Mengapa kita lebih banyak menghakimi?

Don't judge the book by its cover. Pepatah ini kalau ditempatkan pada hal yang tepat akan melahirkan makna yang tepat, bukan arti abal-abal macam Irsyad Manji dengan logika hijabnya.

Kita pasti pernah, walaupun sekali dua kali, berprasangka jelek kepada orang lain. Walaupun kemudian ada yang bertaubat dengan taubatan nashuha dan tidak mengulanginya lagi. Tapi fakta bahwa hati kita pernah memandang rendah orang lain adalah nyata. Itulah saat-saat dimana hati kita butuh perhatian lebih dan perlakuan khusus, karena saat itu hati kita lagi jelek-jeleknya (bukan karena faktor muka pemiliknya), lagi loyo, jauh sama Allah, atau memang tak pernah dirawat (?). Ibarat bunga, hati yang indah akan mekar bersinar mewangi sepanjang hari karena hati itu dirawat setiap saat. Sedangkan kalau hati yang jelek (sekali lagi, bukan disebabkan faktor muka pemiliknya), syukur-syukur ada bunganya walaupun layu, kadang yang ada mandul, tak berbunga blas. Malah kayak rumput liar yang tumbuh seenaknya. Maka dari itu saudara-saudara, sayangi hatimu, rawatlah dia agar hati itu selalu bersinar bak mentari pagi yang hangat.

Sebagai contoh ilustrasi, ketika kita lihat dua insan beda jenis, laki-laki dan perempuan, lagi jalan bareng, kita membatin, "dih pikirannya pacaran mulu, gak ada kerjaan lain apa??". Apalagi kalau yang perempuannya berjilbab gede kayak ukhti-ukhti sholihah atau yang laki-laki berjenggot dan bercelana cingkrang plus pake sendal gunung mirip akhi-akhi sholih sedangkan kita cuma jomblo status akut yang numpang lewat dan boro-boro jalan sama cewe, ngobrol sama cewe aja keder. Beeeeh pasti busuknya keluar deh, "ini orang ngerti agama gak sih sebenernya? Jalan bareng lawan jenis itu kan gak boleh!". Atau ketika ada segerombol remaja cewe ahay lagi hahahihi sambil menjinjing totebag macem-macem merk kenamaan luar negeri, "dasar cewe jaman sekarang, otaknya belanja mulu, gatau apa susahnya cari duit...!". Atau trakhir deh, misalnya ada mas-mas muka preman yang 70% badannya tattoan, sholat di mesjid. "Beuuh, preman tobat nih" atau "gileeee dapet hidayah juga nih orang". Atau -ini seriusan trakhir- seperti kata mas-mas aktivis teman saya di sebuah status fesbuknya belum lama ini yang intinya "...atau seperti kata Cak Nun, '...surga itu gak penting...'". Nahloh, pasti mereka -yang masnya sebut sebagai kaum sumbu pendek, ya mergane gampang disumet dan gampang mbledos- akan tetiba jadi ustadz dadakan dan ndalil fasih yang-aslinya-copas-dari-internet-juga mendebat dan menyanggah perkataan itu.

Dari sini kita bisa melihat bagaimana perangai seseorang, terutama seseorang Indonesah, yang seringnya debat fesbuk tak berujung. Dan dari sini pula kita bisa tau kegemaran manusia-manusia abad ini yang sukanya dengki dan iri hati serta suka ngrasani dan sinis dan suka ngurusin-hidup-orang-kayak-hidup-situ-udah-bener-aja. Serta, dari sini saya nuga ingin tegaskan bahwa ini bukan tulisan yang men-generalisasi (biar saya nggak didebat), tapi tulisan kepada para oknum hati (tsaaah...) sambil nunjuk pake telunjuk dan bilang elu, eluu...!.

Bagi yang merasa, saya ucapkan terimakasih sudah peka dan semoga anda, kalian, dan saya yang hatinya masih kotor ini bisa segera berubah menjadi lebih baik dan bersih. Bagi yang nggak kerasa dan nggak peka, bangeten kowe lee... Mugi-mugi Gusti Allah maringi kesadaran dhateng panjenengan.

Oke, mari merenung sejenak. Coba tanyakan, sebenarnya untuk apa kita melakukan hal-hal diatas? Toh mbatinan hati kita tidak tersampai kepada yang dirasani juga. Untuk apa kita capek-capek melakukan kritik tanpa dibayar, dan lagi, bikin hati kita mendongkol. Kita lupa, bahwa ketika kita menggunjing bersama hati kita begitu dan merasa kita lebih baik dari yang digunjing, pada saat yang sama kita menjatuhkan diri kita sendiri. Jatuh, makbruk. Lak yo sakit to.... Coba dipikir, orang-orang hebat dan sukses di tiap zamannya, apa mereka sibuk menggunjing sana-sini, ngrasani sini-sana, kemudian mereka bisa tenar dan hebat? Ya enggaklah. Mana sempat. Justru orang-orang selo dan kurang piknik serta kurang gaweyanlah yang melakukan semua itu. Di saat kita buang beberapa detik atau beberapa menit berharga kita untuk menggunjing, di saat yang sama beberapa detik atau menit mereka termanfaatkan dengan baik. Buat apa? Ya pikir sendiri, dasar kurang piknik!

