Mengapa Aku Akhirnya Memilih Melintas

Suatu ketika ada seseorang menanyakan pertanyaan menggelitik yang jawabannya butuh rada mikir sebenernya"Mas, emang kamu nggak ngerasa rugi gitu nggak kerja di bidangnya? Terus kuliahmu selama ini jadi sia-sia dong?" (monmaap saya lupa dialognya, intinya begitu).

Bukannya saya tidak pernah memikirkannya. Justru saya sudah berfikir sejak lama dan matang-matang. Dan hilir dari perenungan saya biasanya saya sampaikan dalam kalimat pendek, "Saya belum minat kerja di proyek". Pendek memang, tapi ada begitu banyak pertimbangan di baliknya.

Let me explain...

Secara singkat, saya awali dengan prolog mengapa saya pada akhirnya berkuliah di jurusan yang bahkan nggak saya sukai saat SMA. Tidak disukai lantaran di dalamnya penuh rumus-rumus fisika, apalagi ini fisika terapan yang lebih susah dari fisika aslinya, bagi saya. Padahal semasa SMA, dari 3 mata pelajaran sains, paling nggak suka itu ya fisika. Sebabnya, dari beragam pilihan yang saya pilih, tak satupun direstui oleh ibu. Pada akhirnya, saat saya mulai kebingungan hendak kemana meneruskan perjalanan, teman saya menawarkan jurusan yang dia ambil; Teknik Sipil. Yang pada awalnya saya kira bakal jadi pegawai sipil. Eh, ternyata bikin bangunan. Kuli, tukang? Ya bukan.

Saya berusaha berfikir optimis bahwa jurusan inilah yang terbaik untuk saya. Saya akan begini begitu, melakukan ini sambil melakukan itu, lalalayeyeye... . Tapi nyatanya optimis saja tidak cukup. Dan benar, akhirnya saya keteteran hingga menjadi lebih lambat dari kawan seangkatan lain. Saya pun di awal sangat kesulitan memahami materi-materinya karena ini cukup baru dan asing buat saya. Hingga pernah saya menghilang dari dunia kampus selama beberapa waktu. Akhirnya ketika magang di Bekasi dulu, hal itu semakin menguatkanku untuk menjadikan "belum minat" pada pekerjaan linier pasca kampus. Alasan yang menjadi pondasinya sebenarnya karena saya ingin menyelamatkan lebih banyak jiwa manusia. Kenapa? Karena saya sadar diri, saya tidak expert bahkan cuma biasa-biasa saja dalam pemahaman saya di bidang keteknikan. Karena itu, daripada ketika menjalankan proyek saya melakukan kesalahan fatal, lebih baik saya tidak melakukannya sekalian sehingga nyawa orang yang akan menggunakan fasilitas itu tidak terancam. Hehe... . Lho tapi kan di proyek nanti juga diajari lagi. Memang. Itulah alasan keduanya. Pekerjaan di proyek itu bukan pekerjaan ringan. Berat. Sangat. Bukannya saya lemah ya, tapi memforsir tubuh untuk terus bekerja di bawah tekanan itu bukanlah hal yang baik. Kasihan tubuh tidak mendapatkan haknya, hehe... . Dulu ketika saya magang, pekerjaan pengecoran biasanya dilakukan malam hari. Sehingga, mau tidak mau pengawas lapangan harus berada di lokasi saat pengecoran berlangsung. Dan itu butuh waktu berjam-jam mengingat pelat yang dicor cukup luas (saat itu proyek apartemen). Selain itu, tekanan-tekanan lain dari mulai tekanan fisik, mental (sebab terkadang ada atasan yang keras, pemilik proyek yang nggak mau tau, deadline perhitungan dan gambar, atau kesalahan dalam pengerjaan dapat membuat mental jatuh bagi sebagian orang), atau hal-hal lain juga berpengaruh pada keseharian di proyek. Meski tidak saya sangkal jika di proyek ada hal-hal yang menggembirakan juga, misalnya ketika peresmian atau ketika telah selesai mengerjakan satu seksi area. Tapi secara umum gambaran kehidupan proyek itu demikian adanya. Pernah saya dimarahi pekerja di proyek padahal saya nggak salah. Iya bener. Yang salah tuh dia karena pekerjaannya nggak bener sehingga tembok yang dibeton jadi keropos. Dan karena kebetulan saya berada di dekat situ dan melihat dengan mata kepala sendiri kerusakannya, saya malah dimarahi dan diancam untuk jangan dilaporkan sembari pekerja itu berusaha menutupnya. Lah... Lahhhhh... .

