Mengeja Namamu
Malam makin larut, namun mata masih
tak ingin berpisah dari melihat sunyinya malam. Kau tahu, saat ini aku sedang
memikirkanmu! Ya, memikirkan masa-masa yang telah berlalu serta masa depan apa
yang akan kita jumpai kelak. Kau ingat, dua tahun lalu kita sama-sama berhasil
menyelesaikan proses belajar di SMA. Kemudian setelah lulus, kita sama-sama
menentukan pilihan hidup kita selanjutnya, sesuai kata hati kita. Kurasa tentu
banyak yang berpikir untuk melanjutkan studi di perguruan tinggi, toh demikian
juga diriku. Maka cerita kita akhirnya terangkai sendiri-sendiri. Eh, tapi
belum tentu juga, nyatanya aku juga mendapati dirimu yang lain disini. Juga
dirimu yang lainnya lagi di seberang kota sana. Aku juga bertemu dirimu yang
lainnya yang belum pernah kukenal, bahkan kutemui. Dan sekarang, aku mulai
me-narikan penaku lagi di lembaran-lembaran buku tulis baru.
Meski kini aku jarang bertemu
sosokmu yang lama, namun sosokmu yang baru kini juga membuatku bisa tersenyum.
Malah kadang aku sedikit sedih dengan dirimu yang jauh disana. Ada sebalut
rindu menyeruak di sela-sela hatiku, namun bukan itu yang membuatku lebih
sedih. Tak usahlah sampai kukatakan disini, kau bercerminlah saja. Meski kita
bahkan belum sempat akrab, bahkan saling sapa, namun setidaknya namamu pernah
kueja dan terlintas di benakku. Maka dari itulah aku sedih kepada dirimu yang
pernah melintasi dimensiku berubah, berbeda dari dulu.
Di sini aku melihatmu. Bahkan dalam
jarak yang sangat dekat. Oh, padahal sebelumnya kita belum pernah bertemu.
Namun aku memang sudah percaya bahwa aku akan menemukanmu. Dalam belantara
dunia kampus yang penuh hingar-bingar ini, kudapati sosokmu di sudut
pandanganku. Lalu aku berkenalan. Dan jadilah kudapati dirimu di hadapanku. Kau
tahu, selalu ada kesejukan saat bersamamu. Bahkan selalu kudapatkan sebuah
ikatan yang lebih baik dari dua tahun lalu, kurasa. Karena senyummu, karena
ramahmu, bahkan diriku yang berusaha memberi batas dengan dunia pun terbuka
untukmu. Aku senang.
Semakin hari semakin banyak kudapati
sosok-sosok dirimu. Hingga aku terlena dalam sebuah cerita ronologis bertema
‘dalam dekapan ukhuwwah’. Ya, dalam dekapannyalah aku merasa seperti seorang
musafir yang berada di oase. Terik panas tak terasa begitu menyengat saat
ukhuwwah meneduhkanku. Hingga aku terlelap.
Dalam mimpiku, aku berdiri di sebuah
padang rumput hijau. Dikelilingi kebun yang berbuah lebat dan sangat
menggiurkan. Di setiap tepinya kulihat pagar-pagar kayu besar tertancap di
tanah dan berdiri dengan tegaknya. Lalu aku berjalan. Kesana-kemari, menikmati
buah-buahan yang beraneka ragam. Sesekali, saat aku memetik, kulihat ada orang
yang berusaha meraih dahan terluar dari kebun itu, berharap untuk dapat
merasakan manisnya buah di kebun tersebut. Satu, dua, tiga, sepuluh, seratus,
ah… ribuan orang rupanya yang sedari tadi berusaha meraihnya. Aku coba membantu
mereka semampuku dari balik pagar. Kuberikan buah-buah itu kepada mereka satu
persatu. Namun belum sampai sepertiganya, tubuhku terasa kelelahan dan aku pun
terjatuh tak sadarkan diri. Lalu aku tertidur dan bermimpi.
Dalam mimpiku, aku sedang berlari di
sebuah jalan di kota yang sangat sepi. Kemudian aku mendengar sebuah suara
memanggilku untuk masuk ke dalam sebuah rumah. Aku kenal suara itu, karena
suara itu mirip suaramu. Lalu aku masuk ke rumah asal suara terdengar, dan
disana telah kudapati setumpuk perkakas pertanian, seperti sekop, cangkul, dan
sebagainya. Kuambil semua yang bisa kubawa dan segera pergi meninggalkan rumah
itu. Seketika aku tersadar dari tidurku dan kulihat cangkul serta macam-macam
perkakas pertanian tergeletak di sampingku. Dalam kondisi yang setengah sadar,
kudengar sayup-sayup suara orang-orang riuh seperti di pasar. Kemudian segera
kukumpulkan kesadaranku untuk menganalisa suara-suara apa itu. Begiru sadar,
ternyata itu adalah suara orang-orang tadi yang berusaha meraih dahan di kebun.
