Mencari Pahlawan Indonesia : Kepedulian Yang Mulai Luntur (Seri 1)
Angsana mulai terkembang bermahkotakan kuning keemasan yang berguguran di sepanjang jalan pertanda musim kemerau berganti hujan ketika pagi itu kami akan memulai penggalangan dana. Raut muka penuh harap menghiasi setiap dari kami yang hendak menuju ladang pencarian dermawan. Tak terasa hampir dua jam penuh kami berjalan kesana kemari mencari donasi untuk saudara kami di Aceh yang sedang tertimpa musibah banjir dan longsor. Namun yang didapat tak bisa melebihi harapan. Kupikir, karena kami mencarinya di Car Free Day (CFD) yang notabene banyak orang berkumpul, maka donasi yang didapat pun banyak. Ternyata kami hanya bisa meraup uang sebanyak Rp 1.981.200,00. Tak lebih.
Di saat aku menemani kawan berputar mencari dermawan, terpikir olehku beberapa hal sembari melihat respon dari mereka. Tentu saja itu tak bisa kuabaikan, karena mungkin sudah puluhan atau bahkan ratusan merespon dengan respon sama. Dari situ kucermati, mungkin beberapa mempunyai latar belakang logis, namun kuyakin tak sedikit juga yang enggan berinfaq hanya karena masa bodoh, acuh. Namun hal tersebut tak bisa kita salahkan begitu saja, karena bisa jadi kita ikut berperan dalam membentuk sikap seperti itu, tanpa sadar.
Dari sekian manusia yang kutemui, banyak yang menolak untuk menyumbangkan uang sekedar seribu atau dua ribu rupiah. Tanya kenapa? Jangan tanya deh.... Lalu aku berpikir, mungkin karena beberapa alasan, mereka memilih tidak berperan sama sekali ketimbang berperan dalam peran yang tidak jelas. Maksudku, apakah berita banjir Aceh ini dimasifkan oleh media mainstream? Tentu tidak. Bahkan status bencana ini diturunkan menjadi bencana daerah. Itu artinya semakin sedikit informasi yang akan disuplai untuk publikasi dalam skala nasional. Paling menthok adalah berita tersebut hanya terpampang di beberapa website portal berita. Namun sayangnya, budaya kita -mungkin- masih belum terbiasa dengan mengakses berita dari dunia maya itu, karena sosmed masih menjadi primadona di setiap histori browser kita.
Sebuah pemandangan menarik perhatianku. Saat itu kami menghampiri ibu-ibu yang sedang jalan-jalan bersama keluarganya. lalu kami menghampirinya untuk 'meminta' donasi dari beliau. Saat dia masukkan tangan ke saku dan mengeluarkannya, yang terambil adalah uang sepuluh ribu. Lalu tanpa disangka, dia masukkan kembali dan dia ambil uang yang lebih kecil, dua ribu. Kemudian uang itulah yang dimasukkannya ke kotak donasi.
Aku terdiam. Begitukah sikap orang-orang masa kini? Enggan membantu, dan jika membantu pun sekadarnya. Aku tak berniat menjustifikasi, namun realitas selalu menunjukkan hal tersebut. Beberapa kali aku menemukan kasus yang serupa, bahkan pada diriku sendiri, terkadang. Suatu saat ketika aku berjalan disana, di CFD, aku melihat seorang yang kekurangan dalam fisiknya, bahkan untuk berjalan sekalipun harus sampai merangkak. Namun kulihat tak ada seorangpun yang kemudian menjadi sosok pahlawan walau sekedar membantu atau memberikan uang. Pemandangan lain yang pernah kulihat adalah ketika banyak di perempatan jalan anak-anak dan orang dewasa mengamen, meminta-minta kepada pengendara jalan. Sementara tubuh masih terlihat sehat dan bahkan pernah kulihat ada yang membawa handphone. Pikirku, ini apa-apaan. Tak seharusnya mereka begitu, karena mereka masih punya kekuatan. Apapkah sampai seperti ini efek dari kemajuan zaman ini? Apakah sampai akhirnya mereka tak mampu mengikuti arus zaman sehingga mereka harus 'berijtihad' sendiri dalam mencari nafkah mereka?
