Menjadi guru adalah panggilan jiwa

Pada suatu hari di sebuah negeri antah berantah...

Sehari yang lalu sempat kudengarkan perbincangan di salah satu stasiun radio di kota Solo ini terkait guru. Ya, kau tau kan ini hari guru?

25 November ditetapkan pemerintah sebagai hari guru. Menurutku ini adalah hal baik, karena -setidaknya- kita punya satu hari dimana kita benar-benar mengenang dan menghargai kebaikan guru. Meskipun seharusnya setiap hari kita selalu melakukannya. Tentu saja, coba bayangkan, dari balita sampai kita dewasa, jika bukan karena jasa guru-guru kita, mulai dari guru taman kanak-kanak sampai guru sekolah menengah atas, bahkan samapi di bangku perkuliahan, jika bukan karena mereka, kita akan kesulitan dalam mempelajari berbagai hal dan mungkin takkan meraih apa-apa yang saat ini sudah kita dapatkan.

Memang, orang tua adalah guru pertama kita. Tapi tidak semua anak mendapat masa bahagia itu sewaktu kecil. Tidak semua anak mendapat pendampingan (secara intensif) orang tua ketika masih masa merangkak dan berlatih berjalan serta berbicara. Karena itu, tugas pendampingan dan pembimbingan juga dilakukan oleh guru.

Guru, dalam bahasa jawa adalah akronim dari digugu lan ditiru, ditaati dan ditiru. Entah siapa yang membuat istilah itu, tapi secara pribadi saya mengamininya. Guru memanglah sosok yang seperti itu. Ibaratnya dia adalah seperti sosok superhero yang bisa banyak hal. Karena itu dia seharusnya adalah sosok yang dikagumi orang-orang. Dia menjadi contoh bagi orang-orang di sekitarnya, terutama murid-muridnya, sehingga kehadiran seorang guru seperti sebuah magnet di tumpukan besi.

Mengutip perkataan Usman Awang, seorang sastrawan Malaysia, dia pernah berkata,

Jika hari ini seorang perdana menteri berkuasa
Jika hari ini seorang raja menaiki takhta
Jika hari ini seorang presiden sebuah negara
Jika hari ini seorang ulama yang mulia
Jika hari ini seorang peguam* menang bicara
Jika hari ini seorang penulis terkemuka
Jika hari ini siapa saja menjadi dewasa;
Sejarahnya dimulakan oleh seorang guru biasa
Dengan lembut sabarnya mengajarkan tulis baca

*pengacara

Betapa luar biasanya seorang guru. Dia mampu menjadikan seorang yang pada awalnya biasa-biasa saja menjadi serang pemimpin hebat. Ingatkah kisah Muhammad Al Fatih? Kenapa dia mampu menakhlukkan Konstantinopel dan mengukirkan namanya dalam sejarah emas kejayaan Islam? Semua bermula dari sosok gurunya yang dengan sabar dan luar biasanya menempa Al Fatih kecil. Ingatkah kisah Shalahuddin Al Ayyubi? Mengapa dia mampu mengembalikan Palestina ke pangkuan Islam? Karena sejak kecil dia telah dididik oleh guru yang luar biasa dalam pembinaannya. Dan ingatkah ulama-ulama besar Islam? Mengapa pula mereka menjadi bintang-bintang yang kemerlap nama dan karyanya melintasi zaman? Karena mereka juga berguru kepada ahlinya.

Demikianlah, jika boleh kukatakan, kehebatan guru dalam menempa kepribadian muridnya menjadikannya sosok yang kelak juga luar biasa. Seorang guru yang hebat, tentu akan memiliki murid yang hebat pula. Hebat bukan berarti sesuatu yang harus terlihat kolossal, namun bisa jadi hal itu biasa saja atau sederhana, namun dia tepat memberikan input sehingga tepat momen.

Kita membutuhkan sosok-sosok guru yang seperti itu. Guru yang mampu membaca situasi muridnya sehingga tepat dalam menyikapi kondisi muridnya. Guru yang mampu memahami dan memahamkan muridnya. Memang itu bukanlah tugas mudah, namun itulah pilihan yang harus diambil oleh setiap guru. Menjadi teladan dan memahami.

