Serigala dan Domba yang Sendiri

Telah lama kita mengetahui cerita tentang domba yang dimangsa serigala. Ya, dia adalah domba yang berpisah dari kawanannya.

Suatu ketika seorang penggembala sedang menggembalakan domba-dombanya di sebuah padang rumput. Ada puluhan domba disana merumput bergerombol. Namun ternyata, seekor domba terlihat berjalan menjauhi kawanan menuju padang rumput yang terlihat lebih hijau segar. Rupanya di balik salah satu semak-semak, bersembunyilah seekor serigala lapar yang mengincar mangsa. Melihat seekor domba menyendiri merumput jauh dari kawanan, maka segeralah serigala berlari dan menerkam si domba naas itu. Domba itu pun mati dimakan sang serigala lapar.

Kawan, tahukah? Tanpa kita sadari, kita sering sekali berpikir, berpendapat, dan bertindak atas kemauan kita sendiri. Dalam beberapa terutama masalah kemandirian hal itu bagus. Namun jika konteks pembicaraan kita adalah ke-jamaah-an, maka bicara ego tak lagi relevan. Dalam jamaah sudah tentu kita dituntut untuk tenggang rasa, toleransi, dan saling menghargai. Bukan mengedepankan ego, tapi bermusyawarahlah menentukan pilihan. Dalam sebuah jamaah, ego adalah musuh besar yang menghancurkan. Sedangkan musyawarah adalah pondasi penyokong kelangsungan hidup jamaah. Maka orang-orang yang tak bisa mengesampingkan ego, dia takkan bertahan dalam sebuah jamaah. Maka dia akan tersingkir atau menyingkir.

Cerita mengenai domba dan serigala lapar diatas agaknya telah memberikan gambaran jelas bagaimana pentingnya sebuah jamaah. Saya tidak sedang membicarakan jamaah tertentu. Itu urusan kalian mau ikut jamaah yang mana. Yang ingin saya katakan adalah, bersamalah dengan jamaah. Karena seberapa hebatnya dirimu, di suatu titik kau takkan berdaya jika sendirian. Maka disitulah fungsi jamaah, menguatkan. Sebuah analogi sederhana tentang jamaah adalah seperti sapu lidi. Jika hanya satu lidi, maka mudah dipatahkan. Namun jika bersama dengan puluhan bahkan ratusan lidi lainnya, maka tentu sulit mematahkan kumpulan lidi-lidi itu. Begitulah jamaah, ia akan kuat dalam kebersamaan.

Kemudian pasti akan muncul pertanyaan senada seperti ini, "Lalu bagaimana jika keputusan jamaah itu tidak lebih baik dari gagasan kita?". Pasti hampir semua orang pernah merasakannya, tatkala ide kita lebih baik daripada keputusan jamaah. Disitulah kita harus berlapang dada menerima keputusan. Dan disitulah kita diuji mengenai 'al qiyadah wal jundiyah', antara pemimpin dan yang dipimpin. Apakah kemudian kita akan patuh kepada pemimpin kita meski keputusan yang diambil tidak lebih baik dari pendapat kita, ataukah kita akan bergerak sendiri dan menyelisihi jamaah. Disitu ujiannya. Namun perlu kiranya kau ingat kata-kata ini. Imam Ali bin Abi Thalib pernah berkata, "kekeruhan dalam jamaah lebih baik daripada kebeningan dalam kesendirian". Seorang shahabat yang termasuk assabiqunal awwalun, yang pertama-tama meneruma dakwah nabi, yang cerdas, yang menjadi khalifah ke-4 setelah Utsman bin Affan, dan jelas-jelas dijamin Surga saja berkata demikian. Apakah masih kurang hujjah untuk kita berlepas dari jamaah? Tentu, pada suatu titik ketika kita menemukan ada kemungkaran atau kemudharatan yang lebih dari maslahatnya, atau sekiranya kita memiliki ilmu cukup untuk menimbang baik-buruknya suatu keputusan, maka bolehlah kau nasehatkan pimiranmu itu kepada pemangku keputusan, sang pemimpin. Namun tentu dengan adab dan etika yang baik dan santun.

@alfaatih21
Desainer Puskomnas @fsldkindonesia
#BerkaryaUntukIndonesia

0 komentar :

Posting Komentar

Cancel Reply