Syukur

Beberapa waktu lalu aku sempat mau menulis status di facebook, tapi nggak jadi. Saat itu aku sedang pusing, dan gigiku ngilu-ngilu geli, yang saat kutanya pada temanku yang calon dokter, bisa jadi karena gigi geraham bungsu yang mau tumbuh. Tapi saat itu juga aku mendapat kabar gembira dari urusan akademikku, IP-ku semester 7 kemarin meningkat lagi dari semester sebelumnya. Sampai-sampai aku sujud syukur dan menginfokan hal ini pada beberapa orang, temanku dan murabbi pertamaku di kampus.

Saat itu tiba-tiba saja terlintas tentang syukur. Sebuah rasa, sebuah ekspresi, sebuah sikap dalam menghadapi laju tiap detik kehidupan.

Seringnya kita diberi nasehat kurang lebih begini: jika mendapat nikmat bersyukur, jika mendapat cobaan bersabar. Tapi akhir-akhir ini aku memikirkan hal yang berbeda, sesuatu yang lebih keren. Ini soal sikap dan mindset saja.

Saat kita mendapat nikmat, apapun, nikmat sehat, nikmat kesempatan, mendapat nilai baik dalam ujian, diberi kemudahan lulus, mendapat uang dari kerja keras, atau hal-hal menggembirakan lainnya, sebagai manusia bermoral dan beragama, tentulah hal pertama yang diucapkan adalah ucapan syukur. Seolah memang sudah terprogram dalam alam bawah sadar kita. Namun selanjutnya, jika kita mendapat ujian, cobaan, apa yang biasanya dilakukan? Bersabar. Itu adalah jawaban dari sekian juta manusia saat dihadapkan dengan ujian dan cobaan. Salahkah? Tidak sama sekali. Namun pernahkah mencoba untuk bersyukur saat dihadapkan dengan ujian? Mungkin sedikit dari kita yang melakukannya. Kenapa? Bisa jadi karena ujian bukan sebuah nikmat bagi kita. Tapi tahukah, nabi Muhammad saat sehari saja tak dilempari kotoran oleh seorang yang membencinya, apa yang dilakukan beliau? Beliau justru menjenguk orang yang melemparinya. Rupanya diketahui bahwa orang itu sedang sakit. Bukankah itu sebuah bentuk kesyukuran dan kepedulian? Jika mau, tentu nabi Muhammad akan membiarkannya dan merasa tenang saat tak ada yang melemparinya. Tapi karena wujud cintanya kepada ummat yang akan didakwahinya, beliau sampai mau menjenguk orang yang memusuhinya. Atau ketika seorang yahudi tua di pasar terus menerus menyumpahserapahi dan memfitnah nabi Muhammad sebagai tukang sihir, padahal saat itu juga beliau sedang menyuapinya dengan roti yang dilembutkannya sendiri. Jika mau, beliau bisa saja meninggalkannya begitu saja atau membela nama Muhammad sebagai orang yang bukan ahli sihir. Tapi beliau diam saja, bahkan hingga akhir hayatnya, yahudi tua itu tak juga tahu siapa identitas orang yang menyuapinya. Barulah dia tahu ketika Abu Bakar yang menyuapinya, sehingga akhirnya si yahudi tua masuk Islam. Itulah bentuk syukur beliau atas ujian yang diberikan Allah kepadanya. Beliau tak menghiraukan dan tak mempermasalahkan perlakuan buruk orang terhadapnya, tapi beliau fokus pada pelayanannya kepada objek dakwah.

Hal yang mungkin masih sulit bagi kita adalah menempatkan rasa. Bagaimana memanajemen hati agar tetap ceria di saat ditimpa musibah, agar tetap kuat di saat berhadapan dengan masalah. Bukan berarti tak bisa, hanya saja perlu pembiasaan. Ingatkah, bahwa ujian takkan melebihi beban kemampuan kita dalam menghadapinya? Allah sendiri yang sudah janjikan di ayat terakhir Al Baqarah. Maka mengapa risau? Bahkan sesungguhnya Allah sudah berikan pula solusinya. Bahwa sesudah kesulitan akan ada kemudahan. Maka tugas kita hanya menghadapinya. Soal hasil pasrahkan padaNya. Dan bukankah Allah menguji kita untuk menaikkan derajat kita sendiri? Seorang nabi dan rasul adalah manusia yang diuji dengan ujian tersulit. Kenapa? Karena mereka adalah orang-orang pilihan. Islam takkan mungkin bisa jaya jika diemban oleh orang-orang bermental ABG alay macam zaman sekarang. Lihatlah rasul ulul 'azmi, lima rasul pilihan yang Allah uji dengan hebatnya. Mereka adalah manusia-manusia pilihan dengan tekad membaja yang tak bisa ditumbangkan oleh masalah. Karena itulah, semakin tinggi level keimanan kita, semakin susah ujian yang dihadapi. Hal itu semata hanya untuk meninggikan derajat kita. Dan ingatkah pula, bahwa Allah telah katakan dalam salah satu ayatnya bahwa siapa yang bersyukur maka akan Allah tambah nikmat kepadanya. Maka, mengapa tidak bersyukur selagi bisa?

Bagaimanapun sikap kita dalam menghadapi ujian, itu adalah sebuah pilihan. Ada yang kemudian bersegera bertaubat karena merasa ujian itu adalah peringatan Allah kepadanya. Apakah salah? Justru itu baik. Karena itu berarti hatinya masih hidup. Hatinya masih peka. Ada pula yang saat ditimpa musibah dia bersabar. Maka kesabarannya dalam menghadapi musibah akan Allah catat sebagai kebaikan. Bukankah nabi melarang untuk berkeluh kesah saat ditimpa musibah? Bukankah itu sama halnya dengan tak menerima takdir Allah? Maka lebih baik bersabar. Ada juga yang saat ditimpa ujian dia segera memohon kepada Allah untuk dikuatkan. Itu juga benar, karena tak ada kekuatan yang bisa menolongnya selain kekuatan dariNya. Ada pula yang saat ditimpa musibah dia bersyukur. Maka kesyukurannya akan Allah limpahkan dengan karunia. Karena dia menerima bahkan dengan hati lapang setiap musibah yang datang kepadanya. Semua tak ada yang salah. Yang salah hanyalah jika saat ditimpa ujian atau musibah lalu berkeluh kesah, bersumpah serapah, mengata-ngatai, atau marah-marah. Tak ada kebaikan dari semua tindakan negatif itu. Allah hanya mau menolong hambaNya yang bersrrah kepadaNya. Maka, apapun sikapmu saat ditimpa kesulitan, pastikan itu adalah karena Allah... :)

0 komentar :

Posting Komentar

Cancel Reply