Tanpa pikir panjang, kuraih perkakas-perkakas itu dan kuayunkan dengan keras ke
arah pagar-pagar pembatas itu hingga rusak. Akhirnya orang-orang di luar kebun bisa
masuk ke dalam kebun dan menikmati buah-buahan juga sama sepertiku. Pada saat
itu, aku merasakan sebuah perasaan menyelinap. Persis seperti ketika aku
bersamamu. Ada rasa bahagia. Ada rasa tenang.
Aku pun tersadar dari lelapku.
Kulihat dirimu sedang asyik membaca Al Qur’an di salah satu sudut ruangan. Aku
tersenyum dalam hati. Lalu kau menyapaku seperti biasanya. Kali ini aku
benar-benar tersenyum hingga gigi-gigiku terlihat. Aku lega. Aku senang
mengetahui bahwa dirimu masih ada disini, disampingku. Dan memang dulu, ketika
aku masuk ke belantara kampus ini, yang pertama kucari adalah masjid. Hingga
akhirnya kutemukan dirimu berada disana, menjadi salah satu bagian pengisinya.
Mungkin kedengarannya indah. Namun,
lama-kelamaan aku mulai ragu dengan diriku sendiri. Aku mulai bertanya, sudah
sejujur apakah aku dalam membersamaimu. Terkadang aku merasa tak pantas disebut
dengan sebutan yang sama denganmu. Aku hanya bisa tersenyum dan pura-pura tak
merasakan apapun. Namun sungguh, bagiku itu berat untuk kubawa. Mengalamatkan
kata ganti ‘saudara’ kepadaku yang merasa belum pernah berbuat apapun untukmu,
itu adalah sebuah dilema. Namun aku tetap berbaik sangka bahwa dirimu adalah
lebih baik dariku, dalam banyak hal. Karena itu pulalah, aku bertanya pada
diriku, sejujur apakah aku kepadamu, sepeduli apakah aku denganmu, sepengertian
apakah aku kepadamu, bahkan dalam pertanyaan sepele sekalipun, dimana kamu
tinggal. Aku tertunduk karena tak bisa menjawabnya. Apakah seperti ini ikatan
yang dulunya kurasakan indah bersemi di hati, pikirku. Atau jangan-jangan, aku
hanya bertopeng?
Malam semakin larut, kau tahu. Kini
kesadaranku tak bisa kuperpanjang lagi. Ingin segera kuakhiri, namun aku harus
selesaikan dulu kata-kata yang belum terangkai ini. Entah disana kau sudah tertidur
atau masih asik dengan urusanmu, aku tak tahu. Yang ingin kuketahui adalah,
dimanakah ingatanmu tentangku saat ini, akh? Mulutku bahkan sedikit kelu
untuk menyebut gelarmu itu. Mungkin karena jauhnya level antara aku dan dirimu.
Tentunya aku dibawahmu, menurut cara pandangku. Bukan sekadar untuk memuliakan,
namun karena perspektifku dalam memandang orang lain yang sering kutempatkan
diatasku, mungkin juga ini mempengaruhi terhadapmu.
Jangan heran, bahkan aku ingin
sekali bertanya dan menjawab sendiri, seberapa peduli diriku ini denganmu?
Kuyakin jika kau lakukan hal yang sama denganku, komparasinya akan lebih baik
dirimu. Hatiku berkaca-kaca, inikah yang kau maksud itu? Aku ini hanyalah
seorang peng-klaim, kurasa. Tak ada bukti lebih yang dapat dipercakapkan.
Contoh sederhana saja, seberapa sering diriku menyebut namamu dalam setiap
harap yang dipanjatkan kepada Sang Pencipta? Minim. Sungguh, aku jujur. Aku
belum bisa seperti dirimu yang sering bahkan selalu menyebutkan namaku saat
menghadap Tuhan kita. Dari sini saja, sudah terlihat jauh kan?
Makanya aku bertanya kepada diriku
sendiri, begitukah? Bahkan hanya untuk sekedar mengeja namamu saja aku
kewalahan. Tidak sepertimu yang sering melakukannya dalam diam. Diam-diam kau
do’akan aku.
