Feminisme

Beberapa hari ini, mulai santer kembali isu mengenai pelecehan seksual yang peraturannya masih digodog oleh DPR RI (sejak 6 April 2017 belum rampung) dengan diajukannya Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS). Kasus terakhir yang sempat heboh adalah pelecehan yang dilakukan kepala sekolah di SMA 7 Mataram terhadap seorang guru honorer bernama Baiq Nuril. Namun sayangnya kasus ini dihentikan oleh kepolisian lantaran tidak cukupnya alat bukti yang dapat memenuhi unsur pidana. Sementara Komnas Perempuan melaporkan hingga akhir 2017 terdapat 65 kasus kekerasan terhadap perempuan. Di Jakarta, LBH APIK melaporkan ada 39 kasus kekerasan seksual yang ditangani. Namun, menurut Dosen Fakultas Hukum UGM, Wiyanti Eddyono, hanya 10% kasus kekerasan seksual yang diproses di kepolisian dan lebih dari separuhnya tidak dilanjutkan atau diproses di pengadilan. Yang lebih mengejutkan lagi, berdasar data catatan tahunan pelaku kekerasan seksual di ranah privat atau personal tahun 2018 yang dikeluarkan Komnas Perempuan, kekerasan seksual justru lebih banyak dilakukan oleh orang terdekat. Dari 2979 kasus, 1528 kasus dilakukan oleh pacar, 425 kasus oleh ayah kandung, 322 kasus oleh paman, 205 kasus oleh ayah tiri, dan 192 kasus oleh suami. Ini jelas adalah sesuatu yang perlu mendapat bold, italic, dan underline tebal. Oleh karena itu, sangat wajar bila banyak orang yang menginginkan untuk dibuatkan sebuah aturan mengenai kekerasan seksual ini.

Dalam lingkup sosial budaya di Indonesia, sistem patriarki yang sedikit banyak masih mewarnai di lingkungan sosial masyarakat memberikan celah bagi para pelaku kekerasan seksual untuk berlaku jahat dengan ancaman intimidatif terhadap korban untuk melindungi dirinya. Perlu langkah-langkah pencegahan yang tepat untuk membatasi ruang gerak para pelaku ini. Namun, RUU P-KS ini pun dirasa masih memiliki celah yang perlu perbaikan. Sebagai contoh, definisi kekerasan seksual sendiri memiliki masalah. Pada BAB I Pasal 1 dalam Ketentuan Umum pada draft RUU P-KS, definisi Kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik. Yang perlu digarisbawahi adalah kata-kata secara paksa. Maka, sesungguhnya segala poin pembahasan kekerasan seksual bersumber pada keterpaksaan atau tidaknya. Sudah banyak orang yang menggarisbawahi persoalan ini, seperti Akmal Sjafril, penggagas pemikiran Islam, atau Suci Susanti, ketua bidang media Aliansi Cinta keluarga (AILA) yang mempersoalkan hal ini. Bahkan telah terbit petisi untuk menolak RUU P-KS. Hal ini, sebab, jika segala tindakannya didasari oleh saling suka, maka tidak akan termasuk dalam kekerasan seksual. Jika demikian, dari sudut pandang lain, hal ini sama saja dengan upaya pelegalan tindakan-tindakan asusila asal berlatar suka sama suka.

Permasalahan kedua adalah mengenai digunakannya term gender, alih-alih menggunakan kata jenis kelamin atau seks. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), definisi gender adalah pembedaan peran, kedudukan, tanggung jawab, dan pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan yang ditetapkan oleh masyarakat berdasarkan sifat perempuan dan laki-laki yang dianggap pantas menurut norma, adat istiadat, kepercayaan atau kebiasaan masyarakat. Jadi, gender merupakan sebuah konstruksi sosial yang dibentuk masyarakat untuk mendefinisikan perbedaan karakteristik seseorang. Hal itulah yang membentuk karakter maskulin dan feminin. Namun karena konstruksi sosial, maka pelabelan gender terserah kepada kesepakatan masyarakat yang membuatnya. Bahkan, di Thailand, gender sendiri terbagi ke dalam 18 jenis. Gilak kan...

