Mencintai Seperti Umar

Adalah Umar bin Khaththab yang kala itu mengungkapkannya kepada Rasulullah, "Aku mencintaimu sebagaimana aku mencintai diriku sendiri ya Rasulullah". 

Dengan tersenyum Sang Nabi menjawab,"Bukan begitu wahai Umar. Engkau harus mencintaiku melebihi kecintaanmu kepada dirimu dan keluargamu".

"Kalau begitu ya Rasulullah," kata Umar, "Mulai saat ini aku mencintaimu melebihi apapun di dunia ini".

"Nah, benar begitu wahai Umar", kata Nabi.

Semudah itu Umar mengubah urutan cinta dalam hatinya hingga menjadi tertata lebih memukau. Bagi Umar, cinta bukanlah perkara sulit yang mesti dirunyamkan oleh hati. Ia adalah sebuah kata kerja dimana hati diperintah untuk melaksanakan, bukan sekedar merasakan. Baginya, perkara cinta bukanlah soal dicintai, namun bagaimana dirinya mencintai dan membuktikan cintanya dengan perbuatan dan pengorbanannya. Sebab soal dicintai, adalah teramat sulit bagi diri kita untuk mengendalikannya, karena dia ada di luar kendali jiwa kita. Maka Umar lebih memilih memberi ketimbang diberi.

Itu pula yang membuatnya menempatkan porsi cinta dalam dirinya pada takaran yang semestinya. Suatu ketika dia berujar kepada Abbas bin Abdul Muthalib, paman Sang Nabi, "Sungguh keislamanmu wahai paman Rasulullah, adalah lebih aku sukai daripada keislaman Al Khaththab, ayahku". Bukan lantaran Umar membenci ayahnya, namun dia mengerti, dalam mencintai, dia mesti menempatkan cintanya pada porsi yang tepat. Sebab Umar mengukur cintanya dari hati orang yang paling dicintainya, Rasulullah.  Karena Abbas-lah, paman Rasulullah yang paling mengasihinya setelah Abu Thalib.

Hal yang sama yang dilakukan Abu Bakar tatkala mendatangkan Abu Quhafah, ayahnya yang telah renta dan buta ke hadapan Rasulullah, "Wahai Abu Bakar, mengapa tidak engkau persilakan ayahmu di rumah sementara aku yang datang pada beliau?" tanya Nabi.

"Ayahku wahai Rasulullah, " jawab Abu Bakar, "Adalah yang lebih berhak berjalan kepadamu dibanding engkau yang mendatanginya".

Hingga tatkala ayahnya telah selesai bersyahadat, Abu Bakar justru menangis sesenggukan. Semua yang hadir bertanya-tanya. Mengapa Abu Bakar tak berbahagia selepas ayahnya memeluk Islam. Ujarnya, "Ya Rasulullah, lebih kusukai jika tangan pamanmu yang menggantikan tangan ayahku, lalu dia masuk Islam dan dengan itu Allah membuatmu ridha". Yang Abu Bakar maksud adalah Abu Thalib, yangmana hingga penghujung hayatnya, hidayah tak diizinkan memasuki hatinya.

Sekali lagi, Abu Bakar pun mengukur cintanya dari orang paling dicintainya. maka benarlah, bahwa cinta sejati bukan persoalan dicintai, melainkan bagaimana kita memberi cinta kepada yang kita cintai. Sebab bagi orang yang mencintai, adalah kepuasan hatinya melihat orang yang dicintai berbahagia.

Maka cinta itu laksana benih. Ia akan tumbuh bila dirawat, dan akan rusak bila tak dijaga. Umar dan Abu Bakar adalah contoh terbaik dari sekian kisah keteladanan di masanya tentang bagaimana menjaga nuansa cinta dalam hati agar tak salah dalam melakoni cinta. Agar yang diperjuangkan adalah sebuah kesejatian yang memiliki makna, sebuah kata yang berbukti, dan sebuah kebesaran hati dalam penerimaan hakikat.

Maka, cinta bukan sekedar ungkapan untuk dirasa. Lebih dari itu, ia adalah kata kerja untuk dijalani.

Selamat mencintai.

Aku mencintaimu karena Allah, wahai pembaca tulisanku.

0 komentar :

Posting Komentar

Cancel Reply