Namun dewasa ini, sosok-sosok seperti itu telah kian menurun kuantitasnya. Belum lama terdengar di telinga kita berita pemukulan siswa yang dilakukan oleh seorang guru di sekolah. Kemudian juga berita mengenai tindakan asusila guru terhadap siswanya. Serta, berita dosen yang ketahuan memakai narkotika dengan mahasiswinya. Mengetahui fakta-fakta ini, tidakkah kita miris mendengarnya? Bicara tentang guru maka bicara pula tentang pendidikan. Jika guru yang perannya adalah faktor sentral dalam dunia pendidikan telah berbuat hal-hal yang tidak seharusnya dilakukan, maka apa jadinya dunia pendidikan kita nantinya? Pendidikan kita ditumpukan pada pundak-pundak guru, jika pundaknya saja sudah rapuh, maka pendidikan kita tak lagi memiliki sandaran yang kuat untuk tetap tegak. Maka jika pendidikan sudah tak mampu lagi menopang, mau dikemanakan masa depan bangsa kita?

Saya jadi teringat sesuatu. Sebelum adanya sertifikasi guru, profesi guru adalah profesi yang jarang diminati, terutama di zaman orang tua kita muda dulu. Karena guru pada masa itu hidup dengan stereotip perjuangan. Maka tak banyak orang yang mau bersusah payah hidup dalam keprihatinan dan perjuangan mendidik. Namun kini, guru adalah salah satu profesi yang favorit. Selain telah usangnya stereotip itu karena berbagai faktor, salah satu hal yang juga mendongkrak popularitas profesi guru adalah adanya sertifikasi yang dapat meningkatkan penghasilan guru. Memang itu hal baik karena memotivasi setiap orang untuk ikut terjun dalam dunia pendidikan serta meningkatkan motivasi bekerja. Namun disamping itu, perlu diwaspadai juga, karena hal itu bisa memelintir niat, sedangkan niat yang sudah melenceng akan menimbulkan disorientasi yang dampaknya dapat merembet ke banyak hal, seperti kinerja yang biasa-biasa saja, militansi yang rendah, serta hilangnya rasa memiliki. Hancurnya sebuah bangsa bukanlah karena hujaman tombak atau rentetan deru peluru, melainkan hilangnya kepedulian dalam membina.

Maka, jika boleh kukatakan, menjadi guru adalah panggilan jiwa. Ia takkan terjawab oleh jiwa yang tak mengingininya. Sedang membina adalah suatu kebutuhan dan keharusan suatu entitas agar tetap bertahan hidup. Maka bagi siapapun yang ingin membina atau menjadi guru, pertanyaan pertama yang harus diajukan adalah untuk apa dia melakukan itu. Apakah untuk mendapatkan materi, untuk mendapatkan kedudukan lebih tinggi, untuk memberikan pengaruh, atau untuk mendapatkan sesuatu yang lain. Ketahuilah, sesungguhnya pendidikan adalah hak bagi warga negara seperti yang telah tercantum di konstitusi negara kita. Maka kata Anies Baswedan, pendidikan adalah gerakan semesta yang melibatkan semua. Yang artinya, seharusnya pendidikan bukan saja diemban oleh para guru bertitel S.Pd, namun pendidikan haruslah diemban oleh seluruh elemen masyarakatnya. Maka, jiwa haruslah dikondisikan pula untuk selalu mau memberikan pembelajaran kepada orang lain. Diri sendiri haruslah direkayasa agar dia mempunyai hasrat untuk mendidik, minimal mendidik diri sendiri dan keluarga. Dan itu bukanlah perkara yang mudah. Butuh kesungguhan niat dalam melakukannya.

Mendidik berbeda dengan mengajar. Mendidik membutuhkan kemampuan khusus untuk memahami objek yang dididik agar apa yang kita berikan meresap dalam jiwanya, bukan sekedar menjadi pengetahuan otaknya. Karena itulah, sebelum mendidik, kita diharuskan untuk belajar cara mendidik serta mempelajari apa yang harus kita berikan kepada objek yang kita didik. Maka belajarlah. Membacalah. Renungilah. Sesungguhnya perintah pertama Tuhan kita kepada Muhammad adalah untuk membaca. Karena dengan membaca, kau membuka jendela dunia.


*saya merasa tidak ada konklusinya... -_-

0 komentar :

Posting Komentar

Cancel Reply