Sebenarnya apa sih feminis? Dalam buku Misykat karya Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi, feminis berasal dari bahasa latin Fei yang artinya iman, dan minus yang artinya kurang. Sehingga arti katanya menjadi kurang iman. Hal ini sebab, wanita di Barat dulu memang diperlakukan seperti wanita kurang iman. Mereka dianggap hanya setengah manusia. Bahkan di abad pertengahan, wanita-wanita dituduh sebagai penyihir. Maka wajah dunia Barat dianggap terlalu macho. Adapun lawan feminis yakni maskulin (masculinus) tidak lantas membuatnya menjadi penuh iman. Maskulin lebih digambarkan sebagai strength of sexuality, karena itu wanita menjadi korban perkosaan laki-laki dalam masyarakat dunia Barat, selain menjadi korban inkuisisi bagi agama seperti yang disebutkan di atas (dianggap sebagai penyihir yang diburu dan dibakar). Maka tak pelak, agama dan laki-laki menjadi musuh wanita Barat. Dari situlah kemudian gagasan feminis lahir. Di Barat, ia lahir dari hasil pengekangan dan pembatasan atas wanita. Karena itu, tidak heran jika kampanye mereka menyuarakan soal ketidakadilan dan ketertindasan kaum wanita.

Feminis dan cendekiawan telah mengkategorikan sejarah gerakan ini ke dalam tiga gelombang. Gelombang pertama muncul di abad ke 19 dan awal abad 20. Gelombang pertama lebih berfokus kepada gerakan hak pilih (Suffrage Movements). Awalnya, gerakan ini berfokus untuk mengkampanyekan kesetaraan kontrak, mendapatkan hak properti untuk wanita, dan menolak kepemilikan suami atas istri dan anak. Sebab di abad Medieval Eropa, wanita tak memiliki hak untuk memiliki properti, belajar, dan bahkan berpartisipasi di ranah publik. Pada akhir abad 19, di Prancis, wanita masih dilarang untuk tampil di depan publik. Sedangkan di Jerman, suami masih memiliki hak untuk menjual istrinya. Pada akhir abad 19 pula, aktivis feminis berfokus pada mendapatkan kekuatan politik, terutama dalam masalah hak pilih.

Gelombang kedua terjadi di awal tahun 1960-an hingga akhir 1980-an. Estelle Freedman mengatakan bahwa gelombang kedua lebih berfokus kepada isu kesetaraan, seperti mengakhiri diskriminasi. Di tahun 1963, tercatat terjadi diskriminasi pekerjaan, pembayaran yang tidak setara, ketidaksetaraan yang legal, dan sedikitnya layanan dukungan yang mendukung pekerjaan bagi wanita. Aktivis feminis Carol Hanisch menciptakan slogan yang menjadi identik dengan gelombang kedua ini yaitu The Personal is Political. Para feminis ini memandang ketidaksetaraan dalam budaya dan politik wanita sebagai hubungan yang tidak bisa dilepaskan dan mendorong wanita untuk memahami aspek personal dirinya.

