Surat Cinta Tuhan Dalam Pesan Ibu

Siang ini saya sempet menitikkan air mata. Nangis. Haha. Lantaran karena membaca sebuah broadcast di whatsapp tentang kisah seorang pemuda yang hidupnya pas-pasan namun kemudian berubah drastis menjadi sukses karena satu hal: menuruti nasehat ibunya. Berikut kisah itu seperti yang ditulis teman saya ini.

Diantara Nasehat Ibumu, Terselip Surat Cinta Mesra DariNya

Oleh: Muhammad Syukri
@doktersyukrisyayma,
Dokter Muda UNS

Bisa jadi, ada skenario besar dari Tuhan yang terselip diantara nasehat ibu kita.. Maka sering-seringlah mendengarnya, karena kita tak pernah tahu, dibalik nasehat yang mana, pesan Tuhan itu terselip indah untuk kita.

Ini cerita di tahun 2004, tentang seorang mahasiswa kurus kering yang sadar sesadar-sadarnya kalau dia tak punya apa-apa. Dia hanya tahu bahwa dia adalah pemuda yang bertanggung jawab. Itu saja. Dengan modal seadanya, dia memutuskan untuk melamar seorang putri dari seseorang yang cukup terpandang. Singkat cerita, mereka menikah. Mahar yang dia hadiahkan untuk sang pendamping hidup hanyalah seperangkat alat shalat dan sebuah buku. Itu saja. Mau apa lagi? Hanya itu yang mampu dia beli. Sampai akhirnya mereka bertemu di pelaminan.

Setelah menikah, pemuda ini benar-benar membuktikan bahwa dirinya adalah orang yang bertanggung jawab. Dia tak pernah meminta apapun dari mertuanya. Bersama sang istri, mereka memutuskan untuk mengontrak rumah sederhana di tepian kota. Apa sebab? Lagi-lagi ini soal dompet. Harga satu rumah kontrakan di pusat kota bisa jadi setara 4 rumah di tepian kota. Jadi ya, mustahil dia ngontrak di pusat kota. Sehari-hari pemuda ini bekerja di sebuah Kantor PLN cabang dengan gaji yang jelas sangat pas-pasan. Karyawan biasa bro, mau berharap apa? Tapi menengok kembali detik-detik itu, sepertinya kok ya mereka bahagia-bahagia saja ya sama hidup mereka. Gaji pas-pas-an, rumah kontrakan, kemana-mana motoran, tapi mereka hidup dengan kebahagiaan. Mungkin pahitnya hidup kalah sama manisnya cinta kali yak. #Asikjos. Beberapa bulan menikah, sang istri mengandung. Sembilan bulan berikutnya, sang buah hati hadir menemani hari-hari mereka. Dengan tambahan tanggung jawab ini, nyatanya kondisi mereka tak juga membaik. Pernah waktu itu sang mertua menyempatkan diri untuk berkunjung ke rumah kecilnya, dan benar, beliau tak sanggup menahan air mata iba melihat kondisi cucunya.

Ada sebuah pemandangan menarik di akhir bulan Ramadhan menjelang Idul Fitri tahun itu. Bersama dengan rombongan pemudik yang lain, keluarga kecil ini mudik ke tempat sang mertua. Naik motor. Motor yang diproduksi di negara yang paling jago meniru segalanya. Dia di depan memegang kemudi, sang istri memeluk erat di belakang sang suami. Di tengah jalan, beberapa kali mereka harus berhenti. Istirahat? No. Trus? Motornya mogok, sob. Kepanasan. Menepi dulu, ngademin mesin sama ngademin ati, baru bisa jalan lagi.

Itulah cerita di tahun 2004. Cerita tentang seorang pemuda yang sedang berjuang melawan keterbatasan dengan segenggam cinta yang tertanam kuat di lubuk hatinya.

Tapi kita tidak sedang berbincang tentang cinta-cinta-an itu. Mungkin lain kali kita akan membincangnya bersama. Kali ini saya ingin mengajak anda untuk menengok kejadian di tahun 1996. Detik-detik dimana pemuda ini sesungguhnya bisa menjadikan kejadian itu sebagai kambing hitam atas segala "penderitaan" yang dia alami saat ini.

