Bangkitlah!

Bangkit artinya tidak tertunduk, tidak tertekuk. Bangkit artinya terus berjuang, pantang menyerah. Dan bangkit artinya tidak melemah, namun terus menguat.

20 Mei, orang-orang sering menyebutnya sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Hari dimana kesadaran tumbuh dalam jiwa-jiwa setiap individu bangsa untuk bersama memperjuangkan kemerdekaannya. 20 Mei merupakan hari dibentuknya Budi Utomo. Banyak orang yang menganggap, dari situlah awal mula terbentuknya kesadaran dalam pergerakan nasional, sebuah pergerakan yang bertujuan untuk merebut kembali hak-hak bangsa yang telah diambil paksa. Meski pada faktanya, tak selalu apa yang diceritakan adalah kebenaran. Nyatanya, beberapa tahun sebelum Budi Utomo lahir, organisasi seperti Sarekat Dagang Islam yang kemudian menjadi Sarekat Islam telah terlebih dulu muncul dengan pengaruhnya yang meluas, bukan saja di Jawa dan Madura, tapi telah melintasi pulau hingga Andalas.

Namun yang lebih perlu diperhatikan adalah makna dibalik kata bangkit itu sendiri. Masihkah makna itu lekat erat dengan katanya hingga sekarang? Ataukah makna itu telah tereduksi seiring zaman berubah? Jika bangkit artinya tidak tertunduk dan tertekuk, masihkah kita seperti itu sekarang? Atau, kata itu hanya pemanis dalam orasi-orasi publik saja, karena pada hakikatnya kita telah tertawan?

Jika bangkit artinya terus berjuang dan pantang menyerah, masihkah sikap ksatria itu kita miliki? Ataukkah itu hanya pencitraan agar dikenal sebagai pejuang dan pahlawan?

Jika bangkit artinya tidak melemah, namun terus menguat, sekali lagi, masihkah kita? Atau, makna itu hanya ornamen dari lukisan kelelahan hidup kita yang tak kunjung usai?

Mungkin memang benar jika makna bangkit telah hilang kekuatannya. Bisa jadi, ketidaktahuan akar sejarah bangsa sendiri inilah yang menyebabkan banyak yang tak bisa menjiwai arti pergerakan nasional dengan benar. Bisa jadi, karena itulah kita makin lama makin kehilangan momentum kebangkitan kita sendiri, karena kita terlalu sibuk men-simbolisasikan arti kebangkitan tanpa menjiwainya. Bisa jadi.

Maka, biarlah 20 Mei tetap menjadi simbol hari kebangkitan bangsa ini, sambil terus kita perkaya wawasan kebangsaan dan kesadaran pada sejarah kejayaan bangsa Indonesia ini, sehingga kita akan segera mendapatkan kembali momentum kebangkitan yang telah terlewat beberapa waktu. Dengan begitu, kembalinya kejayaan kita bukanlah lagi sebuah hal yang utopis, namun terealisasi karena aktor-aktor baru bangsa yang mampu menyampaikan ide-ide langit secara membumi. Toh, sejarah kemerdekaan Indonesia tak bisa lepas dari peran sentral para ulama kita dahulu. Maka berbanggalah hai pemuda Islam, karena selanjutnya, aktor kebangkitan itu adalah kalian!

0 komentar :

Posting Komentar

Cancel Reply