Merayakan apa?

Tak terasa 2015 telah berlalu dan kini memasuki 2016. Usia semakin tua, tuntutan hidup semakin banyak, pekerjaan semakin menumpuk, resolusi diumbar kembali, tapi jodoh masih tak pasti (?). Bahkan hingga kalimat ini diketik, penulis masih saja sendiri, mungkin ada yang berminat?

Tulisan ini hanyalah tulisan opini yang sedikit tendensi, gak ada netral-netralnya, jadi kalau mau koalisi dengan saya, ayuk saja, kalau gak mau, minggir!

Malam ini, setelah agenda melingkar ceria dengan teman-teman, aku diajak nongkrong-gaul-ala-anak-muda-kekinian di Solo Kotak, atau nama kerennya Solo Square (S²), tepatnya di KFC-nya, karena yang lain tutup. Disana kita berlima, ngobrol hahahihi sana-sini sambil sesekali liat konsumen KFC yang datang dan pergi oh begitu saja, semua kuterima apa adanya, mata terpejam dan hati menggumam, di ruang rindu kita bertemu... Loh...?

Setelah selesai bercengkrama dan bersilaturrahim karena lama tak bertemu, kami pun pulang. Di jalan, saat melewati area Purwosari (itu nama tempat yang ada stasiun dan pertigaannya di daerah Solo), yaampun ramenya bangetan. Sampe aku gakbisa ngebut bayangin! Disitu telah tercecer jasad-jasad bernyawa dari manusia-manusia selo yang ingin menghabiskan malam pergantian tahun baru dengan sia-sia. Kenapa sia-sia? Kan udah dibilang ini tulisan tendensius, jadi ya suka-suka gue donk mau bilang apa!

Kemudian pada suatu ketika setelah belok di pertigaan dengan kecepatan gak sampe 30 km/jam, aku dikejutkan dengan suara mirip tembakan, DOR! Kurang lebih begitu ilustrasi suaranya. Ya aku kan jadi kaget. Dikira aku ditembak, mending kalo ditembak sama kamu, eh ternyata ditembak petasan dan kembang api. Kan sebel!

Maka sejak saat itu aku bersumpah akan mengabadikan momen barusan di dalam tulisanku ini. Walau badai menghadang, aku tak peduli.

Sambil aku lewat, aku perhatikan sekelilingku, banyak manusia-manusia, bermacam-macam bentuknya dan beraneka rupa warnanya memadati area Purwosari itu. Dan kuyakin akan semakin banyak pula kalo ditelusuri ke timur sampe Gladak (itu adalah perempatan yang ada air mancurnya). Disana mereka saling makan (ehm maksudnya saling memakan makanan bersama), jajan, bercerita, hahahihi, dan tentu saja mendongakkan kepala ke langit sambil menatap kembang api yang meletus di udara. Sungguh aktivitas yang memukau di era informatika. Aku yakin ada ratusan manusia-manusia ABG menuju dewasa yang berfoto ria disana sambil berfikir "ah abis ini upload di sosmed biar hitz dan gahol". Tak lupa sebagiannya merusak fasilitas publik seperti yang baru saja terjadi ketika ada satu geng remaja yang lagi selfie asik-asikan eh ternyata merusak fasilitas publik di dekat mereka. Atau sekumpulan ABG 4L4¥ yang suka menginjak-injak bunga mekar di taman. Entahlah, itu suruhan siapa gaktau. Tapi yang jelas, disana berbagai macam aktivitas ada. Bahkan hal itu -keramaian maksudnya- sudah menjadi ladang duit dadakan penuh varokah bagi para pedagang kaki lima dan asongan yang menjajakan dagangannya. Biasanya makanan dan minuman. Alhamdulillah kan ada baiknya. Selain itu juga ada tukang parkir yang tiba-tiba dapat pemasukan besar lantaran motor-motor yang hendak dia parkir lebih banyak ketimbang lahan parkirnya. Ada juga pak polantas dan teman-temannya yang ikut ngatur jalan yang kukira mereka bakal dikasih tip atau uang lelah atas jasanya mengatur lalu lintas agar tetap bisa kulewati.

Tapi, tetap saja hal ini bikin aku prihatin. Hal itu disebabkan karena ternyata banyak pengunjung yang mengajak anaknya yang masih balita untuk ikut hura-hura disana. Bagaimana gak prihatin, anak seusia Masha atau Upin dan Ipin atau lebih kecil lagi sudah diajak menikmati dunia gemerlap malam yang seharusnya belum boleh dirasakannya. Betapa egoisnya para orang tua yang mengajak balita-balita mereka menyaksikan kembang api meletus di udara sambil merekayasa agar anaknya tetap melek menyaksikan hiburan murah meriah abad 21 ini. Malah ada yang digendong sambil tertidur karena entah tidak kuat melek atau karena mabok kepayang si balitanya menyaksikan perbedaan kultur antara di rumah dan di jalan pada malam hari. Jika aku jadi bayinya, aku akan memprotes keras dan mengumpulkan massa balita untuk mendemo orang tua yang tega berbuat begitu kepada para balita, sehingga mereka sadar atas kekeliruan tindakan mereka. Tapi sayang, mereka hanya balita yang bahkan 'nguyuh wae durung jejeg', kata omku.