Kini kepedulian ibarat barang langka, bahkan mungkin telah menjadi sejarah yang hanya diajarkan di bangku sekolah. Takkan ada manusia-manusia yang memiliki jiwa pahlawan seperti dulu kecuali sedikit. Maka ta heran ketika Ust. Salim A. Fillah pernah berkata bahwa jika ada 10 persen saja manusia Indonesia ini memiliki visi peubahan dan mau bergerak, niscaya Indonesia ini akan berubah, kurang lebih begitu intinya. Sayangnya, sudah 10 persenkah saat ini? Atau, sudah bergerakkah mereka?
Kita tak memerlukan lagi orang-orang yang harus terbunuh di arena perang. Kita tak memerlukan lagi orang-orang yang harus tertembak, tertusuk, terpotong, atau teraniaya di medan laga. Karena kita telah merdeka dari penjajahan fisik. Namun meski begitu, sejatinya jiwa dan pikiran kita masih terjajah oleh pemikiran-pemikiran pembelenggu. Maka dari itulah, kita memerlukan orang-orang yang mampu dan mau mendobrak belenggu-belenggu itu. Yang mau berkorban dan mencurahkan daya serta upaya dan fikirnya untuk perubahan negeri yang disebut-sebut gemah ripah loh jinawi ini. Kita memerlukan 10 persen orang-orang bervisi perubahan, yang peka dan peduli dengan nasib bangsanya. Yang meninggalkan egonya dalam diskusi dan musyawarah-musyawarah hingga dini hari. Yang mau berpeluh menempuh puluhan bahkan ratusan kilo menembus pedalaman demi pendidikan dan masa depan anak bangsa. Yang rela bersusah payah dan tak dibayar hingga menembus jantung hutan demi mengobati pasien-pasien yang kesulitan akses.
Kita tak butuh orang-orang macam di DPR yang kerjanya hanya duduk dan rapat namun tak membuahkan hasil, bahkan malah korupsi. Kita tak membutuhkan orang-orang yang suka menebar janji namun nihil dalam realisasi. Kita tak membutuhkan orang-orang yang pintar berdialektika namun nol ketika diterjunkan ke masyarakat.
Kita hanya membutuhkan satu, yaitu manusia-manusia berhati pahlawan yang tanpa pamrih mencurahkan segala yang dia punya untuk kepentingan bangsanya. Yang rela mengurangi jatah tidur dan makannya untuk menggagas nasib anak bangsa yang tak berdaya di pelosok sana. Yang dengan ucapnya menjadi motivasi bagi yang lain. Yang dengan lakunya menjadi semangat bagi yang lain. Yang rela berjuang hingga titik terjauhnya.
Yang kita butuhkan adalah pahlawan tanpa tanda jasa.
Di saat aku menemani kawan berputar mencari dermawan, terpikir olehku beberapa hal sembari melihat respon dari mereka. Tentu saja itu tak bisa kuabaikan, karena mungkin sudah puluhan atau bahkan ratusan merespon dengan respon sama. Dari situ kucermati, mungkin beberapa mempunyai latar belakang logis, namun kuyakin tak sedikit juga yang enggan berinfaq hanya karena masa bodoh, acuh. Namun hal tersebut tak bisa kita salahkan begitu saja, karena bisa jadi kita ikut berperan dalam membentuk sikap seperti itu, tanpa sadar.