Permulaan bulan di tahun 1996 adalah saat-saat dimana dia sedang berdiri tegak di depan satu anak tangga yang akan mengantarkan dirinya melihat dunia yang lebih luas. Dia akan segera masuk di gerbang yang bisa membawa dia kemana saja dia mau: perguruan tinggi. Menjadi seorang mahasiswa. Oya, mari sejenak memundurkan waktu lebih lama lagi. Sejak kelas 1 SMP, pemuda ini telah terpisah jauh dari orang tuanya. Dari jawa timur, dia membulatkan tekad untuk merantau ke jogjakarta. Maka anak kecil kurus kering ini berangkat ke jogja sendirian. Tak ada orangtua yang menggandeng tangannya erat-erat, lalu berkata "Le, ini lho jogja. Kamu bakal sekolah disini. Yang semangat ya." Tidak. Dia berangkat sendirian. Mengurus segalanya seorang diri. Mulai dari cari lemari baju hingga beli buku, tak ada keluarga yang datang membantu. Dia tahu itu barulah permulaan, karena selama 6 tahun sesudahnya, dia hanya dua kali dijenguk orangtuanya. Saat wisuda SMP, dan wisuda SMA. Sisanya? Tak ada yang peduli seperti apa nasibnya disana. Dia harus memutar otak kalau mau tetap bertahan hidup di tanah orang lain. Di tengah-tengah keterbatasan itu, dia jalani masa sekolahnya dengan sangat tekun. Dia tahu inilah satu-satunya jalan untuk merubah nasib: menjadi orang yang berilmu. Benar saja, nilai-nilainya memuaskan. Prestasinya cemerlang. Sampai akhirnya, dia bisa lulus dengan sederet pencapaian dan diterima di perguruan tinggi negeri favorit di Indonesia yang ada di Jogjakarta. Jalur PMDK. Sebentar lagi dia benar-benar akan kuliah. Kuliah di jurusan yg dia minati. Menjadi orang pertama di keluarganya yang menyandang status sebagai seorang mahasiswa. Semua berkas sudah disiapkan, tinggal menunggu waktu untuk daftar ulang. Senyum kebanggan telah terbit dan bertahan menghiasi muka polosnya. Sampai akhirnya, sang Ibu dawuh "Le, kuliah di malang aja. Cari yang murah". Titik. Itu saja pesan sang ibunda. Beliau tentu tidak tahu menahu tentang jadwal pendaftaran perguruan tinggi beserta tetek mbengeknya. Beliau tentu tidak sadar, ketika beliau mengatakan itu, kampus-kampus negeri sudah tutup semua. Mau tak mau, anaknya akan kuliah di kampus swasta, yang tentu, biayanya akan jauh lebih besar.

Harusnya pemuda ini protes. Sudah sewajarnya dia "membantah" kehendak sang ibu. Toh pada akhirnya kalau dia sukses, ibunya juga to yang bakalan seneng? Toh selama ini dia tak pernah menuntut apapun kan kepada mereka? Tapi tidak. Dia mengamini apa yang dikatakan sang ibu. Tak mendebat beliau sedikitpun. Dia patuh saja dengan kemauan "dangkal" sang ibu, meski dia benar-benar mengerti konsekuensi apa yang harus dia jalani:

Kuliah di kampus swasta, dg jurusan yang sama sekali tidak dia harap-harapkan.

Segera dia cari, kampus mana yang masih bisa menerimanya. Tak ada pertimbangan "prospek karir", tak ada pertimbangan "passing grade", tak ada pertimbangan "passion", pertimbangannya cuma satu: JURUSAN YANG PALING MURAH.

Dia cari kampus swasta di kotanya, lalu dia sasar jurusan yang paling murah diantara semuanya. Ketemu! Jurusan SYARIAH! Dia mantapkan hati, daftar, dan finally, dia resmi menjadi mahasiswa jurusan syariah di salah satu kampus swasta.

Lulus dari situ mau jadi apa? Nggak tahu. Bayangannya kedepan akan jadi seperti apa? Nggak tahu. Lha gimana. Yang ada di kepalanya selama ini adalah menjadi seorang sarjana teknik, bukan lulusan fakultas syariah. Tapi sekali lagi, dia adalah pemuda yang bertanggung jawab. Dia selalu mengakhiri apa-apa yang telah dia mulai. Termasuk urusan yang satu ini. Dia selesaikan studinya dengan baik, meski pada awalnya, terbersit untuk kuliah disitu saja sama sekali tidak. Saat wisuda sarjana, dia berhasil menjadi wisudawan terbaik dengan torehan IPK 3,96. Hebat!

