Deislamisasi yang mengancam generasi penerus


Ini hanya tebakan saya, tapi saya rasa, setelah keruntuhan Khilafah Utsmaniyah tahun 1924, upaya deislamisasi semakin gencar dilakukan. Bukti paling konkrit adalah perubahan drastis Ottoman menjadi negara republik Turki yang sekuler. Bahkan jilbab pun dilarang dibawa ke ranah publik. Adzan dilarang menggunakan bahasa Arab, tapi diharuskan dengan bahasa Turki. Banyak ulama yang syahid di tiang gantungan. Kalender hijriyah dilarang. Masjid Haghia Sophia dilarang dipakai untuk sholat lagi. Surban dan peci dilarang. Pesta campur baur antara laki-laki dan perempuan digalakkan. Libur Jum’at diganti Sabtu dan Ahad. Penerapan syari’at Islam dilarang. Dan puncaknya, Mustafa Kemal, sang Ataturk (Bapak Turki) yang sekuler itu berusaha untuk memutus memori tentang kemuliaan Islam dari generasi muda Turki dengan cara pelarangan tulisan Arab. Tulisan Arab harus diganti dengan tulisan latin. Kata-kata serapan dari bahasa Arab dihilangkan dari Turki. Bahkan nama Islambol diganti menjadi Istanbul.
Tak hanya di Turki, di Indonesia pun upaya deislamisasi juga terjadi. Salah satu yang paling kentara adalah mengenai sejarah. Banyak sejarah mengenai perjuangan bangsa Indonesia yang dibelokkan, terutama sejarah yang menyangkut perjuangan para ulama dan santri. Dalam buku Api Sejarah karangan Ahmad Mansur Suryanegara halaman xix dituliskan, “Demikian pula, National Congres Centraal Sjarikat Islam juga memelopori menuntut Indonesia merdeka, atau pemerintahan sendiri – Zelf bestuur, 1916 M. Namun, dalam Sejarah Indonesia, dituliskan pelopornya Boeng Karno di depan Pengadilan Kolonial di Bandung, 1929 M, atau Petisi Soetardjo yang menuntut Indonesia Merdeka. Anehnya, tanggal jadi Boedi Oetomo, 20 Mei 1908, diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Padahal, sampai dengan Kongres Boedi Oetomo di Solo, 1928 M, menurut Mr. A. K. Pringgodigdo dalam Sedjarah Pergerakan Rakjat Indonesia, Boedi Oetomo tetap menolak pelaksanaan cita-cita persatuan Indonesia. Walaupun sampai dengan kongres tersebut, Boedi Oetomo sudah berusia 20 tahun, tetap mempertahankan Djawanisme. Dan kelanjutannya, Dr. Soetomo membubarkan sendiri Boedi Oetomo, 1931 M karena tidak sejalan dengan tuntutan zamannya. Ajaran Kedjawen atau Djawanisme sebagai landasan wawasan Boedi Oetomo sangat bertentangan dengan ajaran Islam yang dianut oleh mayoritas pribumi. Melalui medianya Djawi Hisworo, Boedi Oetomo berani menghina Rasulullah saw.
Walaupun Boedi Oetomo dengan media cetaknya menghina Rasulullah saw. sampai sekarang umat Islam sebagai mayoritas bangsa Indonesia tetap menaati keputusan Kabinet Hatta, 1948 M. Bersedia menghormati 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Demikian pula kelanjutannya Boedi Oetomo, menjadi Partai Indonesia Raja, dipimpin pula oleh Dr. Soetomo. Dengan media cetaknya, Madjalah Bangoen, tidak beda dengan Djawi Hisworo, juga menerbitkan artikel yang menghina Rasulullah saw. Selain itu, Partai Indonesia Raja-Parindra, sebagai partai sekuler dan anti Islam. Perlu kiranya para ulama dan MUI mempertimbangkan kembali keputusan Kabinet Hatta, 1948 M, tentang 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional.
Hari Pendidikan Nasional – Hardiknas pun, diperingati setiap tanggal 2 Mei, kabarnya diambil dari hari lahir Ki Hajar Dewantara, pendiri Taman Siswo, 1922 M, yang pada awalnya merupakan perkumpulan Kebatinan Seloso Kliwon. Kalau ini benar, mengapa bukan hari lahir K. H. Achmad Dachlan pendiri Persjarikatan Moehammadijah, 18 November 1912 M, sepuluh tahun lebih awal dari Taman Siswo, 1922 M. Dan lagi pengaruhnya jauh lebih meluas di seluruh kota di Nusantara. Akibat deislamisasi penentuan Hardiknas, menjadikan K. H. Achmad Dachlan dan Persjarikatan Moehammadijah tidak terpilih sebagai pelopor pendidikan nasional.”
