menggambar dua buah kurva melengkung ke atas yang saling bersinggungan di salah satu ujungnya. Kurva yang kiri berlabel R, dan yang kanan berlabel Q. Kemudian pada bagian yang bersinggungan tersebut beliau arsir dan diberi keterangan failure. Artinya, bahwa di titik itulah kemungkinan struktur akan mengalami failure. Lalu di titik yang bagaimana? Pak Senot, dengan gaya penyampaiannya yang renyah dan mengalir menjelaskan, bahwa suatu struktur baja haruslah memenuhi syarat agar struktur tersebut aman. Syaratnya adalah, R > Q. R adalah tahanan, dan Q adalah beban. Jadi, jika ketahanan bangunan untuk menahan beban lebih kecil daripada beban itu sendiri (R < Q), maka struktur tidak akan mampu bertahan lama. Akibatnya adalah failure yang bisa menyebabkan keruntuhan struktur. Sama halnya dengan hidup kita. Hidup ini penuh dengan masalah. Namun bukan lantas kita mesti menghindari masalah-masalah itu. masalah diberikan untuk meng-upgrade diri kita. Jadi sebesar apa kualitas diri kita, lihat saja sebesar apa juga masalah yang diberikan kepada kita. Yang menjadi titik perhatian adalah, bagaimana kita menghadapi masalah tersebut. Jika ketahanan kita untuk menghadapi masalah kuat atau besar dan tahan lama, maka masalah itu akan lebih mudah untuk diselesaikan. tapi jika kita cuma mengeluh dan bingung dalam menghadapi masalah, maka masalah itu akan terasa semakin besar dan berat untuk diselesaikan. Sebuah ungkapan dalam bahasa Arab mengatakan, fahmus su’al nisbul jawab, memahami soal adalah sebagian dari jawaban.
Bagi seorang muslim, menghadapi masalah adalah keniscayaan yang tak perlu dihindari. Toh jika kita hindari sekalipun, akan ada masalah lain yang datang. Karena itu, sebagai muslim, dalam menghadapi masalah, kita harus memiliki keyakinan yang kuat seperti baja. Keyakinan yang mengakar kuat ke bumi dan menggapai langit. Keyakinan yang kita sebut keimanan. Bahwa setiap masalah atau ujian yang kita hadapi, adalah untuk meningkatkan derajat kita, menguji keimanan kita, atau menghapus dosa kita. Allah berfirman dalam QS. Al Baqarah : 155, “Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, dan kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.”. Kita bisa ambil contoh keyakinan yang kuat seperti keyakinan para shahabat Rasulullah SAW. Juga para pemuda ashabul kahfi. Juga orang-orang ashabul ukhdud. Atau keyakinan nabi Musa saat melawan tukang sihir Fir’aun, dan lain-lain. Dan ingatlah, bahwa Allah takkan memberikan ujian melebihi kemampuan hambaNya dalam menanggungnya, “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya…” (QS. Al Baqarah : 286). Maka jika kita merasa sangat berat dalam menghadapi ujian tersebut, duduklah, bersujudlah, lalu mohonlah ampunan dan pertolongan kepada Allah. Barangkali dosa-dosa kita telah menggunung hingga menyesakkan dada. Bersujudlah, karena kapan lagi kamu berbisik kepada bumi namun didengar oleh langit?