Gelombang ketiga dimulai awal tahun 1990-an sebagai respon dari kegagalan gelombang kedua. Gelombang ketiga berusaha menginterpretasi kembali definisi tentang gender dan seksualitas sebagai basis ideologi gerakan mereka. Mereka melakukan micro-politic dan menantang paradigma pada gelombang kedua tentang apa yang baik dan buruk bagi perempuan. Namun meski begitu, dalam internal kaum feminis sendiri masih terdapat perdebatan seperti ada atau tidaknya perbedaan penting antara jenis kelamin dan peran gender ditentukan oleh konstruk sosial. Gelombang ketiga ini merupakan reaksi atas gelombang kedua yang lebih berfokus pada wanita kelas menengah ke atas berkulit putih. Sebab memang kebanyakan pemimpin gelombang kedua merupakan wanita terdidik berkulit putih, yang membangun gerakan feminis berdasar keprihatinan di sekitar mereka sendiri. Hal ini menimbulkan hubungan yang ambivalen terhadap wanita dari kelas dan ras lain. Feminis kulit putih menyerukan persatuan dan solidaritas yang didasarkan atas kelas atau kasta berbasis gender yang disebutnya mengalami penindasan bersama. Namun sayangnya, banyak wanita berkulit hitam sulit melihat makna penindsan bersama ini, sebab bagi banyak wanita Afrika-Amerika, wanita kulit putih sama opresornya seperti pria kulit putih lainnya. Hingga Toni Cade Bambara dalam The Black Woman: An Anthology (1970) bertanya, "How relevant are the truths, the experiences, the findings of white women to black women?", dan Sojourner Truth, seorang feminis kulit hitam berkata, "I don't know that our priorities are the same, that our concerns and methods are the same".

Post-feminisme sendiri merupakan sebuah sudut pandang yang bereaksi terhadap feminisme. Post-feminisme bukan berarti anti-feminisme, namun merupakan koreksi dari gerakan feminisme itu sendiri. Mereka beranggapan bahwa wanita telah mencapai tujuannya pada gelombang kedua, dan menjadi kritis terhadap gelombang ketiga. Term post-feminisme pertama kali digunakan tahun 1980-an untuk mendeskripsikan reaksi terhadap feminis gelombang kedua.

Maka, melihat sejarah terbentuknya, kita bisa mengetahui bahwa sebenarnya gerakan feminis adalah gerakan yang berasal dari nafsu amarah wanita. Pemicunya adalah apa yang mereka sebut ketidakadilan dan penindasan. Sasarannya adalah laki-laki, konstruksi sosial, dan segala sistem yang mengatur seperti politik dan ekonomi. Ketika diimpor ke negara kita, bungkusnya pemberdayaan perempuan.

Yang menarik adalah, meski feminisme terlihat berusaha untuk memperjuangkan hak-hak wanita, Kathy Caprino dalam artikelnya di Forbes berjudul What is Feminism, and Why Do So Many Women and Men Hate It? menyebutkan 5 alasan mengapa orang-orang membenci feminisme. Pertama, karena feminisme diasosiasikan dengan wanita yang marah, kuat, dan keras, sementara komunitas kita terus memberikan hukuman bagi wanita yang seperti itu. Dalam artikel Forbes 25 Agustus 2015 menyebutkan studi baru dari penulis paling laris di New York Times, Joseph Grenny dan David Maxfield mengungkapkan bahwa gender bias adalah nyata. Wanita yang telah dicap sebagai forceful atau asertif merasa mengalami penurunan kompetensi sebesar 35% dan penurunan nilai hingga $15,088. Berbeda dengan laki-laki yang mengalami hal yang sama, penurunan kompetensi hanya sebesar 22% dan penurunan nilai sebesar $6,547. Alasan kedua, karena banyak orang takut bahwa feminisme akan menghilangkan kekuatan, pengaruh, otoritas, dan kontrol, serta peluang ekonomi bagi laki-laki. Ketiga, orang-orang percaya bahwa feminis ingin mengontrol dunia dan menjatuhkan laki-laki. Keempat, orang-orang takut bahwa feminisme akan menghapuskan tradisi, kepercayaan agama, dan kestabilan peran gender. Kelima, banyak orang takut feminisme akan membawa perubahan negatif terhadap hubungan, pernikahan, masyarakat, budaya, dinamika kekuasaan dan otoritas, peluang dalam bisnis, pekerjaan, dan ekonomi, ketika wanita setara dengan laki-laki.