Maka buku-buku teks yang diajarkan di sekolah-sekolah itu sebenarnya tidak sedikit yang masih mengalami pembelokan dari sejarah aslinya. Seperti misalnya awal masuknya Islam, menurut Prof. Dr. Buya Hamka terjadi pada abad ke-7 M, atau masa ketika Rasulullah saw. masih hidup (Rasulullah saw. lahir tahun 571 M atau sekitar abad ke-6 M). Sedangkan di buku-buku teks masih dijumpai teori Gujarat yang menyebutkan masuknya Islam abad ke-13 M. Meski begitu, ada juga buku yang lebih objektif dengan menuliskan beberapa teori masuknya Islam ke Nusantara.
Prof. Dr. C. Snouck Hurgronje adalah salah satu pendukung teori Gujarat. Yang menarik adalah, orientalis ini sampai harus berpura-pura masuk Islam untuk bisa mempelajari Islam sampai dalam. Bahkan kata guru sejarah saya dulu, katanya dia sampai hafal Al Qur’an juga. Namanya pun diganti menjadi Abdul Ghaffar dan menikahi dua putri ulama terkenal di Jawa. Kemudian dia mendapat jabatan sebagai penasehat pemerintah Hindia Belanda dalam hal yang berkaitan dengan Islam.
Dalam buku terjemahan Snouck Hurgronje dan Islam karya Dr. P. Sj. Van Koningsveld dijelaskan bahwa Snouck masuk agama Islam hanyalah untuk melancarkan tugas atau tujuannya yaitu mengukuhkan kekuasaan Belanda di Indonesia. Maka tidak heran jika ada yang mengatakan bahwa Snouck sebenarnya ingin menghancurkan Islam dari dalam.
Upaya-upaya deislamisasi seperti ini sangatlah berbahaya. Selain akan menimbulkan kerancuan pemahaman, hal ini bisa berdampak negatif terhadap generasi penerus yang mencoba mempelajari sejarah bangsa dan agamanya. Sehingga jika sumber pemahamannya saja salah, pengambilan sikap ke depannya pun juga akan rancu. Untuk itulah diperlukan upaya pengembalian sejarah kepada asalnya.
Lalu mengapa Islam menjadi sasaran pengaburan sejarah? Tentu saja agar Islam tak berkuasa dan mendominasi. Samuel Huntington dalam bukunya Clash of Civilization and Remaking of World Order mengatakan bahwa Islam adalah satu-satunya peradaban yang pernah menakhlukkan Barat. Karena itu Barat melakukan usaha untuk mencegah agar hal tersebut tak terulang kedua kalinya.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, de- artinya menghilangkan atau mengurangi, seperti dalam kata dehidrasi yang artinya kekurangan cairan (tubuh). Maka deislamisasi adalah upaya penghilangan atau pengurangan nilai-nilai keislaman. Jika begitu, maka deislamisasi sejarah adalah upaya penghilangan nilai-nilai Islam dalam sejarah. Begitu pula pengertian-pengertian lain yang mengikutinya.
Seperti yang saya katakan tadi, jika sumber untuk mengambil pemahaman saja salah, maka ke depannya dia akan salah jalan jika tidak memiliki sikap kritis atau hanya menjadi pengikut. Karena itu, bahaya deislamisasi (salah satunya terhadap sejarah) lebih berbahaya daripada serangan bom nuklir. Serangan pemikiran jauh lebih berbahaya daripada serangan secara fisik. Karena pemikiran dapat berkembang, menyebar, dan diadaptasi oleh siapapun, tanpa harus menimbulkan efek secara langsung. Bisa jadi efek serangan pemikiran tersebut adalah merupakan akumulasi dari serangan-serangan sebelumnya yang tak mendapatkan jawaban atau pelurusan masalah, sehingga pada akhirnya menjadi pembenaran dan kebenaran untuk dirinya. Karena itu, menjadi penting bagi kita untuk selalu tabayun atau mencari kebenaran atau mengklarifikasi ketika mendapatkan sebuah berita, agar tidak terjatuh ke dalam kesalahan berpikir. Karena itu pula, kita harus terus belajar dan memperluas cakrawala pemikiran kita, namun tetap membingkainya dalam framework yang benar. Maka benar saja ketika Rasulullah mengatakan untuk menyerahkan segala urusan kepada ahlinya. Karena jika tidak, maka hancurlah urusan yang diserahkan itu. Sehingga, untuk urusan islamisasi sekalipun, jangan sampai kita kecolongan kembali seperti kasus Snouck Hurgronje yang menyebabkan pembelokan sejarah. Jangan sampai upaya reislamisasi berubah menjadi deislamisasi karena ketidakpahaman kita pada akar masalah.

:: diambil dari berbagai sumber ::

0 komentar :

Posting Komentar

Cancel Reply