Bias Kemenangan

Baru saja terlewati momen-momen bahagia hari raya. Tak terasa, sebulan sudah kita berusaha berjuang menahan keinginan, nafsu, syahwat, dan hal-hal lain untuk menuju sebuah tujuan mulia di penghujung Ramadhan, la’allakum tattaquun, menjadi orang yang bertaqwa.

Jika selama sebulan kita dilatih langsung oleh Allah untuk menahan segala sesuatu yang dibolehkan, maka tentunya selepas Ramadhan kita lebih mudah untuk menahan sesuatu yang diharamkan, begitu logikanya. Jika di bulan Ramadhan kita lebih mudah menahan untuk tidak makan, maka di luar Ramadhan tentunya harus lebih mudah menahan syahwat. Karena itulah puasa seharusnya menjadikan kita sebagai orang yang merdeka, bisa mengendalikan diri kita sepenuhnya.

Kemudian, takbir yang bergema sejak semalam bersambut dengan rasa gembira yang memuncak dalam sanubari tiap-tiap Muslim di sudut rumahnya. Ekspektasi akan betapa meriahnya hari raya tergambar jelas dalam setiap benak. Tapi ternyata ada juga yang sedih. Sedih karena Ramadhan tahun ini telah berlalu dan takkan kembali. Sedih karena tak bisa lagi rakus dalam mengambil kebaikan-kebaikan Ramadhan. Namun, sesugguhnya berapa manusia yang merasakan kehilangan ini? Berapa manusia yang lebih mudah larut dalam euforia Hari Kemenangan?

Sungguh, kita sering memaknai Idul Fitri sebagai hari kemenangan, hari kembalinya kita sebagai manusia yang fitri, sesuai fitrah dan kodratnya. Sering sebagian dari kita beranggapan bahwa hari raya ini adalah puncak segala pencapaian segala amal ibadah yang dilakukannya selama setahun ini. Padahal tidak. Kalau mau hitung-hitungan pun, Ramadhan baru bulan ke-9, maka seharusnya puncaknya adalah bulan Dzulhijjah, bulan ke-12 dalam kalender Hijriyah. Namun bukan itu. Justru seharusnya awal Syawal ini adalah titik tolak perubahan kita. Jika selama Ramadhan kita digembleng habis-habisan dengan berbagai pelatihan yang Allah sediakan, maka selepas Ramadhan seharusnya menjadi awal kemudahan untuk berubah karena telah terbiasa bersusah-susah di bulan Ramadhan. Ingat, perubahan (menuju kebaikan) itu penuh susah payah. Inilah yang seringkali kita bias memaknainya. Mungkin selama Ramadhan ada target-target kita yang belum terrealisasi, tercapai, atau bahkan tidak tersentuh sama sekali. Maka keluar Ramadhan ini, seharusnya muncul semangat baru untuk memperbaikinya. Jika kamu memiliki satu bulan untuk pelatihan, maka sungguh kamu punya sebelas bulan sisanya sebagai aktualisasi dan pembuktian latiahanmu. Sehingga, saat bertemu Ramadhan tahun depan, kita memiliki peningkatan kualitas. Jadi, yuk kita maknai hari kemenangan ini sebagai titik tolak awal perubahan, bukan tujuan akhir dari amal-amal kita. Semangat!

@mahmudnurk
Desainer andalan puskomnas fsldk

0 komentar :

Posting Komentar

Cancel Reply