Feminisme erat kaitannya dengan kesetaraan gender. Feminis menjual wacana kesetaraan gender agar bisa menghegemoni dunia dengan gagasan ini. Salah satu buktinya adalah ketika wacana ini masuk ke PBB tahun 1975, ia berjudul Women in Development (WID). Kini, PBB dengan United Nation Development Index (UNDP)-nya membuat matriks Gender Development Index (GDI) yang mengukur tingkat kemajuan negara berdasar peran serta wanitanya. Neraca Gender Empowerment Measure digunakan untuk mengukur peran politik dan sosial wanita. Indonesia pun ikut-ikutan dengan membuat Inpres No.9/2000 tentang Pengarus-utamaan Gender Dalam Pembangunan. Tapi nyatanya, nilai GDI  Vietnam yang lebih tinggi dari Amerika tidak lantas membuatnya lebih maju daripada Amerika.

Kembali lagi kepada persoalan di awal mengenai RUU P-KS. Seperti yang telah dijelaskan di awal, bahwa rancangan undang-undang ini masih memiliki celah-celah yang bisa dimanfaatkan oleh para feminis dan orang-orang liberal lainnya untuk mengakali aturan yang telah dibuat. Pelecehan seksual memang akan dikenakan pasal pidana. Namun bila hal itu didasari saling suka, maka aktivitas seksual tidak akan termasuk pidana. Meski hal itu dilakukan oleh dua orang yang tak memiliki ikatan apapun. Demikian pula pada eksploitasi seksual. Jika suka sama suka, maka hal itu akan dianggap bukan eksploitasi. Pemaksaan pemakaian kontrasepsi pun akan dikenakan pasal pidana. Namun akan berbeda bila hal itu dilakukan secara suka rela. Pemaksaan aborsi, perkawinan, dan pelacuran juga akan dikenakan pasal pidana. Tapi hal itu takkan berlaku jika dilandasi saling rela. Inilah poin masalah yang perlu diperbaiki. Sebab muasal dari semua aturan terkumpul dalam ruang keterpaksaan. Maka jika semua tindakan dikeluarkan dari ruang keterpaksaan, aturan menjadi tidak berlaku. Pun dalam penggunaan frasa yang lebih memilih kekerasan seksual ketimbang kejahatan seksual. Sebab, kekerasan bersifat lebih umum dan lebih bebas nilai. Sementara kejahatan memiliki tolok ukur dan pandangan tersendiri, baik dari sisi moral, budaya, sosial, psikologis, maupun agama. Lebih-lebih kepada agama. Sebagai contoh, seorang gay takkan dikenakan pidana ketika dia melakukan perbuatan asusila terhadap pasangan gaynya, sebab dalam aturan tidak ada yang dilanggar. Namun berbeda jika kita melihat dari sudut pandang kejahatan seksual, maka berdasar norma susila dan agama, tindakan gay ini telah menyalahi aturan sehingga perlu dikenakan sanksi. Secara moral dan etika, perilaku ini jelas menyimpang dari kodrat manusia normal. Dan dari sisi agama, tidak ada ajaran agama manapun yang akan melegalkan praktek menyimpang seperti ini. Maka yang terjadi selanjutnya adalah bias moral. Baik dan buruk menjadi kabur lantaran tolok ukurnya berbeda. Semua tindakan akan diadili berdasar keinginan dan kesepakatan komunitas. Ini sama saja mengesampingkan humaniora demi tindakan kebinatangan. Lebih parah lagi, bila ada seorang penghulu menolak menikahkan dua orang yang menurut aturan, baik sosial maupun syariat terlarang, namun menurut aturan hukum tidak. Maka bisa-bisa yang dikenakan sanksi adalah penghulunya. Ini kan jadi musibah ya. Kalau demikian aturan ini berlaku, maka yang terjadi adalah bencana moral pada bangsa kita.