Oh, kamu ndak merasa lebih baik? Masa? Yakin? Ngomentarin orang itu, berarti kamu merasa lebih baik lho. Lihat saja juri audisi nyanyi-nyanyi atau mencari bakat apalah itu, apa mereka tidak lebih baik dari yang diaudisi? Oh enggak ya, oiya ini Indonesah dimana segalanya mungkin. Oke kamu menang. Tapi, ada tapinya, tetap saja pasti ada perasaan lebih dibanding yang lain walaupun 0,0000000......001 persen doank. Yakin. Gak percaya? Buktikan sendiri! (Dosa ditanggung pelaku).

Sekarang saya mau tanya sama kamu, iya kamuu, kamu yang lagi baca (plis komen abis ini laah...), apa motivasi kami melakukan pergunjingan terselubung itu? Apa motifmu? Oh rupanya ternyata... ada yang karena sebel liatnya doank (sama kayak saya sebel liat mukamu saat pendangan pertama...), ada yang karena emang hobi dan dibayar (emang ada? Kalo kata kang Emil sih pekerjaan paling menyenangkan itu hobi yang dibayar), ada yang karena lagi selo kayak tadi, tapi menurut penerawangan mbah Sumarto Hadikusumojoyobrotosenosusanto, M. Sc, kebanyakan pelaku pergunjingan terselubung itu karena dengki dan iri hati. Lha kok bisa mbah? Bisa donk, kalo nggak dengki dan iri, buat apa ngrasani? Latar belakang dari ngrasani ini kan sebenarnya karena adanya perbedaan kondisi pada suatu objek tertentu di sekitar kita, sehingga setelah simbah analisis dengan metode regresi berdasar data dan fakta di lingkungan, didapatkanlah kesimpulan yang menjawab rumusan masalah yang disusun dengan pengolahan bahasa yang aduhai "mengapa kita lebih sering menghakimi?" dengan jawaban "karena kita dengki dan iri hati". Wes terimo wae. Kita itu memang terkadang menjadi manusia yang sukanya mengurusi urusan orang lain yang tak ada hubungannya sama kita, dan kita lebih suka itu daripada sibuk memperbaiki diri sendiri. Kita sering lalai dan tak sadar-sadar juga.

Bro, sist, kadang itulah kenapa hidup kita menjadi tidak tenang. Serba nggrundel tak jelas. Karena kita begitu multitalent-nya sampai sempat-sempatnya menanggapi otang lain. Tapi pada akhirnya urusan kita keteteran. Itulah kenapa Aa Gym dalam beragam ceramahnya suka mengingatkan kita untuk membersihkan hati. Ya karena itu tadi, kita itu sok bisa ngurusi orang lain. Suka mengkritik berlebihan, suka ikut campur urusan orang, suka ngomentarin negatif, suka sinis, picik, kejam, jahat, kotor (eh apa ini?).

Maka dari itulah bro, sist, hendaknya kita sebisa mungkin menahan diri untuk tidak komentar. Sekecil apapun, kecuali itu dibutuhkan. Gak usah sok inisiatif untuk komentar yang tidak-tidak. Daripada mengundang permusuhan. Lebih baik berdamai dalam kerukunan dengan diam. Saya yakin, mbah Sumarto pun yakin, hidup bahagia itu hidup yang simpel, kerjakan apa yang baik dan tinggalkan yang buruk, buluk, dan sia-sia. Dengan begitu kamu akan mendapqtkan hati yang bermekaran bak bunga di taman. Oh iya bunganya sudah tidak bermekaran lagi karena diinjak-injak para alay yang selfie hahahihi. Hih sebel.

Note:
1. Semoga menjadi pengingat sekaligus tulisan yang menghibur bagi anda dan saya pribadi khususnya.
2. Tulisan disini murni subjektif saya pribadi, jadi kalau mau dipermasalahkan, ya silakan. Tapi jangan ding, males saya. Mending komen "nice post gan" atau "trimakasih atas nasehatnya".
3. Ini adalah tulisan kedua setelah sebelumnya udah ngetik tapi tiba-tiba ilang sendiri. Gaktau kenapa. Lagian saya ngetiknya di hp. DI HP MAK...!!
4. Plis komen lah...

1 komentar :

Posting Komentar

Cancel Reply