Last, but not least (semoga bisa diupdate lagi tulisannya jika sudah menemukan inspirasi baru), beberapa waktu lalu, tepatnya tanggal 9 Maret 2016, terjadi gerhana matahari total di Indonesia. Aku sendiri juga menyaksikan, walaupun tidak sampai total. Di facebook, aku melihat postingan dua buah foto yang membuatku ngelus dodo. Sampai segitunya kah? Foto pertama adalah foto asli sebuah spanduk pengumuman besar berkaitan dengan gerhana tersebut. Disitu tertulis sebuah event yang akan diselenggarakan di suatu tempat bertepatan dengan gerhana matahari, yang juga akan dihadiri artis ibukota. Ada bermacam event disana. Foto satunya adalah hasil editan untuk menyindir Event Organizer acara tersebut, dimana event gerhana matahari dirubah menjadi hari kiamat. Kemudian di whatsapp aku juga mendapat kiriman foto dari teman tentang sebuah event di daerang Belitung, yaitu acara bermain gaple (main kartu, semacam judi) memperebutkan piala walikota bertepatan dengan gerhana matahari. Bagiku, dua acara tersebut adalah sebuah fenomena kegagalan berpikir masyarakat kita dalam menanggapi suatu fenomena alam. Yang masih mending adalah para ilmuwan yang melakukan penelitian saat gerhana matahari yang katanya akan terjadi 350 tahun lagi setelah ini. Sebagai seorang muslim, Rasulullah sudah mencontohkan apa yang harus dilakukan saat terjadi gerhana. Karena itu, kita menjalankan sholat kusuf dan khusuf saat terjadi gerhana matahari dan bulan. Gerhana sendiri, kata Rasulullah bukanlah tanda kelahiran atau kematian seseorang. Bukan pula disebabkan dimakannya matahari oleh raksasa seperti kata orang-orang tua di Jawa. Tapi gerhana adalah sebuah tanda untuk mengingatkan manusia akan kebesaran Allah dan menakut-nakuti manusia akan siksa dari Allah. Bisa dibayangkan, jika Allah mampu meletakkan matahari, bulan, dan bumi dalam satu garis lurus, tidak mustahil bagiNya untuk saling menabrakkannya pula. Hal inilah yang seringkali luput dari pikiran masyarakat kita. Padahal, secara teori, ketika bumi, bulan, dan matahari dalam satu garis lurus, maka gaya tarik ketiga benda ini akan semakin besar. Ingat dengan rumus gravitasi Newton? F=G.M1.M2/R2 dimana F adalah gaya tarik gravitasi, G adalah konstanta gravitasi, M1 dan M2 adalah massa dua benda langit, dan R2 adalah jarak dua benda langit. Maka jika semakin besar ukuran benda langit, gravitasinya pun akan semakin besar pula. Sedangkan gaya gravitasi berbanding terbalik dengan jarak dua benda langit tersebut. Artinya, semakin dekat jarak kedua benda langit, gaya tarik gravitasinya semakin besar. Hal inilah yang menyebabkan ketika bulan berada di titik perihelion (titik terdekat dengan bumi), maka di bumi bagian itulah terjadi pasang, sedang di bagian lain ada yang mengalami surut, karena memang pasang surut air laut dipengaruhi oleh revolusi bulan. Selain itu, saat terjadi gerhana, gaya tarik bisa lebih kuat dari biasanya. Hal ini secara teori bisa mempengaruhi lempeng-lempeng bumi dan menyebabkan lempengan bergerak tidak seperti biasanya sehingga meyebabkan gempa bumi maupun gunung meletus. Efek lebih lanjut, jika terjadi gempa di laut dalam skala besar, bisa memicu tsunami. Karena itulah Rasulullah katakan bahwa gerhana ini merupakan satu cara Allah menakut-nakuti manusia agar segera kembali bertaubat dan meninggalkan maksiat.

Masih banyak hikmah-hikmah dalam dunia fisika yang dapat dijadikan pelajaran bagi kita. Maka adalah tugas kita bagi seorang manusia, muslim, dan khalifah di bumi ini untuk mengambil hikmah dari setiap fenomena dan gejala yang terjadi dalam hidup kita. Sebuah atsar dari Sa’id bin Abi Burdah rahimahullah, “Dari Waki’, dari Al Mas’udiy, dari Sa’id bin Abi Burdah, ia berkata: Dulu dikatakan ‘Hikmah itu adalah sesuatu yang hilang dari seorang mukmin, ia mengambilnya jika ia menemukannya.’”.

0 komentar :

Posting Komentar

Cancel Reply