Setelah 212

Oleh: Mahmud Nur Kholis
@mahmudnurk

Janji telah tertunai. Pesan telah tersampai. Dan harapan tetap tersemai. Semua dalam iringan keteduhan langit kelabu yang memayungi Jakarta. Di rajanya hari, di hari rayanya seminggu, tujuh setengah juta lebih umat Islam berkumpul dengan satu kesamaan tujuan: memutihkan Jakarta dengan dzikir dan sholawat, serta meminta keadilan ditegakkan. Bahkan dengan satu komando, jutaan shaf berjajar rapi hanya dalam waktu singkat. Semua merupakan pemandangan indah penuh kesyukuran. Pun demikian laku serupa di berbagai daerah di Indonesia.

Bisa dibilang gelaran aksi 212 (2 Desember) kala itu sukses. Namun setelahnya patut dipertanyakan, quo vadis Indonesia? Mau diarahkan kemanakah kemudi bahtera Indonesia ini? Menjawab hal itu, kiranya Aksi Super Damai Bela Islam III kemarin bisa dijadikan sketsa sederhana untuk memulai melukis dengan satu kunci: Persatuan. Itulah satu jawaban singkat yang dibutuhkan saat ini. Melihat konstelasi negara-negara di sekitar Nusantara yang geliatnya tak bisa ditebak tepat, maka persatuan dari rakyat Indonesia haruslah tercapai. Agar Indonesia tak mudah dicerai-berai. Agar jangan sampai kejadian sama terulang. Agar jangan sampai rakyat dengan mudahnya dipecah berkubu-kubu menanggapi isu yang seharusnya hitam putih. Meski begitu, di satu sisi, berterimakasihlah karena satu common enemy, umat Islam mampu bersatu mengesampingkan perbedaan. Ya, karena memang persatuan itu mahal. Dan gapaiannya sulit dijangkau jika ego masih mendominasi. Sehingga, perdamaian tanpa persatuan itu adalah utopia. Dan perdamaian tanpa berlapang hati adalah dusta.

Kembali, quo vadis Indonesia? Kemudi yang sempat terlepas harus kembali digenggam dan diarahkan. Agar nantinya laju tak berserakan. Oleh karena itu, situasi damai yang tercermin dalam aksi super damai kemarin haruslah terintegrasi dalam kehidupan kita. Utamanya umat Islam sebagai laku utama disana. Sehingga kelak dikatakan bahwa umat Islam merupakan umat yang bermartabat. Jangan sampai nilai-nilai kebaikan yang terpancar dalam aksi kemarin menguap pasca 2 Desember. Setiap yang hadir dan menyaksikan agar mampu membawa kembali hikmah dan nilai-nilai islami selepasnya. Sehingga kondisi negara yang kian carut marut ini tak kelepasan menjadi parah. Karena akan selalu ada umat Islam yang memperbaiki keadaan yang memburuk. Akan selalu ada umat Islam yang menjadi obat dan dokter dari penyakit masyarakat yang menggurita. Dan akan selalu ada, kata Panglima TNI Gatot Nurmantyo, benteng terakhir Indonesia, yang berdiri tegak melindungi dari ancaman yang ingin memakar Nusantara.

Lalu bagaimana menyatukan? Mudahnya, ialah dengan menyampingkan beda yang tak relevan. Memprioritaskan yang utama, dan tak meruncingkan perbedaan dengan penyikapan yang dewasa. Kesadaran bahwa setiap elemen umat ini merupakan batu bata penyusun bangunan Islam harus terus ditumbuhkan. Sehingga perbedaan akan disikapi dengan wajar, bukan emosional. Beda ormas Islam bukanlah jalan pertentangan. Beda dalam furu’ fiqh bukan sarana pemutus silaturahim asal ushul masih sama. Beda metode bukan masalah karena tujuan kita serupa, yaitu meninggikan kalimatullah. Sehingga, dengan kesadaran yang matang, kita takkan sibuk memecah, namun akan terus membangun dan menyatukan. Karena selalu kemenangan diawali dengan kesadaran akan kesatuan dan persatuan. Maka, jadilah Muslim yang menyatukan, bukan memecah. Itulah yang harus dilakukan pasca 212. Sehingga, tak ada kesempatan bagi musuh Islam mengacau barisan rapi tertata kita!



#BerkaryaUntukIndonesia
#FSLDKIndonesia
#BangkitUntukBerjaya

➖➖➖➖➖➖➖➖

📍Media FSLDK Indonesia📍

🌏Web: www.fsldkindonesia.org
👥Fanpage: FSLDK Indonesia
📷Instagram: @fsldkindonesia
🐤Twitter: @fsldkindonesia
💡Line@: @yok1532s
🎥Youtube: FSLDK Indonesia
📮Google+: FSLDK Indonesia
📧Email: info@fsldkindonesia.org

0 komentar :

Posting Komentar

Cancel Reply