Dari sekian manusia yang kutemui, banyak yang menolak untuk menyumbangkan uang sekedar seribu atau dua ribu rupiah. Tanya kenapa? Jangan tanya deh.... Lalu aku berpikir, mungkin karena beberapa alasan, mereka memilih tidak berperan sama sekali ketimbang berperan dalam peran yang tidak jelas. Maksudku, apakah berita banjir Aceh ini dimasifkan oleh media mainstream? Tentu tidak. Bahkan status bencana ini diturunkan menjadi bencana daerah. Itu artinya semakin sedikit informasi yang akan disuplai untuk publikasi dalam skala nasional. Paling menthok adalah berita tersebut hanya terpampang di beberapa website portal berita. Namun sayangnya, budaya kita -mungkin- masih belum terbiasa dengan mengakses berita dari dunia maya itu, karena sosmed masih menjadi primadona di setiap histori browser kita.
Sebuah pemandangan menarik perhatianku. Saat itu kami menghampiri ibu-ibu yang sedang jalan-jalan bersama keluarganya. lalu kami menghampirinya untuk 'meminta' donasi dari beliau. Saat dia masukkan tangan ke saku dan mengeluarkannya, yang terambil adalah uang sepuluh ribu. Lalu tanpa disangka, dia masukkan kembali dan dia ambil uang yang lebih kecil, dua ribu. Kemudian uang itulah yang dimasukkannya ke kotak donasi.
Aku terdiam. Begitukah sikap orang-orang masa kini? Enggan membantu, dan jika membantu pun sekadarnya. Aku tak berniat menjustifikasi, namun realitas selalu menunjukkan hal tersebut. Beberapa kali aku menemukan kasus yang serupa, bahkan pada diriku sendiri, terkadang. Suatu saat ketika aku berjalan disana, di CFD, aku melihat seorang yang kekurangan dalam fisiknya, bahkan untuk berjalan sekalipun harus sampai merangkak. Namun kulihat tak ada seorangpun yang kemudian menjadi sosok pahlawan walau sekedar membantu atau memberikan uang. Pemandangan lain yang pernah kulihat adalah ketika banyak di perempatan jalan anak-anak dan orang dewasa mengamen, meminta-minta kepada pengendara jalan. Sementara tubuh masih terlihat sehat dan bahkan pernah kulihat ada yang membawa handphone. Pikirku, ini apa-apaan. Tak seharusnya mereka begitu, karena mereka masih punya kekuatan. Apapkah sampai seperti ini efek dari kemajuan zaman ini? Apakah sampai akhirnya mereka tak mampu mengikuti arus zaman sehingga mereka harus 'berijtihad' sendiri dalam mencari nafkah mereka?
Kini kepedulian ibarat barang langka, bahkan mungkin telah menjadi sejarah yang hanya diajarkan di bangku sekolah. Takkan ada manusia-manusia yang memiliki jiwa pahlawan seperti dulu kecuali sedikit. Maka ta heran ketika Ust. Salim A. Fillah pernah berkata bahwa jika ada 10 persen saja manusia Indonesia ini memiliki visi peubahan dan mau bergerak, niscaya Indonesia ini akan berubah, kurang lebih begitu intinya. Sayangnya, sudah 10 persenkah saat ini? Atau, sudah bergerakkah mereka?
Kita tak memerlukan lagi orang-orang yang harus terbunuh di arena perang. Kita tak memerlukan lagi orang-orang yang harus tertembak, tertusuk, terpotong, atau teraniaya di medan laga. Karena kita telah merdeka dari penjajahan fisik. Namun meski begitu, sejatinya jiwa dan pikiran kita masih terjajah oleh pemikiran-pemikiran pembelenggu. Maka dari itulah, kita memerlukan orang-orang yang mampu dan mau mendobrak belenggu-belenggu itu. Yang mau berkorban dan mencurahkan daya serta upaya dan fikirnya untuk perubahan negeri yang disebut-sebut gemah ripah loh jinawi ini. Kita memerlukan 10 persen orang-orang bervisi perubahan, yang peka dan peduli dengan nasib bangsanya. Yang meninggalkan egonya dalam diskusi dan musyawarah-musyawarah hingga dini hari. Yang mau berpeluh menempuh puluhan bahkan ratusan kilo menembus pedalaman demi pendidikan dan masa depan anak bangsa. Yang rela bersusah payah dan tak dibayar hingga menembus jantung hutan demi mengobati pasien-pasien yang kesulitan akses.
