Konsep Manusia dan Arsitektur (Bagian I) - menurut Worldview Barat


Dalam memahami sebuah konsep, manusia memerlukan sebuah patokan. Patokan itu bersumber dari kebenaran yang diyakininya. Dan kebenaran yang diyakini berasal dari cara pandangnya dalam memahami suatu realitas yang ada. Maka hasil dari proses itu adalah sebuah cara pandang yang dia yakini benar dan dijadikan patokan atau tolok ukur yang disebut worldview.
Worldview merupakan seperangkat cara pandang yang akan mempengaruhi manusia dalam mengambil keputusan. Dan cara pandang ini dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti kebudayaan, agama, filsafat, nilai dan norma sosial, dan sebagainya. Karena itu, untuk memahami konsep arsitektur, kita harus memahami mengenai konsep manusia. Dalam kaitannya dengan ini, ada dua worldview yang dapat digunakan untuk memahami konsep hubungan antara manusia dan arsitektur. Yang pertama adalah Worldview Barat (Western Worldview), dan yang satunya adalah Worldview Islam (Islamic Worldview).
Manusia merupakan sentral perancangan arsitektur. Sehingga, arsitektur adalah keniscayaan dari adanya manusia. Jika kita bicara mengenai asal-usul arsitektur, maka ujungnya adalah kita akan membicarakan asal-usul manusia. Dalam hal ini, konsep worldview berasal dari pijakan dalam berpikir mengenai konsep manusia, yang selanjutnya dari konsep tersebut menghasilkan gagasan, dan dari gagasan melahirkan perilaku yang kemudian diekspresikan menjadi artefak. Maka, dapat dikatakan bahwa arsitektur merupakan unsur kebudayaan dan peradaban manusia yang bersumber dari ide dan gagasan manusia. Sehingga inilah yang membedakan antara manusia dengan makhluk lainnya (terutama hewan). Dan ini pula salah satu yang dapat mematahkan teori evolusi Darwin yang menyatakan manusia berasal dari kera yang berevolusi jutaan tahun. Perbedaan mendasarnya adalah bahwa manusia dapat berpikir secara sempurna, sedangkan hewan seperti kera tidak. Lalu bagaimana mungkin hewan yang tak dapat berpikir dapat membuat sebuah rancangan arsitektur? Inilah yang membedakan manusia dengan hewan, yaitu bahwa hewan hanya dibekali dengan naluri dan ilham (intuisi, insting) sedangkan manusia dibekali dengan akal yang sempurna. Selain itu, manusia memiliki kesadaran ke-dirian, dimana dia dapat menanyakan asal-usul dirinya kepada dirinya sendiri sedangkan hewan tidak bisa. Syed Naquib Al Attas menyebut manusia sebagai al hayawan al nathiq, yaitu makhluk yang dapat bertutur kata.
Dalam epistemologi Barat, konsep arsitektur berpijak pada konsep manusia Barat. Sedangkan dalam konsep manusia Barat, sumber penilaian kebenarannya selalu berubah-ubah, sehingga hal ini juga mempengaruhi desain arsitektur Barat tiap zaman. Tercatat setidaknya ada 3 sumber kebenaran yang pernah digunakan Barat dalam memandang realitas manusia dan alam semesta. Hingga abad 15, Barat masih memakai Bible sebagai patokan dalam melihat realitas. Seluruh realitas dilandaskan kepada Bible, sehingga ketika itu, otoritas gereja sangat kuat. Inilah zaman dimana Teisme berkembang. Namun ternyata ada pihak-pihak yang tidak menyukai dominasi gereja ini, yaitu para borjuis dan ilmuwan baru dimana mereka bekerja sama dan berusaha menjatuhkan kalangan agamawan dan dominasi dari feodal di masa itu. Sehingga akhirnya lahirlah revolusi industri di Inggris dan kemudian di susul Prancis, dan negara-negara lainnya. Inilah zaman Rennaisance. Pada zaman ini, tolok ukur dengan menggunakan Bible telah banyak ditinggalkan dan digantikan oleh sains. Maka lahirlah Deisme. Deisme sendiri, dari namanya memiliki dua makna, De dalam bahasa latin berarti Tuhan, dan dalam bahasa Jerman berarti jam mekanik. Deisme merupakan sebuah keyakinan dimana dunia dan alam semesta ini diciptakan oleh Tuhan, namun setelah penciptaan selesai, Tuhan tidak ikut campur dalam keberjalanan dunia ini, karena mereka –kalangan penganut Deisme– percaya bahwa alam semesta ini bergerak berdasar hukum kausalitas sebab-akibat. Kemudian memasuki abad 19, tolok ukur bergeser kembali menjadi libido. Sehingga tujuan akhirnya adalah pemenuhan hasrat atau syahwat. Dari kesemua hal di atas sebenarnya dapat disimpulkan pada satu titik, yaitu bahwa asas dasar dari Barat adalah materialisme. Sehingga, dalam perancangan arsitektur Barat, mereka hanya mempertimbangkan dalam pemenuhan kebutuhan fisik.