Alasan ketiga, dan ini alasan yang baru-baru saja sering terpikirkan (hahahaha...) adalah karena pekerjaan di proyek biasanya berlokasi jauh dari tempat tinggal. Ya kali sekitar rumah isinya pekerjaan proyek semua, emang rumahmu di site? Saya pernah bertanya kepada salah satu engineer di tempat magang saya, "Mas, pulang ke rumah berapa bulan sekali?". Katanya, tiga atau enam bulan sekali. Yaamploppppp lama banget kannn... . Jadi ketika masnya kala itu mau balik ke rumah, meski hanya beberapa hari (seminggu kayaknya), saya melihat ada sumringah bahagia di balik wajahnya. Bayangkan, hei kamu, yang besok jadi istri saya, yang semoga baca tulisan ini, apa mau LDR-an sama saya berbulan-bulan? Saya mah nggak mau. Pengennya deket terus. Hehe... .

Alasan keempat, yang mungkin ini klise juga, adalah karena di beberapa bagian ada lahan basah yang benar-benar syubhat jika kita tak berhati-hati. Mudahnya, duit kamu itu asalnya dari mana? Dari pemilik proyek murni atau ada tambahan-tambahan lain di luar itu yang didapat dengan cara-cara yang tidak semestinya? Karena sudah menjadi rahasia umum bahwa permainan uang di dalam dunia proyek itu pasti ada, bahkan di perusahaan bertaraf nasional sekalipun (meski faktanya saya tidak tahu, tapi banyak yang berkata demikian, dan meski bisa jadi telah ada perombakan sistem terbaru di perusahaan tersebut, namun jika bagian kepala masih sama seperti sebelumnya, apakah signifikan perubahannya?). Jujur saja, saya ini masih takut memakan uang haram dan berusaha berhati-hati dengan uang yang syubhat. Uang seratus ribu jatuh di jalan aja saya setengah hati berkeinginan memilikinya, apalagi uang skala besar di proyekan begitu. Anti syubhat-syubhat club. Makanya, daripada ragu, saya nggak mau ambil pusing. Tinggalkan saja.

Itulah mengapa saya akhirnya beralih ke dunia desain dan mendalaminya hingga akhirnya bisa mendapatkan uang dari desain. Itu pula yang mendorong saya dan akhirnya memberikan jalan melalui perantara sahabat saya untuk memulai usaha berjualan merchandise dan sovenir. Tentu saja semua itu dibungkus dengan desain yang apik. Saya gitu lho. Kenapa akhirnya malah berjualan? Padahal kalau dipikir-pikir, gaji bekerja di proyek itu lumayan besar. Kalau di meme anak teknik, anak teknik semasa kuliah itu hidupnya susah, tapi setelah bekerja dan reuni, datangnya pada naik mobil sport. Tapi itu kan meme ya.

Alasan pertama dan paling utama adalah mencari keberkahan dan menghindari syubhat dunia konstruksi. Kata Nabi, penghasilan yang paling baik adalah yang berasal dari jerih payah sendiri dan jual beli yang mabrur. Jika ia paling baik, maka tentu Allah limpahkan keberkahan di dalamnya. Sehingga, pedagang yang jujur, dalam hadits lain dikatakan, akan bersama para Nabi, orang-orang jujur, dan orang yang mati syahid. Betapa mulianya. Keberkahan ini pula yang akan menuntun kepada terbukanya kebaikan-kebaikan lain, sehingga berdagang secara jujur selain melatih diri untuk senantiasa bersih, juga menjaga iklim sekitar agar tetap baik.