Kita tak butuh orang-orang macam di DPR yang kerjanya hanya duduk dan rapat namun tak membuahkan hasil, bahkan malah korupsi. Kita tak membutuhkan orang-orang yang suka menebar janji namun nihil dalam realisasi. Kita tak membutuhkan orang-orang yang pintar berdialektika namun nol ketika diterjunkan ke masyarakat.
Kita hanya membutuhkan satu, yaitu manusia-manusia berhati pahlawan yang tanpa pamrih mencurahkan segala yang dia punya untuk kepentingan bangsanya. Yang rela mengurangi jatah tidur dan makannya untuk menggagas nasib anak bangsa yang tak berdaya di pelosok sana. Yang dengan ucapnya menjadi motivasi bagi yang lain. Yang dengan lakunya menjadi semangat bagi yang lain. Yang rela berjuang hingga titik terjauhnya.
Yang kita butuhkan adalah pahlawan tanpa tanda jasa.
0 komentar :
Formulir Kontak
Labels
berbagi
(189)
curhat
(93)
inspirasi
(91)
nasehat
(89)
Agama
(70)
Cerita
(70)
Opini
(58)
Renungan
(43)
Tulisan Serius
(32)
Introspeksi
(31)
iseng
(27)
Kampus
(26)
Motivasi
(25)
Pengetahuan unik
(18)
Pengetahuan umum
(16)
Sejarah
(14)
cerpen
(13)
Pengetahuan Teknologi
(12)
puisi
(12)
Tidak jelas
(11)
Lirik
(8)
Konspirasi
(7)
Peradaban
(7)
Teknik
(6)
humor
(6)
Tips
(5)
Batas Negeri
(4)
FSLDK
(4)
Lomba
(4)
Temajuk
(4)
Arsitektur
(3)
Poster
(3)
resep makanan
(3)
Berita
(2)
Sipil
(2)
palestina
(2)
ASUSROGID
(1)
Game
(1)
IPA
(1)
KAMMI
(1)
ROG
(1)
WEAREROG
(1)
freeletics
(1)
Popular Posts
-
Ini tugas btw... Tugas kuliahku, wkwk... Jalan merupakan prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, term...
-
Di dalam agama Kristen, tanggal 25 Desember merupakan hari raya mereka yang disebut hari Natal atau kelahiran Yesus. Namun, be...
-
Pernah terpikir, atau mungkin sekedar terbersit, mengapa hati mesti melabuhkan pilihan pada brand bernama Asus ini? Dulu sewaktu SMA,...
-
Entah kenapa judulnya begitu, hahaha... Tapi keliatan keren aja pake judul gitu. Ini adalah kisah pendakian sebenarnya. Beberapa hari lalu...
-
Hati-hati dengan ilmu sihir sigil, karena ia merupakan simbol-simbol untuk menyampaikan pesannya, hal ini seperti yang dilakukan free...
-
Beberapa waktu lalu, ketika kami sedang berkumpul dan berdiskusi (kalau itu disebut diskusi), guru kami membacakan kembali sebuah hadits yan...
-
Original After modding Kita semua bisa merubah tampilan menu standard itu dengan tangan kita sendiri, artinya.. gak perl...
-
Dalam menghadapi masalah, tak jarang, dan sering mungkin, kita membalutnya dengan keluh-kesah tak berkesudahan. Kita sering mendramatisir...
-
#Bagian 11 Aku, bahkan sempat terbayang tentang kematian dalam game seperti anime SAO. Tapi itu anime, kartun, cerita buatan. Sangat berbe...
-
Ada hal lucu saat saya sekali me reply cuitan salah satu kanal media alternatif di Twitter, Tirto . Saat itu Tirto membuat cuitan dari art...
Posting Komentar