Aku sendiri pun, kurang menyukai untuk membaur di keramaian macam itu. Alasannya jelas, karena aku males. Aku gak suka keramaian yang luar biasa rame. Mending di rumah tidur. Atau nonton film. Atau ngaji. Masya Allah sholehnyaa...

Alasan yang lebih syar'i adalah karena hal itu tidak pernah dicontohkan Nabi dan pasti dikatain tasyabbuh nanti. Tjieeeeeh...

Lalu juga, muncul pertanyaan-pertanyaan di pikiranku tentang perayaan tahun baru ini. Pertama, kenapa harus Masehi. Kenapa gak Hijriyah? Kenapa gak Saka? Kenapa gak kalender Tionghoa? Kenapa oh kenapa? Ini benar-benar diskriminatif. Apakah alasannya hanya sesimpel "karena kalender Masehi sudah lazim digunakan"? Hmm baiklah.

Kedua, kenapa harus setahun sekali. Kita bisa lihat bahwa acara macam begituan itu dihadiri banyak orang. Hal itu menunjukkan bahwa orang-orang itu gemar menyia-nyiakan waktunya untuk sekedar terjaga melewati pergantian waktu. Oke kalau begitu kenapa tidak dibuat perayaan pergantian waktu setiap hari? Baiklah mungkin terlalu cepat, bagaimana dengan perayaan pergantian waktu tiap minggu? Atau tiap bulan? Toh sama saja intinya, pergantian waktu. Kenapa mesti heboh dengan satu tahun yang berganti padahal kita biasa saja melewati pergantian hari, minggu, dan bulan. Aneh lah.

Ketiga, kenapa harus dirayakan? Apakah pergantian waktu dari tahun ke tahun itu sesuatu yang wah dan hebat? Entahlah. Yang jelas, mereka begitu antusias entah antusias karena hal apa. Bahkan sampai-sampai ada yang disiarkan di televisi. Ada pula yang sampai repot-repot membuat countdown untuk menghitung waktu mundur sampai pukul 00:00. Padahal gaes, waktu kita itu tiap detik berkurang, tapi kenapa yang diitung cuma tiap akhir tahun? #eaaa

Keempat, apa yang dirayakan? Ini masih menjadi sebuah pertanyaan besar yang belum jelas jawabannya. Kalau dibilang karena merayakan pergantian tahun, lalu apa bagusnya? Apa hebatnya? Apa waw-nya? Terus kalo pergantian tahun dirayain lo jadi keren gitu? Jadi ngehitz? Jadi gaul? Apa gue harus koprol sambil ngetik sms mama minta pulsa trus dikirim ke nomer dosen pembimbing akademik biar lo percaya kalo itu gak ada kerennya sama sekali?

Oke, mungkin ada yang bilang kalo elu disana itu sebagai aksi persahabatan elu sama temen-temen atau geng main elu. Yaudah kalo itu. Pasti alay soalnya. Foto selfie bareng (jadinya namanya gruvie ya?) trus upload instagram, captionnya "malam taun baru", tapi hashtagnya 5 baris sendiri. Atau upload path ............. . Gak bisa lanjutin karena gak tau gimana maenan path itu. Atau paling enggak jadiin foto profil whatsapp. Udah gitu doank.

Akhirnya, malam taun baru tiap tahunnya menjadi malam hura-hura dengan dalih kekeluargaan dan persahabatan ala remaja kekinian. Meski ada juga pihak-pihak yang diuntungkan, tapi alangkah lebih banyak lagi ruginya. Seperti sampah yang berceceran di jalan-jalan, pemborosan uang untuk beli petasan dan kembang api, wasting time padahal saat itu bisa lebih produktif, ngabisin duit buat jajan, atau dapet label baru : 4L4¥. Kalo kata bang Tere Liye, momen menjelang perayaan taun baru itu adalah sebuah bisnis besar kapitalisme. Lihat saja hotel-hotel yang bakal rame dibooking, bioskop-bioskop yang menayangkan film bagus, pusat perbelanjaan yang diskon gila-gilaan, tempat wisata yang makin rame dikunjungi, atau siaran televisi yang -emang dari dulu- gak mutu tapi menarik minat masyarakat demi sebuah rating. Bel lagi biasanya pesta akhir tahun gini ileh sebagian remaja kita dimanfaatin untuk mabok-mabokan, pesta seks, ugal-ugalan, norak, alay, ya gitu-gitu lah. Seolah masyarakat kita ituh udah latah ngikutin tren-tren impor ini. Lha iya kan impor? Nenek moyang kita dulu gak ada acara-acara beginian.

Alangkah lebih baiknya ketika kita bisa gunakan waktu itu dengan merenung memikirkan kesalahan setaun lalu untuk kemudian tidak diulangi di taun depan. Atau sibuk menyusun resolusi-resolusi untuk taun depan yang akan diwujudkan. Ngomong-ngomong, resolusiku taun depan adalah 1366 x 768 px, kamu?

0 komentar :

Posting Komentar

Cancel Reply