Materialisme sendiri merupakan cara pandang yang menitikberatkan pada wujud. Sehingga materialisme menolak adanya metafisik.  Hal ini pada tahap lanjutannya dapat menjadikan seseorang menjadi atheis. Karena alat ukur yang digunakan hanya ada dua, yaitu panca indera dan otak (rasio). Panca indera merupakan alat primer yang digunakan untuk mengidentifikasi suatu materi, sedangkan otak digunakan setelah panca indera menangkap materi tersebut. Sehingga, materi bagi kalangan materialis lebih dahulu ada dibandingkan ide. Jika materi adalah realitas yang harus dan bisa dibuktikan oleh sains, maka ide adalah image atau pembentukan pandangan terhadap alam. Materi bersifat konkret sedangkan ide adalah abstrak. Karena itu, tolok ukur dari masyarakat yang telah terjangkiti oleh pemikiran materialisme adalah kepemilikan iptek sebagai wujud dari ide dan kepemilikan materi. Masyarakat seperti ini adalah masyarakat yang bercorak positivis, yaitu yang mengandalkan panca indera dan akal dalam menilai sesuatu. Semua harus didasarkan pada data empiris, tidak mengenal spekulasi, menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar, sehingga menolak aktivitas berkaitan dengan metafisik.
Materialisme dalam memandang dunia dan manusia didasarkan pada data-data empiris sains. Sehingga, dunia bagi mereka merupakan alam yang telah ada sejak awal dan kekal. Dunia akan berjalan secara mekanis melalui hukum kausalitas. Serta unsur-unsur dunia terhubung dan saling mempengaruhi. Sedangkan manusia, merupakan makhluk yang terlempar ke dunia karena kecelakaan evolusi yang menguntungkan (teori evolusi). Mereka memandang manusia hanya sebagai jasad yang terdiri dari sel, jaringan, organ, sistem organ, dan seterusnya. Sehingga manusia dinilai merupakan fenomena kimiawi-biologi, dimana semua kejadian manusia itu didasarkan pada ilmu alam. Seperti contohnya bagaimana manusia bisa jatuh cinta, maka akan didapatkan penjelasan yang sangat ilmiah dimana hal itu merupakan fenomena menyebarnya hormon feromon yang kemudian ditangkap oleh reseptor lawan jenis, dan seterusnya. Sehingga, manusia merupakan makhluk yang hanya dipengaruhi faktor internal (gen, DNA, sel, dan sebagainya) dan eksternal (interaksi dengan lingkungan).
Maka tidak heran pula jika dalam struktur masyarakat, manusia digolongkan berdasar materi. dalam pandangan antarindividu, manusia dibedakan sesuai atribut fisik yang dimiliki. Orang kulit putih, orang kulit hitam, berambut lurus, berambut keriting, bermata sipit, bermata lebar, dan sebagainya. Sehingga dari situ akan terklasifikasi lagi menjadi kelompok-kelompok yang lebih kecil yang pada gilirannya akan mengakibatkan yang namanya superioritas ras. Mereka yang berkulit putih akan merasa lebih tinggi dari kulit hitam, sehingga lahirlah kolonialisme yang menjajah orang kulit hitam. Mereka menganggap orang kulit hitam sebagai residu evolusi yang tidak berharga, sehingga tidak masalah untuk dieksploitasi.
Dalam urusan komunal, kalangan materialis juga akan memisahkan masyarakat berdasar kepemilikan materi. Sehingga manusia berkumpul atau berkelompok itu tujuannya adalah pemenuhan kebutuhan materi semata.
Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah pernah menuliskan, bahwa semakin maju peradaban, maka peradaban itu akan menuju kepada kehancuran. Setiap peradaban itu bangkit dan musnah. Kebangkitan peradaban selalu diawali dengan fanatisme dan semangat menuntut ilmu. Setiap peradaban akan sampai pada puncak kejayaannya. Dan yang menjatuhkan suatu peradaban adalah degradasi moral dan hilangnya semangat keilmuan. Sekalipun peradaban itu memiliki kekayaan berlimpah dan tentara yang kuat, ia akan jatuh juga. Contohnya adalah Yunani pada masa lalu ketika para pemudanya semangat dalam menuntut ilmu. Hingga akhirnya mereka memuja-muja hasrat wanita dan harta yang menyebabkan kehancuran peradaban mereka setelah diserang Roma. Dan kini kita bisa melihat bahwa Amerika sedang menuju kesana. masyarakat mereka yang dikatakan modern itu sesungguhnya masyarakat yang rapuh dimana banyak pelanggaran dilakukan.

Akhirnya, worldview Barat yang sering digaungkan sebagai cara pandang modern dan maju itu pun memiliki banyak titik kelemahan, diantaranya hilangnya nilai ketuhanan, bahkan Tuhan sendiri dari inti peradaban mereka. Nietzsche sendiri sampai mengatakan bahwa Tuhan telah mati. Panteisme mengatakan bahwa alam semesta adalah Tuhan dan Tuhan adalah alam semesta. Inilah kerapuhan-kerapuhan worldview Barat yang tidak boleh ditiru oleh kalangan Muslim. Maka, dalam perancangan arsitektur Islam, yang menjadi pembeda dari arsitektur Barat adalah adanya nilai-nilai agamis dan perpaduan antara konsep manusia dan penghambaannya kepada Tuhan (Allah). Sehingga perancangan arsitektur Islam memiliki fungsi untuk mendekatkan diri kepada sang Pencipta dan menyadari akan kerendahan dirinya, karena pijakan worldview Islam adalah manusia Islam sendiri.

0 komentar :

Posting Komentar

Cancel Reply