Kedua ya jelas, ingin kaya. Memangnya siapa yang tak ingin hidupnya berkecukupan? Oke, berkecukupan itu mungkin relatif, tapi berlebih maknanya akan sama. Semua orang ingin hidupnya berlebih, Sebab dengan berlebih, kita telah selesai dengan urusan diri sendiri, sehingga bisa berbuat lebih kepada urusan lain di sekitar kita. Orang kaya dengan orang tidak kaya tentu berbeda. Bedanya ada pada bahwa orang kaya mampu berbuat yang tidak bisa dilakukan orang yang tidak kaya, seperti zakat, shodaqoh, atau infaq. Dan inilah sesungguhnya yang saya incar. Saya kadang sedih ketika dimintai teman atau melihat ada peluang berdonasi namun pada saat itu saya tidak memiliki sesuatu yang bisa didonasikan. Karena itulah, definisi kaya bagi diri saya adalah ketika saya bisa memberikan sesuatu yang bermanfaat (terutama materi) kepada orang lain. Bukannya ketika materi tertumpuk banyak. Teladan saya pada urusan ini ada banyak; Abu Bakar, Umar, Utsman, Abdurrahman bin Auf, atau bahkan Rasulullah sekalipun. Terlebih, dengan berdagang atau berjualan, kita bisa menentukan sendiri seberapa ingin kita kaya. Berbeda dengan pekerja yang keuangannya telah ditentukan oleh perusahaan dan biasanya stabil. Dengan berjualan, ikhtiar dan tawakkal kita makin kuat. Sebab berjualan penuh ketidakpastian. Sesungguhnya, dengan berjualan ini, banyak sekali values dan hikmah-hikmah yang bisa diambil.

Ketiga, saya orangnya susah diatur. Lebih baik saya mengatur diri sendiri ketimbang saya diatur orang lain padahal saya bisa. Dalam artian, bekerja sebagai pekerja kantoran, PNS, atau sejenisnya pasti memiliki jam kerja. Jam kerja yang strict dan berulang itu yang membuat saya cepat bosan dan tidak bersemangat. Dengan berjualan, sesungguhnya semua kita sendiri yang mengatur. Karena itu, akan lebih fleksibel menentukan berbagai halnya.

Keempat, bahwa berjualan merupakan kegiatan baru sama sekali selama saya hidup hampir seperempat abad ini. Dan saya ingin belajar dari sejak merintis, mengembangkan, hingga menjadi besar.  Tidak ada riwayat dalam jalur keluarga saya seorang pedagang, kecuali nenek saya yang dulu berjualan di pasar dan om saya yang sekarang terjun ke dunia bisnis. Sisanya, jika bukan guru ya pekerja kantor.

Kelima, saya ingin dekat dengan keluarga, bukannya LDR. Dengan dekatnya terhadap keluarga, saya bisa membimbing keluarga (keluarga saya nanti ehehehe...) agar menjadi lebih baik dan tetap dalam pengawasan. Dan semoga dengan itu saya bisa memiliki keluarga yang harmonis heuheu... .

Saya sadar bahwa jalan yang saya ambil ini masih panjang untuk mencapai puncak rantai makanan, bahkan kata guru ngaji saya dulu, keluar dari zona nyaman. Sebab, pekerjaan yang diambil adalah pekerjaan lintas bidang, yang tidak saya pelajari, dan penuh ketidakpastian dalam kalkulasi manusia. Tapi saya percaya bahwa rizki itu tak tertukar dan telah diberikan sesuai takarannya masing-masing kepada makhlukNya. Sehingga, berjualan pun saya tidak merasa tertekan dan cemas berlebihan. Bahkan saya banyak belajar dari sini tentang tawakkal, optimisme, ikhlas, berusaha mencari keberkahan, dan lainnya.

Tulisan ini bukan dimaksudkan untuk menjustifikasi dan menyudutkan bahwa pekerjaan proyek adalah syubhat bahkan terlarang. Hal ini hanya perspektif diri saya sendiri dalam memandang urusan pekerjaan sesuai kacamata pribadi. Bahwa di dalam proyek ada orang-orang baik, itu benar. Bahwa di dalam proyek ada atmosfer positif, itu benar. Bahwa di dalam perdagangan rawan akan riba, itu benar. Bahwa di dalam perdagangan bisa terjadi kecurangan, itu benar. Tapi saya lebih nyaman berada dalam dunia perdagangan daripada dunia proyek, terlebih ini adalah creative industry yang sangat berkaitan erat dengan softskill yang saya pelajari secara otodidak ini. Karena itu, saya mohon do'a dan dukungan dari semuanya, agar apa yang saya ingin tuju di balik perdagangan ini dapat tercapai dan membawa manfaat luas. Sahabat saya ide inspirasinya.

Tulisan ini pula bukan bertujuan untuk mendikte siapapun. Saya hanya ingin memberikan inspirasi kepada yang membaca bahwa ada banyak jalan meraih impian dan kesuksesan. Bahkan kesuksesan sejati tidak diukur dari banyaknya materi, melainkan dari banyaknya manfaat yang bisa kita tebar kepada sekeliling. Karena itu, apapun keputusan dari pilihanmu, yang terpenting adalah dirimu bertanggung jawab atasnya.

0 komentar :

Posting Komentar

Cancel Reply