Dia ceritakan torehan ini pada sang ayah. Ee lhadala.. Sang ayah malah balik tanya "kok cuma dapet 3, le?" Syalala. Dududu.

Setelah lulus, nasib baik dalam urusan ekonomi ternyata tak kunjung menghampiri. Seperti yang dia tahu, tak banyak yang bisa dia lakukan dengan gelar yang dia miliki saat itu. Sampai di tahun 2006, saat sang anak beranjak ke usia 2 tahun, ternyata hidupnya tak banyak berubah. "Coba kalau aku dulu diizinin kuliah di jurusan yg aku minati, pasti hidupku akan jauh lebih baik dari hari ini". Disaat-saat seperti ini, tentu sangat wajar jika kalimat-kalimat seperti itu keluar dari mulutnya. Tapi ternyata tidak. Dia tak mau menyalahkan siapapun. Dia memilih untuk tetap melangkahkan kakinya, mencari cahaya terang yang pasti akan nampak di ujung perjalanan.

Dan akhirnya, setelah tahun 2004 dan 1996, mari kita lihat 2016. Masih ingat dengan anak kecil yang sempat ditangisi kakeknya tadi? Beberapa bulan yang lalu, dia baru saja nonton Formula 1 ke luar negeri bersama sang ayah. Liburan. Hidupnya kini tak lagi prihatin. Sekarang dia bisa mengikuti kursus renang, kursus main piano, kursus robotik, dan merasakan sekian banyak fasilitas di tengah-tengah keluarga yang berkelimpahan. Sang ayah, pemuda yang sedang kita bicarakan ini, kini menjadi karyawan pimpinan di sebuah perusahaan milik negara. Saat mengikuti seleksi di tahun 2006, dia berhasil mengalahkan sekian banyak lulusan dari kampus negeri. Sebuah kampus yang sempat singgah di impiannya untuk beberapa lama. Kurang masuk di nalar, seorang pemuda yang dulu kuliah dengan niat "cari yang murah" ini maju dengan gagah berani, menghadapi nama besar almamater pesaing-pesaingnya. Dan ternyata Tuhan ada di pihaknya. Maka praktis, dua tahun pasca pernikahan itu, Allah melipatgandakan penghasilannya berkali-kali lipat dari yang sebelumnya. Dia hanya perlu bersabar dua tahun untuk menjadi "orang kaya". Kini kariernya melejit. Untuk berada di posisinya, normalnya seseorang harus menghabiskan waktu belasan tahun. Sedangkan dia, dia hanya perlu 7 tahun untuk berada di posisinya saat ini. Beberapa waktu yang lalu, dia bahkan ditawari posisi yang lebih tinggi, namun dia tolak karena lebih memilih kehangatan keluarga dibanding percepatan kariernya.

Semua yang dia dapatkan saat ini -salah satu yang utama- karena kerelaan dia menuruti kehendak sang ibu. Kalau dia ngeyel kuliah di jogja, belum tentu dia bisa mencapai titik setinggi ini.

Mari kita buka mata lebih lebar. Belajar dari kesederhanaan pola fikir pemuda ini: "Jalani saja apa yang diinginkan ibumu, dan lihatlah, betapa Allah akan selalu ada di sampingmu, membersamai setiap ayunan langkah-langkah kecilmu."

Hidup tak se-linier apa yang kita bayangkan. Hidup tak se-datar apa yang kita rencanakan. Dia penuh dengan kejutan-kejutan baru yang menyenangkan. Sumber-sumber kejutan itu ada di sisi Tuhan. Bisa jadi kita tak pernah menemuiNya di dunia, tapi kita bisa membaca pesan cinta yang Dia titipkan khusus untuk kita. Dan bisa jadi, pesan itu terselip diantara nasehat-nasehat ibu kita. Maka dengarkan mereka. Jangan sok tahu, sok cerdas dan sok argumentatif di depan mereka. Ikuti apa yang mereka mau selama itu kebaikan, karena bisa jadi, diantara tutur kata ibu kita, terselip pesan Tuhan di dalamnya.

Jadi, sudah minta nasehat ke ibumu hari ini?

0 komentar :

Posting Komentar

Cancel Reply