Jika kita melihat karakteristik dari feminis, maka sesungguhnya adalah wajar bila mereka mendukung upaya pelegalan ini. Sebab, asal mula feminisme sendiri berangkat dari ketidakadilan dan ketertindasan, Mereka bangkit dengan rasa amarah menggebu. Maka sangat wajar bila yang mereka serukan adalah soal kebebasan yang dibungkus dengan kain kesetaraan gender. Padahal tidak semua wanita menginginkan setara. Kebebasan yang mereka perjuangkan pun sejatinya kebebasan yang abstrak. Yang mereka inginkan adalah kebebasan yang tak dibatasi. Padahal setiap kebebasan memiliki batas yang tidak boleh dilanggar demi menjaga keharmonisan. Pun dengan upaya mereka untuk merubah konstruksi sosial soal gender. Padahal menurut Ratna Megawangi, majalah Time edisi 8 Maret 1999 memuat artikel bertajuk The Real Truth About Woman Bodies yang menjelaskan bahwa memang secara alamiyah, biologis, dan genetik, wanita berbeda dari laki-laki. Hal ini akan sulit untuk dirubah dalam kehidupan sosial budaya. Karena itu, gagasan kesetaraan gender tidak realistis.  Jadi, feminis ini sebenarnya halu.

Maka kita, sebagai orang-orang yang masih diberi kewarasan, perlu melakukan upaya dari berbagai sisi untuk menggagalkan agenda-agenda feminisme, demi menjaga generasi penerus, keluarga, dan masyarakat kita terhindar dari bencana moral. Kita tidak ingin aturan soal kekerasan seksual ini dihapuskan. Namun, aturan tersebut harus diperbaiki guna memperkecil peluang terjadinya kemaksiatan.

____________________________________________________________________

Sumber :


- http://hdr.undp.org/en/composite/GDI diakses 30/01/2019 pukul 09.31 WIB

- https://m.facebook.com/fansadianhusaini/posts/1233624076738670 diakses 30/01/2019 pukul 09.18 WIB

https://m.facebook.com/fansadianhusaini/posts/745230818911334 diakses 30/01/2019 pukul 09.17 WIB

- https://www.forbes.com/sites/kathycaprino/2015/08/25/gender-bias-is-real-womens-perceived-competency-drops-significantly-when-judged-as-being-forceful/#461088a32d85 diakses 30/01/2019 pukul 08.23 WIB

https://www.forbes.com/sites/kathycaprino/2017/03/08/what-is-feminism-and-why-do-so-many-women-and-men-hate-it/amp/ diakses 30/01/2019 pukul 08.18  WIB

http://www.gender.cawater-info.net/knowledge_base/rubricator/feminism_e.htm diakses 30/01/2019 pukul 05.29 WIB

https://www.britannica.com/topic/feminism diakses 30/01/2019 pukul 05.29 WIB

https://m.kiblat.net/2019/01/25/aila-ruu-penghapusan-kekerasan-seksual-jebakan-bagi-kaum-hawa/ diakses 29/01/2019 pukul 13.58 WIB

https://www.bps.go.id/subject/40/gender.html diakses 29/01/2019 pukul 09.56 WIB

https://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/19/01/23/pls51q349-akademisi-desak-ruu-kekerasan-seksual-segera-diratifikasi diakses 29/01/2019 pukul 07.55 WIB

https://news.detik.com/berita/d-4404031/polisi-setop-kasus-baiq-nuril-vs-kepsek-karena-tak-ada-kontak-fisik diakses 29/01/2019 pukul 07.51 WIB

https://nasional.kompas.com/read/2019/01/25/19464641/urgensi-undang-undang-penghapusan-kekerasan-seksual diakses 29/01/2019 pukul 07.45 WIB

https://news.detik.com/berita/4319832/dpr-diminta-segera-sahkan-ruu-penghapusan-kekerasan-seksual diakses 29/01/2019 pukul 07.45 WIB

0 komentar :

Posting Komentar

Cancel Reply