Maka izinkan aku menyertaimu, untuk
bisa melakukan hal sepertimu. Agar aku tak perlu malu ketika nanti menghadap
Tuhan kita. Oh ya, tadi aku bermimpi. Mungkin itu bisa menjadi introspeksi dan
inspirasi kita bersama. Kurasa kau lebih pandai dalam menyimpulkannya kan? Ah,
jangan merendah begitu, padahal aku selalu memendangmu istimewa lho…
Kau tahu aku menyebutmu apa? Hemm…
kurasa itu rahasiaku saja, kau tak usahlah tahu. Biar masa saja yang bicara.
Biar sekarang aku mengeja namamu saja saja kepada Allah. Berharap yang terbaik
bagi kita nantinya.
Wahai Tuhanku, Engkau tahu seperti
apa perangaiku. Maka terimakasih Engkau berikan seorang yang berada di
sampingku yang bisa kujadikan contoh disamping kekasihMu yang agung.
Terimakasih Engkau berikan orang-orang yang akan selalu menyemangati dan
mengingatkanku di kala aku lelah dan lupa. Maka izinkan aku bersama mereka
dalam senangnya maupun sedihnya, mudahnya maupun sulitnya. Jika Engkau
menyayangiku dengan cara seperti ini, wahai Tuhanku, aku akan mengangungkanMu
dengan memuliakan mereka.
Senyummu itu… Sesuatu sekali… J
Karena kamu sahabatku, sahabat dalam ukhuwwah Islam ini,
dirimu yang sedang berada disana, baik-baik yaa…
Maaf belum bisa mengeja namamu
dengan baik selama ini...
Di sudut kamar, 6 Rajab 1435 Hijriyah yang bertepatan dengan 6 Mei 2014,
Selesai ditulis pukul 01:08 dini hari.
0 komentar :
Formulir Kontak
Labels
berbagi
(189)
curhat
(93)
inspirasi
(91)
nasehat
(89)
Agama
(70)
Cerita
(70)
Opini
(58)
Renungan
(43)
Tulisan Serius
(32)
Introspeksi
(31)
iseng
(27)
Kampus
(26)
Motivasi
(25)
Pengetahuan unik
(18)
Pengetahuan umum
(16)
Sejarah
(14)
cerpen
(13)
Pengetahuan Teknologi
(12)
puisi
(12)
Tidak jelas
(11)
Lirik
(8)
Konspirasi
(7)
Peradaban
(7)
Teknik
(6)
humor
(6)
Tips
(5)
Batas Negeri
(4)
FSLDK
(4)
Lomba
(4)
Temajuk
(4)
Arsitektur
(3)
Poster
(3)
resep makanan
(3)
Berita
(2)
Sipil
(2)
palestina
(2)
ASUSROGID
(1)
Game
(1)
IPA
(1)
KAMMI
(1)
ROG
(1)
WEAREROG
(1)
freeletics
(1)
Popular Posts
-
Ini tugas btw... Tugas kuliahku, wkwk... Jalan merupakan prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, term...
-
Di dalam agama Kristen, tanggal 25 Desember merupakan hari raya mereka yang disebut hari Natal atau kelahiran Yesus. Namun, be...
-
Pernah terpikir, atau mungkin sekedar terbersit, mengapa hati mesti melabuhkan pilihan pada brand bernama Asus ini? Dulu sewaktu SMA,...
-
Entah kenapa judulnya begitu, hahaha... Tapi keliatan keren aja pake judul gitu. Ini adalah kisah pendakian sebenarnya. Beberapa hari lalu...
-
Hati-hati dengan ilmu sihir sigil, karena ia merupakan simbol-simbol untuk menyampaikan pesannya, hal ini seperti yang dilakukan free...
-
Beberapa waktu lalu, ketika kami sedang berkumpul dan berdiskusi (kalau itu disebut diskusi), guru kami membacakan kembali sebuah hadits yan...
-
Original After modding Kita semua bisa merubah tampilan menu standard itu dengan tangan kita sendiri, artinya.. gak perl...
-
Dalam menghadapi masalah, tak jarang, dan sering mungkin, kita membalutnya dengan keluh-kesah tak berkesudahan. Kita sering mendramatisir...
-
#Bagian 11 Aku, bahkan sempat terbayang tentang kematian dalam game seperti anime SAO. Tapi itu anime, kartun, cerita buatan. Sangat berbe...
-
Ada hal lucu saat saya sekali me reply cuitan salah satu kanal media alternatif di Twitter, Tirto . Saat itu Tirto membuat cuitan dari art...
Posting Komentar